Hingga catatan ini dituliskan, sejak genosida yang dilancarkan Israel pada 2023, sudah 64.964 jiwa lenyap. Sebagian oleh peluru dan bom yang tak pernah berhenti, sebagian lagi oleh lapar yang menggerogoti pelan-pelan. Israel, bersama sekutunya, menanggung dosa itu. Dunia seperti penonton teater memilih berpaling wajah. Sekilas harapan sempat hadir kemarin di Doha, dalam KTT darurat Arab-Islam. Tapi sial, yang lahir hanyalah suara-suara kosong, lebih mirip gema dari ruang rapat yang berpendingin. Mereka menolak menanggung resiko, memilih kalimat lunak dan kecaman basi. Mereka penakut. Pengecut.
Palestina, bangsa yang pernah hidup ribuan tahun lalu itu kini remuk menghadapi tujuh puluh lima tahun penindasan Zionis. Dan sampai hari ini, tak ada yang sanggup memastikan: mungkinkah Palestina tegak sebagai sebuah negara merdeka? Yang tampak justru sebaliknya: sebuah bangsa yang, perlahan tapi pasti, mungkin hanya akan tinggal nama, dan tiada.
Jika Palestina Sudah Tiada
Jika Palestina sudah tiada, dunia barangkali akan terlihat sama, matahari tetap terbit, anak-anak kecil berangkat ke sekolah, sementara jalanan kota-kota besar akan tetap penuh dengan deru kendaraan. Tapi mungkin, yang akan hilang dari ingatan manusia modern hari ini ialah bahwa sebuah luka kemanusiaan telah dipaksa dilupakan. Nama sebuah bangsa yang punya sejarah besar telah hilang disapu dari peta dunia.
Palestina yang dulu hidup dalam doa-doa, mungkin sebentar lagi tertinggal sekadar sebagai catatan kaki dalam buku sejarah. Ia akan disebut dengan suara hampa, sebagaimana orang mengingat kerajaan-kerajaan kuno yang kini tak lagi punya pewaris. Tapi berbeda dengan Babilonia atau Majapahit, Palestina sesungguhnya bukan sekadar masa lalu yang menua. Lebih dalam dari itu, ia adalah luka berdarah yang justru gamplang terlihat di dunia modern.
Jika Palestina sudah tiada, dunia sekaligus akan kehilangan cerminnya. Manusia tak akan lagi melihat wajahnya sendiri, wajah yang dipenuhi kepalsuan, kompromi, persekutuan nista dan kebisuan. Persis pada saat yang sama, kita tak punya lahi kesempatan untuk bertanya: sampai di mana manusia bisa menukar prinsipnya dengan uang, sampai kapan hukum internasional bisa dilipat, serupa kertas usang, semata-mata demi menghindari konflik yang dianggap pelik.
Jika Palestina sudah tiada, barangkali dunia akan lebih tenteram, sebab tiada lagi berita anak-anak yang mati tertimbun reruntuhan rumah. Tak ada lagi potret perempuan-perempuan tua berlari merintih dengan wajah penuh debu dan luka. Tapi ketahuilah, ketenteraman itu hakikatnya semu, serupa rumah yang dibangun di atas kuburan.
Jika Palestina sudah tiada, agama-agama besar akan kehilangan tanah tempat mereka memutar ulang sejarah. Yerussalem, kota suci itu, akan berubah menjadi monumen kosong. Barangkali kelak ia sekadar tempat wisata. Al-Quds, Betlehem, Nazareth tak akan lagi hidup sebagai simbol. Sebab simbol-simbol itu telah luluh lanta, dihapus tank dan bom.
Jika Palestina sudah tiada, manusia pelan akan menjahit pelajaran pahit, bahwa dahulu pernah hidup sebuah bangsa yang punah bukan karena kalah dalam perang, namun karena dibiarakan sendirian. Dunia yang begitu subuk dengan logika pertumbuhan ekonomi, teknologi dan kompetisi global, secara pelan akan mencatat keheningan itu sebagai bukti, bahwa solidaritas kemanusiaan tetiba bisa dikalahkan oleh harga saham, kurs mata uang dan persekutuan politik yang nista.
Tetapi, mungkinkah Palestina sungguh-sungguh tiada?. Tidak. Ia akan terus hidup dan ada, sebab hakikatnya ia bukan sekadar tanah dan batas geografis. Palestina adalah metafora kebertahanan dari ketidakadilan yang menuntut suara. Palestina tak akan pernah benar-benar hilang, selama masih ada insan manusia yang berdoa di malam hari dan menyebut namanya, selama masih ada puisi yang ditulis penuh tulus.
Bangsa itu mungkin akan tiada lagi sebagai sebuah negara, tapi akan tetap hidup sebagai ingatan. Ia hidup di mural-mural kota-kota besar, denyut perlawanannya akan hidup di syair-syair dan dinyanyikan oleh orang-orang yang mencintai kemanusiaan. Di ujung waktu, sejarah akan berbisik lirih, sebuah tanah telah dhancurkan, tapi tidak dengan sebuah nama. Palestina akan terus di dilafalkan, bahkan setelah ia sudah tidak ada lagi dalam peta dunia.
Editor: Soleh

