Perspektif

TK ABA: Filantropi Literasi Muslim Urban

4 Mins read

Taman Kanak-kanak Bustanul Athfal Aisyiyah atau TK ABA (Aisyiyah Bustanul Athfal) merupakan institusi pendidikan muslim usia pra-sekolah. Amal usaha pendidikan ini diselenggarakan oleh perkumpulan perempuan muslim di bawah organisasi Aisyiyah. TK ABA merupakan warisan gerakan literasi keagamaan perempuan muslim yang berakar sejak tahun 1919.

TK ABA dan Perjalanannya

Sekolah ini mengajarkan pengenalan huruf-huruf hijaiyah (huruf Arab), kisah-kisah Nabi dan Rasul, doa-doa sehari-hari (doa makan, doa tidur atau doa bepergian), adab-adab dasar pada sesama manusia dan lingkungan, serta mengaji Juz Amma (kompilasi surat-surat pendek pada bagian akhir kitab suci Al-Qur’an) yang dituntun oleh seorang guru/ustadzah.

TK ABA sangatlah istimewa. Sekolah ini tersebar ke berbagai tempat. Bukan cuma Yogyakarta (Jawa), asal TK ABA lahir, tapi juga menjangkau kawasan pedalaman, pesisir, urban dan pedesaan, mulai dari kawasan Barat, Tengah, hingga Timur Indonesia. Setiap tahunnya, upaya pendirian TK ABA dan PAUD terus meningkat.

TK ABA setidaknya menjadi bagian dari pengalaman “Islamisasi” dini pada anak-anak urban. Mereka tumbuh dengan bimbingan keagamaan dari TK ABA. Sehingga tak mengherankan, pengalaman pendidikan agama modern itu sejak awal termanifestasikan secara unik dengan sekolah seperti TK ABA.

Berdasarkan penelusuran dokumen yang dilakukan Mu’arif, TK ABA Aisyiyah diketahui merupakan perubahan nomenklatur lembaga dari fröbelschool (bahasa Belanda yang berarti “taman kanak-kanak) menjadi Aisjijah Boestanoel Athfaal tahun 1924. Jika dihitung berdasarkan proses berdiri tahun 1919, maka TK ABA sudah berusia satu abad. Usia yang matang, turut menjadi denyut nadi bangsa yang tengah menyusun kebebasan politiknya pada tahun 1945. Selama itu pula, TK ABA menjadi bagian utama gerbang kaum muslim urban.

Pengalaman Muslim Urban

Sekolah ini bukan lagi sekedar amal usaha organisasi Aisyiyah, tapi juga menjadi bagian dari pengalaman hidup muslim “urban”, yakni kategori kelas sosial di perkotaan atau pusat ekonomi dan sosial regional tertentu yang berkomitmen pada pendidikan. Seiring dengan perubahan dan penyebaran efek ekonomi dan politik, “urban” menjadi istilah yang lentur dan sulit didefinisikan. Kawasan-kawasan yang sebelumnya termasuk “desa” atau “pinggiran” (peripheral) perlahan menjadi “urban”.

Baca Juga  WR. Soepratman Jemaat Ahmadiyah: Investasi Ahmadiyah di Era Kemerdekaan

Pemukiman-pemukiman penduduk muslim pedesaan yang makin terpusat di kawasan perekonomian-kota akibat migrasi mendorong munculnya satu kelas sosial yang “cair” bernama muslim urban. Mereka tak sepenuhnya bisa diperdebatkan dalam oposisi biner “orang kota” atau “orang desa”.

Muslim “urban” berada di antara dua spektrum geo-ekonomi tersebut. Pada musim lebaran mereka pulang kampung, sebagian besar keluarga mereka mendiami desa dan tentu saja sumber cadangan ekonomi mereka berupa tanah atau sawah ada di desa. Relasi mereka dengan “urban” terbentuk melalui kesempatan mengakses pendidikan modern sedini mungkin.

TK ABA dapat dihubungkan secara unik dengan pembentukan kesadaran muslim urban. Pengalaman keagamaan mereka di lembaga pendidikan semacam TK ABA jelas merupakan transformasi paling modern dari patahan atau pergeseran model pendidikan tradisionalis yang diperkenalkan oleh pesantren, surau, atau langgar-langgar.

Bukan lagi Kiai yang memegang otoritas pendidikan kaum muslim ini. Melainkan figur-figur guru agama yang setidaknya cenderung menguasai praktik kurikuler ala Barat. Maksudnya mereka sangat menekankan pada keterampilan keagamaan sebagai keterampilan pribadi, sosial, ekonomi dan spiritual.

Pengalaman kaum muslim urban bersama TK ABA terjalin erat dengan perubahan besar-besaran politik kaum muslim pada awal abad 20. Meningkatnya kesadaran pada ketimpangan literasi kaum muslim, mendorong mereka untuk menciptakan kurikulum pembelajaran keagamaan yang lebih inklusif.

Hingga saat ini, TK ABA memang juga turut serta menjadi bagian dari sekolah Islam elit, istilah yang agak membingungkan, tapi kira-kira mengacu pada besaran biaya yang dibutuhkan untuk memperoleh fasilitas sekolah. Tapi jangan lupa, TK ABA tetap menjadi sekolah bagi kaum muslim urban dari kelas menengah ke bawah. Bahkan di Jawa, kita masih akan menemukan TK ABA yang “murah” sebagaimana bisa kita temukan di Sulawesi atau Sumatera.

Baca Juga  Tentang Waktu, Masa Lalu yang Tak Mungkin Terulang Kembali

Filantropi Literasi Muslim Urban

Kehadiran TK ‘Aisyiyah bukan cuma di kawasan urban perkotaan, tapi juga pedesaan. Tapi ada penekanan khusus dalam konteks perkotaan. TK ABA di pedesaan cenderung berbagi kontribusi dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam lain seperti madrasah diniyah atau sekolah arab yang umumnya diselenggarakan di masjid atau mushola. Sehingga keberadaan TK ini di kawasan perkotaan memberi bentuk Islamisasi yang berbeda.

Setidaknya setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, corak perekonomian desa dan kota, menjadi tampak lebih jelas. Kawasan pedesaan memproduksi dan memasok pangan-pangan utama bagi kawasan perkotaan. Sedangkan kawasan urban menciptakan produksi berbasis industri dan model ekonomi investasi yang menghasilkan kelas “buruh”, dominasi perangkat desa atau negara, dan kehadiran kelompok pemilik sarana produksi (biasa disebut kapitalis).

Jika pedesaan bertopang pada penguasa tanah dan kuasa kultural-simbolik, perkotaan atau urban ditopang oleh relasi kuasa antara buruh dan kapitalis. Situasi ini menciptakan mode pengetahuan yang berbeda.

Pedesaan membutuhkan proses Islamisasi yang sangat kultural dan simbolik, terwujud dalam model pembelajaran keagamaan yang dibimbing oleh seorang Kiai. Sedangkan Islamisasi urban dipengaruhi oleh kondisi ketimpangan ekonomi yang sangat kentara antara kelas bawah dan atas. Maka proses Islamisasi pengetahuan bercorak sangat ekonomis.

Kaum muslim urban membutuhkan pendidikan bukan sekedar transfer of value atau transfer of knowledge, tapi filantropi pengetahuan atau bisa disebut filantropi literasi. Inilah yang membuat TK ABA memperoleh posisi unik.

Posisi TK ABA bagi muslim urban sebagai filantropi literasi terlihat jelas pada upaya pembiayaan operasional lembaga yang sangat tergantung pada donasi dan infaq sekolah dari wali murid. Beragam cara dilakukan oleh pimpinan sekolah untuk memperoleh biaya membayar guru-guru TK tersebut.

Baca Juga  Sebenarnya, Penjara adalah Anugerah

Pengaruh Biaya Pendidikan

Barangkali TK ABA yang masih menerapkan model lama ini (walaupun ada juga yang sudah tidak demikian kondisinya) dianggap ketinggalan zaman jika dibandingkan dengan komersialiasasi pendidikan Islam yang tengah merebak dengan munculnya pengaruh kelas menengah muslim sejak tahun 1990an.

Kesadaran kelas menengah bahwa pendidikan selalu “berbiaya” turut serta dalam merasionalisasi kapitalisme pendidikan. Ini tentu saja bukan sekedar bahwa sekolah harus mampu mandiri dan modern dalam pengertian ekonomistik. Tapi juga pada satu sisi terancam menghilangkan posisi emansipatif lembaga pendidikan pada misi awalnya untuk mengatasi ketimpangan ekonomi kaum muslim urban. Problem kaum miskin kota ini serta merta hilang seiring dengan meningkatnya polarisasi ekonomi lembaga pendidikan di kawasan perkotaan.

Selama satu abad TK ‘Aisyiyah menjadi pengalaman dari kaum muslim urban yang berupaya mengakses pendidikan keagamaan dan pendampingan literasi dini. Selama itu pula, sekolah ini bertumbuh, layu atau mekar, sangat bergantung pada bagaimana kita meletakkan nalar pendidikan.

TK ‘Aisyiyah merupakan bentuk filantropi literasi karena sekolah ini sejak awal sangatlah inklusif dan dibangun dengan semangat gotong royong. Sekolah ini merupakan bagian dari aktivisme keagamaan, bukan layanan industri pengetahuan. TK ‘Aisyiyah membentuk suprastruktur keagamaan modernis dan misi sosiologis penyebaran pengetahuan keagamaan. Sehingga penekanan utamanya jelas bukan untuk memasok sumber daya manusia untuk industri, tapi melipatgandakan “kader keagamaan”. Kader-kader yang diharapkan melanjutkan estafet penyebaran edukasi keagamaan di masa mendatang.

50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds