“Suara keadilan adalah suara Tuhan.” Kalimat ini bukan sekadar retorika filosofis, melainkan pernyataan visioner yang melintas ruang dan waktu. Keadilan merupakan inti dari setiap peradaban, fondasi kokoh yang memungkinkan masyarakat hidup harmonis, menumbuhkan kepercayaan, dan memastikan manusia diperlakukan secara manusiawi.
Sebaliknya, ketika keadilan diabaikan, kekacauan menjadi konsekuensi yang tak terelakkan. Dari zaman kuno hingga era digital saat ini, sejarah berulang kali membuktikan bahwa manusia yang tertindas akan melawan, baik secara individu maupun kolektif, cepat atau lambat.
Filsafat, Tuhan dan Keadilan
Filsafat keadilan telah lama menjadi bahan perdebatan para pemikir. Plato dalam Republic menegaskan bahwa keadilan adalah harmoni, di mana setiap elemen masyarakat menjalankan fungsinya secara proporsional. Aristoteles membedakan keadilan distributif (pembagian sesuai kebutuhan dan kontribusi) dan keadilan korektif (pemulihan kerugian akibat ketidakadilan).
Di era modern, John Rawls melalui A Theory of Justice merumuskan prinsip “justice as fairness”, yaitu keadilan sebagai penataan struktur dasar masyarakat agar setiap individu memperoleh kesempatan yang setara. Sementara itu, Amartya Sen menegaskan bahwa keadilan tidak boleh berhenti pada teori, melainkan harus terwujud dalam “capabilities”, yaitu kemampuan nyata manusia untuk hidup bermartabat.
Al-Qur’an juga menegaskan, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan” (QS. An-Nahl: 90). Dalam pandangan Islam dan agama-agama lain, keadilan bukan sekadar norma sosial, melainkan mandat ilahi. Oleh karena itu, melawan ketidakadilan berarti melawan dosa struktural yang mencederai kemanusiaan.
Sepanjang sejarah, setiap ketidakadilan melahirkan perlawanan. Revolusi Prancis meletus akibat ketimpangan sosial-ekonomi antara kaum bangsawan dan rakyat jelata. Gerakan anti-kolonialisme di Asia dan Afrika muncul karena bangsa-bangsa diperlakukan sebagai objek eksploitasi. Perjuangan hak sipil di Amerika Serikat lahir akibat diskriminasi rasial yang sistematis.
Dalam konteks dunia Islam, kejatuhan Bani Umayyah dipicu oleh praktik nepotisme dan ketidakadilan pajak. Demikian pula, Revolusi Iran 1979 terjadi akibat akumulasi ketidakadilan ekonomi dan politik yang menindas rakyat kecil.
Pesannya jelas: tidak ada kekuasaan yang abadi jika berdiri di atas ketidakadilan, karena keadilan adalah suara Tuhan yang menjadi landasan setiap peradaban. Peradaban hanya bertahan jika menjadikan keadilan sebagai napasnya, mencerminkan kehendak Tuhan untuk harmoni dan kemanusiaan. Inilah yang tampaknya memicu demam politik dunia saat ini.
Wajah Ketidakadilan di Era Global
Memasuki abad ke-21, ketidakadilan tidak lagi bersifat lokal, melainkan global. Dunia seolah memasuki era multipolar, tetapi hegemoni kapitalisme tetap dikuasai segelintir negara kaya. Melalui lembaga keuangan internasional, regulasi perdagangan, dan instrumen politik global, negara-negara maju mengatur arsitektur dunia sesuai kepentingan mereka.
Negara-negara berkembang dan miskin—yang sebagian besar adalah dunia Muslim—sering dipaksa tunduk pada mekanisme utang, liberalisasi ekonomi, dan eksploitasi sumber daya. Alih-alih menjadi mitra setara, mereka dijadikan pasar bagi produk industri negara maju dan penyedia bahan mentah dengan harga murah.
Ketidakadilan ini tidak hanya terjadi dalam ranah ekonomi, tetapi juga politik internasional. Negara-negara kaya dengan hak veto di Dewan Keamanan PBB, misalnya, dapat menentukan nasib jutaan manusia hanya dengan satu kata: veto. Konflik di Palestina menjadi contoh nyata. Dunia menyaksikan tragedi kemanusiaan, tetapi suara keadilan sering kalah oleh kepentingan geopolitik.
Lebih jauh, isu agama pun tidak lepas dari bias ketidakadilan global. Islamofobia masih dilegalkan dalam banyak narasi politik Barat, sementara kekerasan terhadap umat Muslim di berbagai wilayah sering diabaikan. Dunia resah karena tatanan internasional yang timpang: yang kuat bebas mendikte, yang lemah dipaksa tunduk.
Saat ini, dunia menghadapi krisis keadilan dalam berbagai dimensi:
- Hukum yang bias kelas sosial.
- Ekonomi yang oligarkis dan globalisasi asimetris.
- Budaya yang tunduk pada kapitalisme.
- Keadilan ekologis yang terabaikan.
- Ketidakadilan di ranah digital dan algoritma.
Menuju Peradaban Berkeadilan
Apa Jadinya Dunia Tanpa Keadilan?
Bayangkan dunia tanpa keadilan: hukum menjadi alat penguasa, ekonomi dikuasai oligarki, budaya dikendalikan pasar, dan ekologi hancur tanpa sisa. Pada titik itu, manusia kehilangan martabatnya. Dunia tanpa keadilan adalah dunia tanpa Tuhan.
Oleh karena itu, setiap bentuk ketidakadilan harus dipandang sebagai ancaman eksistensial. Ketidakadilan bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan dosa struktural yang berbahaya, sebuah pengkhianatan terhadap mandat kemanusiaan.
Jika suara keadilan adalah suara Tuhan, maka setiap generasi wajib menjadikannya agenda utama. Beberapa langkah visioner yang dapat diambil meliputi:
- Reformasi hukum berbasis integritas.
- Ekonomi yang partisipatif dan adil.
- Budaya yang kritis dan emansipatif.
- Etika ekologi global.
- Keadilan politik global.
Sejarah membuktikan bahwa setiap rezim yang mengabaikan keadilan akan runtuh, meski sementara tampak kuat. Sebaliknya, masyarakat yang menjadikan keadilan sebagai fondasi akan bertahan, bahkan di tengah krisis.
Tuhan dan Keadilan
Keadilan bukan sekadar konsep abstrak. Ia adalah napas peradaban, ruh agama, dan inti kemanusiaan. Tanpa keadilan, hukum hanyalah teks mati, ekonomi menjadi mesin ketamakan, budaya menjadi alat propaganda, politik menjadi permainan kuasa, dan tatanan dunia hanyalah sandiwara kekuatan besar.
Maka, ketika kita mengatakan “suara keadilan adalah suara Tuhan”, itu berarti membela keadilan adalah ibadah, melawan ketidakadilan adalah jihad kemanusiaan, dan menegakkan keadilan adalah jalan menuju peradaban yang benar-benar damai.
Kekacauan politik dunia saat ini, gelombang demonstrasi anarkis, hingga penggulingan rezim di berbagai belahan dunia bukanlah peristiwa acak. Semua itu adalah konsekuensi logis dari ketidakadilan yang dibiarkan berlarut-larut. Generasi muda mulai jenuh dengan tatanan lama yang timpang, sementara media sosial membuka mata publik global bahwa tidak ada kekuasaan zalim yang benar-benar abadi.
Ketidakadilan pasti akan tumbang—cepat atau lambat. Satu hal yang pasti: sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani berdiri di pihak keadilan. Tugas generasi saat ini adalah menghidupkan kembali ruh keadilan.
Editor: Assalimi

