Opini

Hadia Mubarak, Mufasir Perempuan dari Barat

3 Mins read

Hadia Mubarak merupakan salah satu akademisi dari Barat yang aktif menyuarakan kritik terhadap kondisi umat Islam yang terjebak pada penafsiran terdahulu. Melalui disiplin ilmunya (Studi Islam dan Perempuan), Hadia banyak mengomentari pembacaan al-Qur’an (tafsir) yang cenderung bias laki-laki.

Namun, dalam tulisan ini, penulis tidak akan mengulas pemikiran Hadia Mubarak secara mendalam. Adapun yang dibahas hanya berupa informasi singkat tentang biografinya, latar belakang keilmuannya, dan sedikit tentang pemikirannya. Aspek ini penting disampaikan agar pembaca dapat mengukur kapasitas dan kecakapan Hadia dalam studi al-Qur’an, tafsir, dan juga feminisme.

Hadia Mubarak merupakan Associate Professor bidang Agama di Queens University of Charlotte. Di sana, ia mengampu mata kuliah tentang Islam, kitab suci perbandingan, perempuan dan gender di dunia Muslim, sejarah Islam di Amerika, serta representasi agama dalam budaya populer.

Sebelumnya, ia menjabat sebagai Asisten Profesor Studi Agama di Guilford College (2018–2020). Ia adalah Peneliti di Institut Humaniora New York University–Abu Dhabi (NYUAD) pada 2017–2018. Hadia menyelesaikan gelar Ph.D. dalam Studi Islam dari Universitas Georgetown, dengan fokus pada tafsir al-Qur’an modern dan klasik, feminisme Islam, serta reformasi gender di dunia Muslim modern.

Saat ini, ia menjabat sebagai cendekiawan tetap di Muslim Community Center of Charlotte (MCC). Lalu anggota Dewan Penasihat di Carleton Center for the Study of Islam (CCSI), dan cendekiawan di Institute for Social Policy and Understanding (ISPU).

Dalam salah satu karyanya, Rebellious Wives, Neglectful Husbands: Controversies in Modern Qur’anic Commentaries (Oxford University Press, 2022), mengeksplorasi pergeseran signifikan dalam tafsir al-Qur’an modern tentang subjek perempuan dalam konteks historis, intelektual, dan politik Afrika Utara abad ke-20.

Baca Juga  Muhammadiyah Terima Tambang: Kritis Boleh, Apriori Jangan!

Karya-Karya Hadia Mubarak

Beberapa publikasi penting Hadia antara lain:

  • “Women’s Contemporary Readings of the Qurʾan” dalam The Routledge Companion to the Qurʾan (2021),
  • “Violent, Oppressed and Un-American: Muslim Women in the American Imagination” dalam The Personal is Political, ed. Christine Davis & Jon Crane (Brill, 2020),
  • “Classical Qur’anic Exegesis and Woman” dalam The Routledge Handbook of Islam and Gender, ed. Justine Howe (Brill, 2020),
  • “Change Through Continuity: A Case Study of Q. 4:34 in Ibn ʿĀshūr’s Al-Taḥrīr wa-l-Tanwīr” (Journal of Qurʾanic Studies, 2018),
  • “Breaking the Interpretive Monopoly: A Re-Examination of Verse 4:34” (Hawwa 2.3),
  • “Crossroads” dalam I Speak for Myself: American Women on Being Muslim (White Cloud Press, 2011).

Sebelumnya, ia juga mengajar di University of North Carolina di Charlotte (2015–2017) dan menjadi dosen tamu di Davidson College (2015–2016). Tahun 2006–2007, ia menjadi Peneliti Senior di Center for Muslim-Christian Understanding, Georgetown University. Serta peneliti di Gallup Organization’s Center for Muslim Studies. Ia berkontribusi pada Who Speaks for Islam: What a Billion Muslims Really Think (Gallup Press, 2008) dan The Future of Islam oleh John Esposito.

Pada tahun 2006, Hadia ikut dalam program “Islam in the Age of Globalization” yang disponsori oleh American University, Brookings Institute, dan Pew Forum. Ia mewawancarai berbagai cendekiawan Muslim, pejabat pemerintah, aktivis, mahasiswa, dan jurnalis di Qatar, Yordania, Suriah, Turki, Pakistan, dan India, yang hasilnya diterbitkan dalam Journey into Islam: The Crisis of Globalization.

Hadia meraih gelar magister dalam Studi Arab Kontemporer (konsentrasi Wanita dan Gender) dan gelar sarjana Hubungan Internasional serta Bahasa Inggris dari Florida State University. Pada tahun 2004, ia menjadi perempuan pertama yang terpilih sebagai presiden Asosiasi Mahasiswa Muslim Nasional.

Baca Juga  Kekuasaan dan Politik Jatah Preman Pasca Orde Baru

Keresahan terhadap Tafsir Tradisional

Dalam Women’s Contemporary Readings of the Qur’an, Hadia menjelaskan bahwa al-Qur’an sebagai teks pondasi Islam merupakan jangkar yang stabil di tengah modernitas yang cepat berubah. Namun, ia menekankan bahwa proyek tafsir tidak pernah bersifat final sehingga selalu terbuka bagi makna baru seiring perkembangan zaman.

Al-Qur’an memang dipahami sebagai wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tetapi interpretasi atasnya terus berubah karena sifat polisemik al-Qur’an. Hadia menilai bahwa pembacaan al-Qur’an oleh perempuan kontemporer berangkat dari keresahan terhadap jarak antara maksud ilahi dan interpretasi patriarkis manusia.

Dalam beberapa tulisannya, Hadia mengkaji ayat-ayat seperti QS. 4:34 (Mubarak, 2018), QS. 2:228, dan QS. 4:128 (Mubarak, 2020) melalui lensa feminisme Islam. Ia mempertanyakan: apakah teks al-Qur’an secara inheren patriarkal, ataukah justru egaliter dan memberdayakan perempuan? Pertanyaan-pertanyaan ini berada di pusat perdebatan akademik yang terus berlangsung.

Sekilas Pemikiran Hadia Mubarak

Hadia menegaskan bahwa perdebatan mengenai apakah al-Qur’an bersifat patriarkal atau egaliter tidak akan pernah mencapai resolusi tunggal karena setiap pembacaan akan melahirkan pemaknaan berbeda. Dalam tradisi tafsir Islam, kesadaran atas keterbatasan penafsiran mendorong munculnya tafsir baru dari generasi ke generasi.

Bagi Hadia, makna al-Qur’an tidak bisa dikunci dalam satu generasi atau oleh sekelompok mufasir tertentu. Tafsir adalah upaya kolektif dan berkelanjutan umat Muslim untuk menghadirkan makna yang relevan bagi zaman mereka. Maka, kemampuan memberi makna baru terhadap al-Qur’an bukan hanya sah secara intelektual, tetapi justru merupakan bagian dari tradisi tafsir itu sendiri.

Secara umum, Hadia Mubarak dalam karya-karyanya menghadirkan analisis kritis terhadap dinamika tafsir al-Qur’an kontemporer terkait perempuan. Ia tidak hanya menyajikan berbagai pandangan, tetapi juga mengevaluasi kekuatan dan kelemahannya secara mendalam, sehingga memberikan pemahaman yang lebih nuansa dan multidimensional terhadap teks suci Islam ini.

Baca Juga  Habaib dan Peta Keagamaan di Indonesia Pasca Orde Baru

Editor: Assalimi

Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *