Opini

Wahyu, Akal, dan Perdebatan Bentuk Bumi

3 Mins read

Sejak manusia mengenal langit dan bumi, pertanyaan tentang bentuk bumi telah menjadi bagian dari rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Dalam peradaban Islam, perdebatan ini tidak hanya bersifat ilmiah, tetapi juga teologis. Memahami alam semesta berarti memahami ciptaan Allah, dan memahami ciptaan-Nya berarti mendekati Sang Pencipta. Oleh karena itu, persoalan apakah bumi bulat atau datar bukan sekadar isu kosmologi, melainkan juga refleksi tentang bagaimana wahyu dan akal bertemu dalam sejarah keilmuan Islam.
Perdebatan ini menarik karena mengungkap dua sisi sahih dalam tradisi Islam: pertama, tradisi tafsir tekstual yang berpegang pada makna literal ayat; kedua, tradisi ilmiah yang berbasis observasi empiris. Di antara keduanya, terdapat dialektika panjang yang membentuk dinamika pengetahuan Islam selama berabad-abad.

Pandangan Ulama Klasik tentang Bentuk Bumi

Sebagian ulama klasik, seperti Ibn Hazm dan Ibn Taymiyyah, telah membahas konsep kebulatan bumi jauh sebelum era sains modern. Ibn Hazm dalam Al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa wa an-Nihal menyatakan bahwa bumi berbentuk bola (kurrah), sementara Ibn Taymiyyah dalam Majmu‘ al-Fatawa menjelaskan bahwa “langit dan bumi bagaikan dua bola yang saling melingkupi.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa sejumlah pemikir Muslim telah menyadari bentuk bumi yang melengkung, meskipun observasi astronomi pada masa itu masih sederhana.

Namun, tidak semua mufasir sependapat. Beberapa ulama, seperti Ka‘b al-Ahbar, Wahb bin Munabbih, al-Tabari, Fakhr al-Din al-Razi, al-Suyuti, dan al-Shawkani, diyakini mendukung pandangan bumi datar atau setidaknya tidak secara eksplisit mendukung bentuk bola. Mereka menafsirkan ayat seperti “dan bumi setelah itu Dia hamparkan (dahaha)” (QS. An-Nazi‘at: 30) secara literal, sebagai indikasi bahwa bumi terbentang datar. Tafsir semacam ini tidak mencerminkan penolakan terhadap sains, melainkan cerminan horizon pengetahuan pada zamannya. Dunia mereka adalah dunia prateknologi, di mana pengetahuan ilmiah belum berkembang seperti sekarang. Dengan demikian, tafsir literal merupakan bentuk penalaran yang wajar dalam konteks epistemologis abad pertengahan.

Baca Juga  Di Era AI, Dimana Peran Akal dan Wahyu?

Kosmologi Islam dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Sejarah mencatat bahwa ilmuwan Muslim seperti al-Biruni, al-Farghani, dan Ibn al-Haytham telah mempelajari bentuk dan gerak bumi dengan metode ilmiah yang canggih untuk zamannya. Al-Biruni bahkan menghitung keliling bumi dengan membandingkan tinggi gunung dan sudut pandang ke cakrawala, menghasilkan angka yang sangat mendekati pengukuran modern. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam, tidak ada pertentangan mendasar antara iman dan ilmu. Sebaliknya, pencarian ilmiah dianggap sebagai bentuk ibadah intelektual.

Dalam epistemologi Islam klasik, wahyu dan akal adalah dua sumber kebenaran yang berasal dari Tuhan yang sama, sehingga keduanya tidak mungkin bertentangan secara hakiki. Jika terdapat kontradiksi antara teks wahyu dan temuan ilmiah, masalahnya bukan pada kebenaran itu sendiri, melainkan pada cara manusia memahaminya. Prinsip ini menjadi dasar bagi ulama rasionalis seperti Ibn Rushd, yang menegaskan bahwa wahyu dan akal saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

Salah satu kesalahpahaman besar dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang bumi adalah memperlakukan bahasa wahyu sebagai bahasa ilmiah. Padahal, bahasa Al-Qur’an bersifat fenomenologis, menggambarkan realitas sebagaimana tampak bagi manusia, bukan dalam kerangka geometris atau fisika modern. Ketika Al-Qur’an menyebut “bumi dihamparkan,” yang dimaksud bukan bentuk datar secara matematis, melainkan fungsi eksistensial bumi sebagai tempat hidup yang stabil. Ayat tersebut berbicara dalam bahasa manusia yang hidup di bumi, bukan dalam rumus astronomi.

Dengan demikian, tafsir literal tidak harus ditolak, tetapi perlu ditafsir ulang dalam konteks baru. Bahasa wahyu tidak dapat dipaksa tunduk pada bahasa sains, tetapi juga tidak boleh dijadikan pembenaran untuk menolak bukti empiris. Di sinilah pentingnya hermeneutika Islam modern, yang membaca teks suci dengan kesadaran historis dan ilmiah sekaligus.

Baca Juga  Tafsir Istiadzah: Pengajaran Pertama Jibril

Ijma‘, Ilmu, dan Otoritas Pengetahuan

Masalah lain yang sering muncul adalah klaim adanya ijma‘ atau konsensus ulama mengenai bentuk bumi. Padahal, dalam metodologi Islam, ijma‘ hanya berlaku pada persoalan hukum syariat yang bersumber langsung dari teks wahyu, bukan pada isu empiris seperti astronomi. Ilmu pengetahuan bekerja melalui observasi, eksperimen, dan falsifikasi. Kesepakatan ilmiah bukan disebut ijma‘, melainkan scientific consensus, yang bersifat dinamis dan dapat berubah seiring munculnya bukti baru. Oleh karena itu, mengklaim bahwa bentuk bumi merupakan ijma‘ keagamaan adalah kekeliruan metodologis.

Perbedaan antara otoritas ilmiah dan otoritas keagamaan harus dijaga agar keduanya tidak saling menindas. Ketika agama mengklaim monopoli atas sains, lahirlah dogmatisme. Sebaliknya, ketika sains menafsirkan wahyu secara reduksionis, lahirlah sekularisme yang kering makna. Islam klasik mengajarkan keseimbangan: ilmu adalah jalan untuk mengenal Tuhan, dan wahyu adalah cahaya yang memberi arah bagi ilmu.

Refleksi: Membulatkan Nalar, Bukan Sekadar Bumi

Kini, ketika manusia dapat melihat bumi langsung dari luar angkasa, sebagian orang masih memperdebatkan apakah bumi datar atau bulat. Ironisnya, perdebatan ini bukan lagi tentang bentuk bumi, melainkan tentang cara berpikir. Bumi telah terbukti bulat, tetapi banyak pikiran masih “datar,” menolak kompleksitas, perubahan, dan pembelajaran. Dalam dunia yang berubah cepat, kejumudan berpikir justru lebih berbahaya daripada kesalahan tafsir.

Umat Islam pernah menjadi pelopor sains dunia karena keberanian berpikir dan semangat tahqiq (verifikasi). Para ilmuwan Muslim tidak takut menguji teori, menantang otoritas, dan memperluas pengetahuan. Mereka tidak merasa iman mereka terancam oleh eksperimen, justru diperkuat. Untuk menghidupkan kembali semangat itu, umat Islam perlu “membulatkan” cara berpikir, menyatukan iman dan ilmu dalam satu orbit pencarian kebenaran.

Baca Juga  Rachel Corrie Mati Dilindas Buldoser IDF

Pada akhirnya, perdebatan tentang bentuk bumi hanyalah pintu masuk menuju refleksi yang lebih dalam: bagaimana kita memahami hubungan antara wahyu dan dunia. Alam bukan sekadar latar tempat manusia beriman, tetapi juga teks kedua yang harus dibaca dengan akal. Tuhan memberikan manusia dua kitab: Al-Qur’an dan alam semesta. Jika dibaca dengan jujur, keduanya selalu menyampaikan kebenaran yang sama: kebenaran itu satu, dan hanya dapat dicapai oleh akal yang terbuka serta hati yang tunduk.

Editor: Assalimi

Avatar
4 posts

About author
Alumni Aqidah Filsafat Islam UIN Jakarta
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *