IBTimes.ID – Sumpur Kudus, Sijunjung – Suasana kampung kecil di lereng perbukitan yang biasanya lengang itu kini mendadak ramai. Udara pagi yang sejuk diwarnai semangat para remaja berbaju seragam pramuka, sebagian memanggul ransel, sebagian lagi sedang saling asik mengobrol berkenalan satu dengan yang lain. Mereka adalah siswa-siswi SMA dan SMK yang berjumlah 54 orang dari seluruh penjuru kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat yang tengah mengikuti Kemah Intelektual Muda Muhammadiyah yang dilaksanakan pada 16 – 17 Juli 2025, sebuah kegiatan edukatif yang menjadikan kampung kelahiran Buya Ahmad Syafii Maarif sebagai ruang belajar terbuka yang kaya akan nilai sejarah dan inspirasi perjuangan.
Kemah Intelektual Muda Muhammadiyah ini bukan sekadar agenda kemah biasa atau sarana rekreasi belaka. Lebih dari itu, ia menjelma menjadi ruang dialektika – tempat bertemunya gagasan, semangat belajar, toleransi dan refleksi nilai-nilai perjuangan dari seorang tokoh bangsa yang telah wafat namun jejak pemikirannya tetap menyala.
Sejak hari pertama, antusiasme peserta sungguh terasa. Dalam sesi pembukaan yang digelar sederhana di kompleks Al-Quran Centre Muhammadiyah, lokasi yang cukup strategis untuk berkemah sebab memang berada di puncak kampung, bernama Guguak Barangan. Pada kesempatan ini, dibuka langsung oleh Direktur Maarif Institute yaitu Pak Andar Nubowo yang merupakan kader Ideologis Buya Syafii yang begitu kaya akan pengalaman intelektual.
Dalam penyampaiannya, beliau berpesan setidaknya terdapat tiga hal penting yang harus dimiliki oleh anak-anak muda, yaitu semangat membaca, semangat menulis, dan semangat berdiskusi atau bahkan berdebat. Hal ini akan sangat begitu bermanfaat bagi mereka yang tekun dalam merawat semangat-semangat ini. Beliau menekankan anak-anak muda harus memiliki daya tangkap, daya peka, dan daya kritis tinggi terhadap suatu keadaan. Selain daripada itu, beliau juga menyampaikan harapan agar para peserta bukan sekadar membawa pulang pengalaman baru, tetapi juga mampu membumikan semangat intelektual yang berpihak pada nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
Para peserta kemudian mengikuti diskusi interaktif yang menghadirkan pemateri dari berbagai latar belakang. Di antaranya adalah dosen muda yang begitu takzim dan semangat merawat pemikiran-pemikiran Buya Syafii, dari Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Sumatera Barat, bang Akhyar Fuadi, kemudian dilanjutkan dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera barat, bang Isral Naska yang merupakan Ph.D. di University College Cork, Irlandia.
Selain itu, terdapat Kak Like yang merupakan aktivis literasi yang konsisten dalam bidang isu-isu lintas agama, pendiri komunitas Pemuda-Pemudi Lintas Agama, atau kerap disebut Pelita Padang, beliau juga merupakan alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Buya Syafii 2022 di Surakarta. Materi-materi yang diangkat para pemateri pun begitu relevan, mulai dari “Krisis Moral Intelektual Muda” hingga “Merawat Semangat Kebangsaan dari Pinggiran.”
Diskusi berjalan begitu dinamis. Banyak peserta tak ragu mengangkat tangan, menyampaikan pertanyaan tajam, bahkan tak segan mengkritisi pandangan yang disampaikan oleh narasumber. Suasana ini menunjukkan bahwa semangat berpikir kritis dan berani berdialog mulai tumbuh subur di kalangan pelajar, sesuatu yang mungkin jarang terlihat dalam ruang kelas formal.
Menjelang malam, suasana berubah menjadi lebih emosional. Sebuah film dokumenter berjudul “Si Anak Kampoeng” diputar di layar tancap di tengah lapangan. Film ini mengisahkan perjuangan seorang anak kampung yang hidup dalam keterbatasan namun tak pernah menyerah pada mimpinya. Film ini merupakan adaptasi dari otobiografi Buya Syafii yang berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku. Sontak suasana menjadi hening, beberapa peserta tampak menyeka air mata. Bagi mereka, kisah dalam film bukan sekadar tontonan, melainkan cermin dari perjuangan mereka sendiri. “Saya juga anak petani ladang, kadang rasanya minder, tapi setelah nonton film ini, saya yakin mimpi itu bisa dicapai kalau terus berusaha,” ungkap Ilham, siswa asal SMA Negeri 5 Sijunjung.
Hari kedua menjadi hari yang penuh makna. Para peserta diajak melakukan kunjungan ke tempat-tempat bersejarah di kampung Buya Syafii ini. Mereka mengunjungi Makam Rajo Ibadat dan Masjid Rajo Ibadat, yang merupakan salah satu dari tiga Rajo Tigo Selo, tempat yang memiliki makna tersendiri dalam ingatan kolektif orang Minang, Sumpur Kudus dipercaya sebagai tempat yang paling awal menerima Islam di ranah Minang dan Makam Raja Ibadat yang ada di situ merupakan makam seorang Raja Ibadat yang bertugas mengatur persoalan-persoalan mengenai bidang keagamaan.
Dilanjutkan mengunjungi makam Syekh Ibrahim yang merupakan Ulama dari Kudus Jawa Tengah yang berada di Jorong Kampung Rajo, beliau merupakan Ulama yang membawa ajaran agama Islam ke pelosok Sumpur Kudus kurang lebih abad ke-16. Setelah itu dilanjutkan kunjungan ke rumah masa kecil Buya Syafii yang tentu sangat bersejarah, memandangi tumpukan buku-buku tua yang pernah dibacanya, foto-foto yang terdapat di rumah kecilnya hingga mendengarkan kisah masa kecilnya dari kerabat-kerabatnya yang masih merawat rumahnya. Mereka juga menyempatkan untuk merefleksikan diri dan mendoakan Buya atas jasa-jasa yang telah beliau berikan kepada negara ini.
“Rasanya seperti napak tilas pemikiran dan perjuangan beliau. Dari kampung sekecil ini, lahir tokoh besar yang bisa bicara di forum-forum dunia, menyuarakan-menyuarakan kebenaran dan kebaikan. Itu menyadarkan kami, bahwa keterbatasan bukan alasan untuk tidak berkontribusi bagi keluarga, agama, dan bangsa,” ujar Hikmah, siswi SMA Negeri 1 Sijunjung yang aktif dalam organisasi di sekolahnya.
Kemah Intelektual Muda Muhammadiyah ditutup dengan khidmat. Para peserta memberikan kesan dan pesan penuh dengan emosional. Penyampaian-penyampaian mereka merupakan kerinduan sosok hangat Buya Syafii Maarif. Suasana haru sebelum perpisahan satu sama lain, mereka begitu antusias dengan acara semacam ini. Semua itu membuktikan bahwa generasi muda hari ini tidaklah pasif. Mereka hanya butuh ruang – dan kemah intelektual ini adalah salah satunya.
Koordinator kegiatan, Taufiq Adi Kurniawan, menyampaikan harapannya agar program ini bisa terus dilanjutkan dan menjadi embrio gerakan intelektual muda dari desa. “Kalau kita hanya berharap perubahan dari kota, maka desa akan terus jadi penonton. Tapi kalau kita mulai dari kampung, seperti Buya dulu, maka suara desa bisa jadi penentu arah bangsa.”
(Soleh)

