Opini

Pan-Melayuisme: Tawaran Gagasan untuk Gantikan Pan-Arabisme

3 Mins read

Kali ini saya ingin menceritakan pelajaran dari sebuah perjalanan ke tanah Melayu. Pada 15 – 18 Juni, saya berkesempatan menjadi salah satu delegasi 8th Global Youth Innovation Summit (GYIS) 2025 di Singapura dan Malaysia. Memang, saya baru pertama kali mengunjungi kedua negara tersebut, atau bahkan itu perjalanan pertama saya ke mancanegara.

Hari pertama kegiatan sebenarnya adalah yang paling padat. Rupanya panitia mengemas kegiatan sedemikian efektif, motifnya tak lain untuk menekan cashflow di Singapura yang cenderung mahal. Setelah menyantap makan siang di sebuah restoran India, kami diarahkan bergegas menunaikan salat. Yups, mayoritas delegasi adalah Muslim.

Umat Islam yang Multietnis

Bus kami berhenti di sebuah masjid bernama Malabar Mosque, terletak di simpang perempatan Victoria Street dan Syed Alwi Road. Kebetulan juga kami datang tepat saat adzan asar, artinya kami berkesempatan menunaikan salat jamaah kemudian baru menjama’ takhir salat duhur. Iqamah pun dikumandangkan, salah seorang Melayu bergamis ala Arab maju memimpin salat.

Hal yang menakjubkan bagi orang seperti saya adalah separuh makmum masjid ini berisi kelompok etnik Asia Selatan. Sekarang etnis itu umumnya mendiami negara India, Bangladesh, Buthan, Sri Lanka, Maladewa, Nepal, atau Pakistan. Tanah Melayu dan India memang memiliki ikatan sejarah yang panjang. Mulai periode kuno (Hindu-Buddha) yang melibatkan perdagangan, penyebaran Islam dari Gujarat, hingga puncaknya pada migrasi besar-besaran atas kepentingan Kolonial Inggris.

Hari kedua dan ketiga, kami sangat disibukkan oleh kegiatan inti di Malaysia, yaitu penugasan dan project presentation itu sendiri. Baru malam hari keempat, delegasi mulai bisa berkegiatan bebas. Saat itu saya punya ide untuk mencari masjid dan salat berjamaah. Untungnya kawan satu kamar sepakat mengikuti apa kata saya. Meski harus jalan kaki 15 menit dari hotel, kami begitu menikmati tata kota Kuala Lumpur, yang mungkin bisa saya sebut Jakarta versi upgrade.

Baca Juga  Bisakah Terwujud "Green Spring" di Dunia Arab?

Tibalah di tujuan kami, Surau Al-Nur. Di depannya tertulis “Pusat Komuniti Islam”. Kami datang beberapa saat sebelum adzan isya’, sehingga memungkinkan kami mengikuti rangkaian peribadatan. Di sini terlihat lebih multietnis, muadzin seorang Cina, imam Melayu, dan jamaah yang beragam; India, Thailand, dan Timur Tengah. Seusai salat, saya berbincang dengan beberapa orang pengurus masjid. Dan benar saja mereka mengonfirmasi bahwa di sekitar sini merupakan tempat tinggal orang-orang asing.

Di masjid itu juga kami dapati Al-Qur’an terjemah bahasa Bengali dan Tamil. Bahkan ada yang ditulis penuh dengan bahasa Mandarin (tanpa huruf Arab), tentu saya belum memiliki kemampuan membacanya. Hanya bisa saya tebak satu halaman yang kemungkinan itu adalah Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas. Karena ayatnya pendek-pendek dan terletak di halaman akhir.

Harmonisasi Islam di Tanah Melayu

Meski diidentikkan sebagai pemeluk agama Islam, negeri Melayu juga sering dipandang kelas kedua. Hal tersebut berkaitan dengan geofrafis Melayu yang relatif jauh dari pusat-pusat peradaban Islam masa lampau seperti Hijaz (Arab Saudi), Baghdad, Khurasan, Isfahan, dan sekitarnya.

Sebab berikutnya karena produk pemikiran Islam Melayu kurang memiliki daya jual global. Dalam artian wajah Islam di tanah Melayu yang mampu merangkul modernitas, budaya, demokrasi, multietnis, dan tradisi kurang bisa diminati belahan bumi lain. Masih kalah dengan wacana Islam puritan maupun Islam progresif yang menjelma sebagai ekspresi dan gerakan Islam transnasional di pelbagai tempat.

Sebagaimana studi oleh salah seorang cendikiawan Melayu, Azhar Ibrahim Alwee (2022) yang menyebutkan keterikatan budaya dalam kehidupan sosial-keagamaan sangat berperan untuk meredam ekstemisme. Sehingga komunitas Muslim harus mampu menghadapi nasionalisme budaya, dalam konteks multietnis dan pluralisme agama.

Baca Juga  Khutbah Idul Fitri: Terlahir Kembali Menjadi Manusia Baru

Selain dinamis dalam harmonisasi kebudayaan, negara-negara Melayu juga mampu menghindarkan diri dari fragmentasi politik kekuasaan dan sektarian. Meski persaingan ekonomi tetap ada, namun konflik kawasan hampir tidak ditemui dalam dekade terakhir ini. Faham Islam tertentu tidak difungsikan bak partai politik, yang menjadi kendaraan konflik atas nama sekte.

Tawaran untuk Dunia Islam

Jauh panggang dari api, pusaran konflik justru kerap muncul di kawasan yang dijuluki tanah berjalannya para nabi. Padahal wacana Islam dari Timur Tengah selalu jadi rujukan utama mimbar khutbah, daurah, bahkan perguruan tinggi di banyak negara termasuk tanah Melayu. Perkembangan pemikiran Islam sulit menemukan jalan tengah. Termasuk modal politik mereka untuk menasionalisasi bangsa Arab atau Pan-Arabisme.

Barangkali penelitian Gadi Hitman & Dan Naor (2024) berjudul Rethinking Pan-Arabism: an Analysis of the Challenges of Utopian Ideology dapat memberikan jawaban. Keduanya mengkaji lima kriteria yang menyebabkan Pan-Arabisme sulit terwujud, antara lain; (1) agama dan sektarian, (2) tribalisme, (3) persoalan kepemimpinan, (4) perbedaan penafsiran Pan-Arabisme itu sendiri, dan (5) sikap terhadap Israel.

Khusus kriteria terakhir, sebenarnya ada momentum persatuan bangsa Arab. Yaitu pasca perang Juni 1967, jajaran negara-negara Arab membuat resolusi bersama serta penghapusan segala perbedaan pada sebuah konferensi di Khartoum, Sudan. Secara kolektif mereka menegaskan “no peace, no recognition, and no negotiatons with Israel (tidak ada perdamaian, tidak ada pengakuan, dan tidak ada negosiasi dengan Israel”.

Akan tetapi, tidak sampai satu dekade pernyataan tersebut bubar. Teknis sikap terhadap Israel seolah dikembalikan kepada masing-masing negara Arab. Mesir dan Yordania memulai perdamaian penuh, Maroko dan Bahrain melakukan normalisasi. Sedangkan Tunisia, Arab Saudi, Qatar, dan Oman menggantungkan sikap. Mereka tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, namun hanya menjelaskan belum waktunya membuka hubungan.

Baca Juga  Dari Festival Musik MDLBEAST Sampai Pembungkaman Ulama Wahabi: Wajah Baru Arab Saudi

Hingga kini, masing-masing negara Arab tidak menunjukkan loyalitas mereka terhadap isu Palestina di bawah okupasi Israel. Mesir melakukan blokade bantuan dan aktivis kemanusiaan, Yordania tak mengizinkan rudal yang menuju Israel, juga pangkalan militer Amerika di Al-Udeid Qatar yang jadi batu sandungan Iran dalam agenda menghabisi Israel. Sepertinya sulit berharap kepada Pan-Arabisme, namun bisakah negara-negara Melayu jadi harapan baru dunia Islam? Kalau pun iya, apakah akan dinamai Pan-Melayuisme?

Editor: Soleh

Avatar
10 posts

About author
Kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Malang, Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Malang
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *