Falsafah

Al-Farabi dan Negara Ideal

4 Mins read
Oleh : Faqih El-Ilmi*

Biografi al-Farabi

-al-Farabi- Sebagian besar umat Islam pasti mengenal ilmuan sekaligus filusuf muslim bernama al-Farabi. Filsuf yang memiliki nama asli Abu Nasr al-Farabi ini lahir pada tahun 258 H/870 M dan wafat pada tanggal 339 H/ 950 M.

Menurut M. Syarief, kehidupan al-Farabi dibagi menjadi dua periode. Pertama, bermula sejak ia lahir sampai ia berusia lima puluh tahun. Banyak informasi menyebutkan bahwa pada periode ini , ia dilahirkan di Wasij, sebuah dusun dekat Farab, di Transoxiana pada tahun 258 H/870 M.  Telah diyakini pula pada periode ini, ia lahir sebagai orang Turki, ayahnya seorang jendral dan ia sendiri pernah bekerja sebagai seorang hakim untuk beberapa waktu. Pada awal abad 3 H/ 9 M, di Farab berlangsung gerakan kebudayaan dan pemikiran yang meluas bersamaan dengan meluasnya ajaran Islam.

Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa, menurut ibn Khalikan, al-Farabi menguasai kurang lebih 70 bahasa. Pada awalnya, al-Farabi tidak menyukai ilmu-ilmu yang rasional seperti matematika dan filsafat. Seiring berjalannya waktu, ia kemudian tertarik dengan ilmu rasional. Berkat kegelisahan intelektualnya juga, ia terdorong untuk “Hijrah” meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu pengetahuan.

Pada periode yang kedua, kehidupan al-Farabi usia tua dan kematangan intelektual secara penuh. Baghdad yang pada waktu itu menjadi pusat belajar yang terkenal, merupakan tempat pertama yang disinggahinya setelah hijrah dari kampung halamannya. Di Baghdad, ia  bertemu dengan beberapa sarjana yang menguasai berbagai bidang, di antaranya filsafat dan penerjemahan. Kemudian, ia tertarik belajar logika dengan Abu Bisyr Matta ibn Yunus yang menjadi mentor pertamanya ketika ia berada pada fase pengembaraan intelektual di Baghdad. Pada periode ini pula, al-Farabi banyak bertukar pikiran dengan para ilmuan dan filosof. Sehingga membuat kualitas intelektualnya menjadi matang hingga melahirkan beberapa karya. Sumbangsih pemikirannya juga tertuang di berbagai bidang.

Baca Juga  Empat Ajaran Filsafat Wujud Mulla Sadra

Tipologi Komunitas Menurut al-Farabi

Bukan filsuf muslim kalau tidak menguasi berbagai lintas keilmuan. al-Farabi juga menguasai ilmu politik. Bahkan ia memiliki konsep tentang negara yang ideal dan pemimpin yang ideal. Manusia, menurut al-Farabi, secara natural tidak mungkin memenuhi keinginannya (pokok) tanpa melibatkan bantuan orang lain.

Manusia juga tidak akan dapat hidup normal kecuali dengan berkumpul, berinteraksi, dan meleburkan diri dalam suatu komunitas. Komunitas itu kata al-Farabi ada yang besar, sedang,  dan kecil. Komunitas besar ialah terdiri dari berbagai umat yang memiliki karakteristik yang berbeda namun dapat menjadi satu kesatuan karena adanya rasa pengertian, sehingga muncul suatu sikap tolong menolong.

Sedangkan, komunitas sedang itu hanya terdiri dari satu umat, sementara komunitas kecil ialah penduduk kota. Bagi al-Farabi, ketiga komunitas ini ialah komunitas yang sempurna. Adapun komunitas yang tidak sempurna ialah seperti desa dan komunitas yang sangat tidak sempurna adalah keluarga. Sebab, desa dan keluarga sebagai komunitas yang tidak sempurna,  tunduk pada kota sebagai komunitas kecil yang sempurna melalui peraturan-peraturan yang dibuat. Singkatnya, komunitas besar ialah yang terdiri dari berbagai negara yang menjadi satu kesatuan. Sedangkan, komunitas sedang ialah negara dan komunitas kecil ialah kota yang ada dalam negara itu sendiri.

Konsep Negara Utama al-Farabi

Lebih lanjut, al-Farabi memiliki konsep tentang negara utama (al-madinah al-fadilah) yakni negara yang memperjuangkan kemakmuran serta kesejahteraan warga negaranya. Segala kebijakan diarahkan untuk kepentingan rakyat. Bukan kepentingan golongan apalagi sampai kepentingan pribadi. Di negara ini juga, supremasi hukum ditegakkan, keadilan ditegakkan serta dipenuhi hikmah. Juga melahirkan pemimpin-pemimpin yang utama pula, yang dapat membawa negara ini memiliki hubungan dengan akal aktif (akal yang mampu mengabstraksikan bentuk-bentuk yang tidak mempunyai hubungannya dengan materi),  mengenal Allah, dan benda-benda langit. Begitu juga masyarakat nantinya, sehingga dapat mencapai tujuan hidup dari tiap-tiap manusia yakni kebahagiaan.

Baca Juga  Kebangkitan Islam (1): Melihat Sekularisme dan Pengaruh Barat

Dalam konsep kepemimpinan negara ideal, menurut al-Farabi, pemimpinnya haruslah seorang filsuf yang memiliki karakter kenabian. Yang mana, dapat berkomunikasi dengan akal sepuluh (bagi al-Farabi, akal sepuluh adalah malaikat). Tugas dari pemimpin negara/kota utama ialah mengajari, mengarahkan, dan membina masyarakat menuju kebahagiaan yang sejati.

Negara yang Tak Ideal Menurut al-Farabi

Al-Farabi juga meguraikan tentang beberapa negara yang berlawanan dengan negara/kota utama. Pertama, ialah negara bodoh (al-madinah al-jahiliah). Yaitu negara/kota yang warganya tidak mengetahui tentang arti kebahagiaan (yang seharusnya menjadi tujuan utama manusia). Hal ini tidak pernah terlintas di  benak para pemimpin maupun masyarakatnya.

Jika pun diarahkan untuk mencapai suatu kebahagiaan, mereka juga tidak dapat memahaminya. Bahkan cenderung tidak memercayainya. Hal-hal baik hanya dianggap sebagai yang superfisial tetapi dianggap sebagai hal yang paling baik, bahkan cenderung dianggap sebagai tujuan hidup. Menurut al-Farabi, contoh masyarakat di negara/kota ini ialah: kemakmuran, kenikmatan, dan kebebebasan hawa nafsu menjadi yang utama untuk menuju sebuah kebahagiaan.

Kelompok kedua yang berlawanan dengan negara/kota utama  ialah negara fasik (al-madinah al-fasiqah). Yaitu negara yang masyarakatnya mengetahui ciri-ciri dari negara utama. Seperti arti kebahagiaan sebagai tujuan hidup, mengetahui adanya Allah, dan adanya benda langit dan akal aktif. Akan tetapi perilakunya justru bertolak belakang dengan apa yang mereka ketahui bahkan cenderung sama dengan negara bodoh. Kesamaan negara ini dengan negara utama hanya ada pada pendapatnya saja, tidak pada prilakunya.

***

Kelompok ketiga yang berlawanan dengan negara/kota utama ialah negara/kota yang bertukar tambah (al-madinah al- mubaddilah). Ialah masyarakat yang negara/kotanya telah sadar dari perilakunya yang mirip dengan negara bodoh kemudian berpindah menjadi perilaku masyarakat negara/kota utama. Menurut al-Farabi, masyarakat di negara/kota ini telah sadar bahwa perilaku mereka selama ini tidak sesuai dengan hati nuraninya.

Baca Juga  Dalam Agama Islam, Akibat Hukum di Dunia dan Akhirat

Kelompok keempat yang berlawanan dengan negara/kota utama ialah negara/kota sesat (al-madinah al-dhallah). Negara yang warganya memprediksi bahwa adanya kebahagian akhirat, namun berubah pikiran. Negara ini memercayai adanya Tuhan, malaikat, dan akal aktif. Tetapi dengan cara yang salah dan cenderung mengekspresikannya dengan membuat patung-patung dan khayalan lainnya. Pemimpin utama mereka ialah orang yang dipercaya memperoleh kepercayaan itu, kemudian disalahgunakan dengan opini yang berujung pada kepalsuan, penipuan, dan lain-lain.

Lalu, setelah melihat beberapa pandangan al-Farabi mengenai negara/kota yang ideal dan beberapa negara/kota yang berlawanan, adakah negara di dunia ini yang sesuai dengan negara/kota utama? Atau justru negara-negara di dunia saat ini berlawanan semua dengan negara/kota utama? Atau al-Farabi sendiri yang asyik dengan keutopian-nya ? Wallahu a’lam.

*Penulis merupakan Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran sekaligus terlibat aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Sukoharjo

Avatar
4 posts

About author
Kader IMM Jawa Tengah, Sarjana Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Alumni Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds