Mungkin sebagian dari anda sama dengan saya. Bahwa antara masyarakat Indonesia dan feodalisme ibarat darah dan daging dalam satu tubuh. Beruntungnya, dalam beberapa tahun belakangan ini sebagian masyarakat Indonesia menyadari akan penyakit laten yang telah lama menjangkiti sebagian besar masyarakat kita tersebut. Banyak pakar, ahli, influencer, bahkan konten kreator yang terus berusaha mengedukasi masyarakat luas akan betapa bahayanya daya rusak yang diakibatkan paham feodalisme dalam struktur kemasyarakatan maupun dalam cara hidup berbangsa dan bernegara.
Saya jelas sangat bersyukur dan mengapresiasi setinggi-tingginya terhadap pihak-pihak yang tak lelah untuk terus memberikan edukasinya lewat berbagai media. Perjuangan yang mereka lakukan pastilah tidak mudah. Kita semua tahu, dalam perjalanannya menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, masyarakat Indonesia memang telah lama diasuh oleh paham ini. Mulai dari sistem kerajaan yang mendominasi nusantara kala itu hingga warisan politik penjajah dengan praktik stratifikasi sosialnya. Kini setelah 80 tahun pasca Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, era kerajaan telah lama berakhir, penjajah sudah berhasil kita usir. Namun dengan gaya dan wajahnya yang baru, ternyata feodalisme tetap hadir.
Dalam suatu kesempatan saya menghadiri sebuah acara yang diselenggarakan oleh DPRD di daerah saya. Dalam rangka memperingati ulang tahunnya yang ke 76, mereka berinisiatif untuk mengadakan kegiatan bantuan sosial. Acara tersebut kebetulan dilaksanakan di aula panti asuhan yang saya asuh. Sebagai informasi untuk anda ketahui, panti kami belum memiliki masjid ataupun mushola. Alhasil aula yang ada kami manfaatkan sebagai pusat kegiatan di panti kami, salah satunya kegiatan salat berjamaah.
Maka dalam pikiran saya, peserta acara musti melepas sepatunya demi menjaga kesucian tempat. Bagi saya, dengan melepas sepatu untuk menjaga kesucian tak akan mengurangi esensi dan kekhidmatan acara yang akan berlangsung. Panitia penyelenggara sempat berkata pada saya bahwa mereka bersedia mencopot sepatunya apabila hal itu diperlukan. Lalu saya pribadi menyetujui hal itu dengan menyampaikan alasan tempat ini kami gunakan untuk beribadah.
Namun ide saya itu dianulir oleh rekan-rekan saya yang lain. Rekan-rekan saya beranggapan tak elok jika tamu terhormat diminta untuk melepas sepatunya. Akhirnya pendapat mayoritaslah yang berlaku dalam acara tersebut. Acara berjalan lancar meskipun pandangan saya agak sedikit terganggu ketika melihat peserta acara terbagi menjadi dua. Penerima bantuan dengan kaki-kaki telanjangnya dan pemberi bantuan dengan sepatu-sepatu mengkilapnya.
Anda boleh menilai saya terlalu berlebihan dalam menyikapinya. Namun, sadar atau tidak, peristiwa barusan adalah salah satu akibat dari cara pandang yang feodalistis. Maka terbayang dalam kepala saya bahwa feodalisme bukan saja mendarah daging akan tetapi merasuk hingga ke sumsum tulang-belulang masyarakat kita. Ia bisa menjangkiti siapa saja tanpa pandang bulu bahkan mampu menjangkiti manusia terdidik sekalipun. Ini bukan hanya soal sepatu yang dipakai atau dicopot. Tapi ini soal cara pandang dan mentalitas inferior akibat racun feodalisme yang mungkin selama ini kita abaikan.
Penyakit ini memang tidak menyerang fisik inangnya. Lebih dari itu, penyakit ini merusak cara berpikir yang kemudian terkonversi menjadi sebuah tindakan. Salah satunya ialah tindakan merasa rendah diri, minder, bahkan merasa bermutu rendah apabila berhadapan dengan sesuatu yang dianggap lebih terhormat kedudukannya. Hal itu bisa terjadi secara otomatis dengan kesadaran penuh serta tanpa diminta atau dipaksa oleh lawannya. Hal itu pula bisa terjadi pada siapa saja bahkan seorang agamawan sekalipun.
Anda bisa bayangkan jika kerusakan mental ini terjadi secara kolektif. Maka tak ada kemungkinan lain selain bangsa kita yang akan selalu sulit menemui kemajuan. Bisa jadi penyakit inilah yang menjadi sumber dari segala bentuk tindakan-tindakan minim integritas dan nir-etika dalam berbagai tatanan publik yang ada. Loyalitas buta, elitisme, patronase, pandai menjilat, KKN, hierarkisme yang bukan berdasarkan pada kompetensi, wa aalihi wa ashabihi ajma’iin.
Santer diberitakan belakangan ini tentang praktik feodalisme yang ternyata dianggap tumbuh subur dalam dunia pesantren yang bisa dibilang berisi manusia-manusia alim. Saya cukup dilematis merespon berita-berita itu. Di satu sisi saya sulit untuk meyakini bahwa hal itu benar namun di sisi yang lain saya juga sulit untuk meyakini jika hal itu tidak benar. Sebab saya sendiri merupakan produk pondok pesantren. Terasa subyektif memang, tapi saya berusaha untuk proporsional saja. Meskipun dilema, saya tetap yakin tidak semua pesantren di Indonesia mempraktikkannya.
Saya pikir praktik feodalisme mungkin-mungkin saja bisa terjadi di dalam relasi antara santri dengan kyai ataupun asatidz-nya. Sebagaimana yang disampaikan di awal umumnya memang paham ini bisa menjangkiti siapa saja dengan latar belakang apa saja. Feodalisme yang terjadi di pesantren sebenarnya juga sama saja dengan feodalisme yang terjadi di tempat-tempat lain. Dikarenakan ekspektasi publik terhadap pesantren yang terlampau tinggi mengakibatkan rasa kecewa ketika mereka mendapati realita yang ternyata tak sesuai harapan. Pesantren yang mustinya menjadi tempat di mana moral yang bersumber dari kitab suci benar-benar diajarkan justru tak lain ubahnya dengan tempat-tempat lain. Hal inilah yang di kemudian hari memicu keresahan di publik hingga menyebabkan perdebatan yang hampir mengarah pada kontra produktif.
Setidaknya lewat kasus-kasus yang saya berikan di atas, kita jadi mempunyai gambaran bahwa feodalisme telah lama tinggal dan menetap dalam alam bawah sadar masyarakat kita. Dengan begitu, harapannya kesadaran di antara kita bisa semakin meningkat untuk segera mengikisnya syukur-syukur membuangnya jauh-jauh. Mari kita kembali pada ajaran Islam yang mengedepankan prinsip egaliter (49:13). Agama yang berhasil menghapus praktik terekstrem dari feodalisme yakni perbudakan jahiliyyah pada masanya.
Kemuliaan bagi seorang muslim sejatinya merupakan akibat (konsekuensi logis) dari kokoh dan teguhnya prinsip atau syariat yang ia pegang lalu digigit dengan gigi gerahamnya. Kemuliaan tidaklah dicari atau didapat dengan cara mengemis dari orang lain. Tidak pula didapat dari memaksa orang lain untuk memvalidasi bahwa diri ini lebih mulia. Saya bukan sedang naif dan mengada-ada. Kemuliaan atau muruah itu benar-benar pernah kita rasakan di masa keemasan Islam. Itu merupakan gambaran nyata jika umat Islam benar-benar konsekuen terhadap prinsip-prinsip agamanya.
Mungkin sebagian dari anda ada yang merasa tidak nyaman atau tersinggung dengan tulisan saya. Saya ucapkan mohon maaf, tapi ini akan tetap saya tulis dan publikasikan dengan niat ikhtiar kecil-kecilan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat luas.
Wallahu a’lam bisshawab.

