Tajdida

MODERASI INDONESIA: Ringkasan Pidato Guru Besar Haedar Nashir

7 Mins read

“Istilah radikalisme digunakan bergantian ketika menjelaskan radikalisme Islamis (Islamist Radicalism) atau secara umum untuk menunjukkan seberapa level ekstremitas. Islamophobia dan Islamist Radicalismmerupakan ideologi yang bertahan dan berkembang dengan melakukan penyalahan (blaming), fitnah (defaming), dan pengecaman terhadap pihak lain (other). Ideologi eksklusifis seperti ini tidak muncul dalam kondisi yang vakum.

Kenyataan memang terdapat kelompok radikal, ekstrimis, dan teroris yang mengatasnamakan Islam dan bertautan dengan ideologi Islam garis keras atau militan seperti Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Taliban, ISIS, Hizbut Tahrir, Jamaah Ansharu Daulah,  dan lain-lain yang bagi umat Islam atau Dunia Muslim tidak dapat menghindar dari kenyataan tersebut sekaligus memerlukan kritik ke dalam lebih dari sekadar bertumpu pada pandangan tentang politik konspirasi dari luar.

Namun kenyataan tersebut tidak dapat dijadikan generalisasi yang kemudian membangan cara pandang dan kebijakan bahwa yang dilekatkan dari radikalisme itu ialah radikalisme agama, khususnya radikalisme Islam sehingga sasaran deradikalisasinya pun adalah institusi-institusi sosial seperti masjid, majelis taklim, dan bagian-bagian dari kelembagaan umat Islam.”

Haedar Nashir, 2019: 25

“Dalam beberapa tahun terakhir, istilah ‘radikalisasi’, seperti istilah terorisme, telah menjadi sangat dipolitisasi. Istilah itu telah digunakan dalam permainan politik pelabelan dan penyalahan terhadap segala hal yang terkoneksi. Kalangan akademisi juga telah membuat banyak definisi yang sering kurang seksama mengenai radikalisme. Dari titik itulah berkembang bias pemahaman, orientasi, dan pelekatan radikalisme dengan segala kaitannya dengan radikalisme agama lebih khusus radikalisme Islam.”

Haedar Nashir, 2019: 28-29

“Poin penting dari bahasan ini ialah mengenai cara pandang, cakupan, objek, dan pelekatan radikal serta radikalisme haruslah objektif untuk semua aspek dan kelompok agar tidak bias hanya ditujukan pada kelompok tertentu, khususnya dikaitkan dengan label Islam dan radikalisme Islam dalam berbagai kaitannya.

Pelekatan radikal dan radikalisme pada konotasi Islam dan umat Islam merupakan bias dari cara pandang dan kebijakan negara-negara Barat yang beraura Islamofobia dan diawali oleh trauma politik pasca tragedi 11 September 2001 yang menghentak dunia itu. Jika hal tersebut diteruskan dan tidak ditinjau ulang selain paradoks dengan konsep dasar dan aspek radikalisme yang dapat dilakukan oleh siapa atau golongan manapun, pada saat yang bersamaan tidak berkesesuaian dengan kenyataan atau fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan bangsa karena di lingkungan sosial lain terdapat radikalisme.”

Haedar Nashir, 2019: 29

“Semua teroris, menurut definisi, bersifat radikal. Namun tidak semua yang memiliki pemikiran radikal berakhir sebagai teroris. Faktanya, hanya minoritas radikal yang berani melakukan tindakan terorisme.”

Haedar Nashir, 2019: 32

“Di sinilah pentingnya merevisi atau menyusun ulang secara menyeluruh mengenai pandangan, pemikiran, kriteria, sasaran, aspek, dan kebijakan dalam menghadapi radikalisme secara objektif dan multiperspektif di Indonesia.”

Haedar Nashir, 2019: 33

INDONESIA DAN KEINDONESIAAN

Penduduk muslim atau umat Islam di negeri ini sejak kedatangan hingga dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia memiliki sifat dasar moderat dalam makna damai, tengahan, toleran, dan terbiasa hidup dalam keragaman. Dalam konteks umat Islam Indonesia yang sering terpapar pelabelan dan objek radikalisme atau ekstrimisme sesungguhnya hal tersebut dapat dinyatakan sebagai ahistoris jika ditimbang dari mayoritas pengikutnya yang moderat dan memiliki peran moderasi di negara kepulauan yang luas ini.

Haedar Nashir, 2019: 40

Kekuatan Islam telah membentuk keindonesiaan, sehingga antara keislaman dan keindonesiaan memyatu dalam dinamika yang terus menerus berproses secara berkesinambungan. Islam Indonesia menjelma sebagai berwatak “indigeneous”atau “mempribumi”…,

Haedar Nashir, 2019: 42

“Karenanya menjadi bias ketika dijumpai sekelompok umat Islam minoritas yang memiliki ideologi atau cara pandang dan tindakan radikal menjurus ekstrem, keras, dan anti terhadap Pancasila maupun bentuk radikalisme lainnya kemudian mereduksi keberadaan dan masa depan umat Islam mayoritas yang berwatak moderat.

Negara harus mengakhiri cara pandang dan kebijakan yang bias itu dengan meninjau ulang konsep dan strategi menghadapi radikalisme sebagai identik dengan radikalisme Islam disertai merevisi total kebijakan deradikalisasi yang muaranya bersasaran pada umat dan institusi-institusi Islam Indonesia dengan moderasi Islam sebagai satu paket utuh dengan moderasi Indonesia dan keindonesiaan.”

Haedar Nashir, 2019: 44

Negara Kesatuan ini merupakan entitas yang membentuk diri dalam satu  kesatuan yang oleh Soekarno secara mudah dihimpun dalam negara dan bangsa yang bangunannya berdiri tegak di atas Pancasila sebagai “falsafah dasar” (Philosofische grondslag) dan“pandangan hidup” (Weltanschauung) yang menjadi pusat titik-temu dari seluruh keragaman yang dihimpun dalam jiwa Gotong Royong.

Titik temu inilah yang menjadi kekuatan moderat di tubuh Indonesia, sehingga dapat disimpulkan Indonesia dengan segala aspek keindonesiaannya yang diikat dan dilandasi Pancasila itu sejatinya berkarakter moderat. Karenanya Indonesia tidak boleh ditarik dan dibelokkan menjadi radikal, ekstrem, dan mengingkari kemoderatan dirinya.

Haedar Nashir, 2019: 45

MODERASI KEINDONESIAAN

“Radikal tidak dapat dilawan dengan radikal sebagaimana dalam strategi deradikalisasi versus radikalisasi serta deradikalisme versus radikalisme jika Indonesia ingin mengatasi radikalisme dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam menghadapi radikalisme agama. Moderasi merupakan pilihan untuk melawan radikalisme atau ekstremisme…”

Haedar Nashir, 2019: 45-46

“Moderasi Indonesia sesungguhnya merupakan kontinyuitas dari akar masyarakat di Kepulauan ini yang berwatak moderat dan telah mengambil konsensus nasional dalam bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan ber-Bhineka Tunggal Ika sebagai titik temu dari segala arus keindonesiaan.”

Haedar Nashir, 2019: 48

“Titik temu merupakan bentuk moderasi dari keragaman, yang satu sama lain saling berkorban atau berbagai dan peduli, yang di dalamnya terdapat toleransi, akomodasi, kerjasama, dan membangun koeksistensi sebagai Bhineka Tunggal Ika yaitu berbeda-beda tetapi satu, sebagaimana tertulis dalam lambang Negara Republik Indonesia, yakni Pancasila.”

Haedar Nashir, 2019: 49

“Dalam konteks kehidupan kebangsaan moderasi sebagai jalan tengah dari ekstrimitas atau radikal-ekstrem untuk mengembalikan Indonesia dengan seluruh dimensi keindonesiaannya pada proporsi semula sebagaimana fondasi, jiwa, pikiran, dan cita-citanya telah diletakkan oleh para pendiri negara sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak diamandemen karena dipandang sebagai dasar substansi dari Konstitusi UUD 1945.” 

Haedar Nashir, 2019: 49

“Di tengah pandangan-pandangan yang cenderung radikal atau ekstrem dalam sejumlah atau berbagai aspek keindonesiaan, penting ditarik pada posisi moderat yaitu posisi tengahan dan proporsional mengenai kehidupan kebangsaan sehingga dapat diminimalisasi konflik dan kontroversi di tubuh bangsa dan negara Indonesia.”

Haedar Nashir, 2019: 49

“Karenanya dalam proses moderasi keindonesiaan maka Pancasila harus menjadi titik tumpu yang kokoh agar tetap di tengah dari segala tarik-menarik yang bersifat ekstrem, baik ke kanan maupun ke kiri, sehingga tidak terjadi radikalisasi atau ekstrimisasi terhadap dasar dan ideologi negara tersebut.

Pancasila niscaya diposisikan moderat sehingga tidak dibawa ke langit utopia melampaui agama, sebaliknya tidak menjadi serba praktis-teknis dan isntrumental layaknya suatu aturan.

Pelaksanaan Pancasila pun tidak menjadi jargon dan verbalitas yang kehilangan isi. Pancasila jika dijadikan rujukan sebagai patokan nilai terhadap radikalisme, maka harus berlaku terhadap segala jenis radikalisme.”

Haedar Nashir, 2019: 51

“Indonesia setelah reformasi sesungguhnya mengalami radikalisasi dan terpapar radikalisme dalam kuasa atau hegemoni ideologi dan sistem liberalisme atau neoliberalisme dalam berbagai aspek kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.”

Haedar Nashir, 2019: 55.

“Dalam kehidupan beragama atau keagamaan pandangan moderat atau moderasi harus menempatkan agama sebagai ajaran yang positif dan memiliki fungsi penting dalam kehidupan keindoneiaan. Hal itu didasarkan pada argumen kuat bahwa Indonesia tidak dapat lepas dari agamayang membentuk karakter orang Indonesia menjadi masyarakat relijius.”

Haedar Nashir, 2019: 58

“Karenanya siapa yang menjauhkan agama dari kehidupan bangsa Indonesiasama dengan mengingkari jatidiri keindonesiaan. Akan menjadi sesuatu yang radikal dalam arti ekstrem manakala agama dan umat beragama dinisbikan, dipinggirkan, dan dianggap sebagai sumber masalah dalam kehidupan keindonesiaan.Bagi umat beragama sendiri penting mengembangkan moderasi atau sikap moderat agar agama menjadi sumber nilai dan pedoman yang fundamental dalam membangun kehidupan yang baik, damai, toleran, maju, dan utama. Agama atau kehidupan beragama jangan dikembangkan menjadi ekstrem (ghuluw) yang menyebarkan permusuhan, kebencian, intoleransi, kekerasan, dan kerusakan atau fasad fil-ardldi muka bumi.”

Haedar Nashir, 2019: 58

“Khusus bagi umat Islam Indonesia sangat penting terus menembangkan moderasi Islam dalam arti membumikan Islam sebagai ajaran yang moderat untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Kenyataan memang masih dijumpai keberagamaan yang ekstrem atau radikal-ekstrem di tubuh umat Islam, sehingga memerlukan moderasi.”

Haedar Nashir, 2019: 58-59

“Karenanya moderasi merupakan jalan tengah dan penting bagi dunia Islam. Moderasi menjadi salah satu konsep kunci dalam Islam memberikan solusi ideal dan praktis untuk mengembangkan kepribadian individu serta mekanisme kontrol dalam masyarakat.”

Haedar Nashir, 2019: 59

“Bagi umat Islam Indonesia jauh lebih mudah untuk gerakan moderasi karena watak dan ruang sosiologis dari masyarakat dan umat Islam di Kepulauan ini yang potensial moderat. Islam Indonsia sejatinya berkarakter moderat dan anti segala bentuk radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.”

Haedar Nashir, 2019: 61

“Dengan demikian menghadapi radikalisme, ekstremisme, terorisme, dan segala kaitannya tidaklah dapat dilakukan secara linier, instant, dan bias dalam strategi deradikalisasi yang boleh jadi sama radikalnya. Ibarat membunuh nyamuk di kaca, jangan sekali-kali bernafsu melemparnya dengan batu, boleh jadi nyamuknya lepas kacanya yang pecah. Pilihan moderasi meskipun tampak lambat tetapi dapat menciptakan ruang sosiologis yang lebih leluasa dan banyak alternatif dalam menghadapi radikalisme di Indonesia.”

Haedar Nashir, 2019: 66

“Poin penting dari kajian dan pembahasan tentang radikalisme dalam berbagai kaitannya seperti berkembang di Indonesia akhir-akhir ini maka menjadi penting perspektif yang luas, mendalam, dan multiaspek agar tidak terjebak pada kekeliruan, bias, dan kesalahan cara pandang dan kebijakan dalam menghadapi masalah yang tidak sederhana itu. Bahwa secara sosiologis radikalisme itu bersifat kompleks dan universal yang lahir dalam situasi yang seringkali rumit. Tidak ada radikalisme yang tunggal dan berada di ruang vakum.”

Haedar Nashir, 2019: 69

PENUTUP

“Karenanya menjadi sesuatu yang bias dan peyoratif manakala radikalisme di Indonesia terbatas ditujukan objeknya pada radikalisme agama khususnya Islam sebagaimana tercermin dalam berbagai pandangan dan kebijakan deradikalisasi di negeri ini, yang belakangan menimbulkan kontroversi dalam kehidupan kebangsaan. Bias pandangan tersebut selain bertentangan dengan objektivitas kebenaran dan posisi Pancasila sebagai tolok ukur bernegara, pada saat yang sama hanya akan menjadikan Islam dan umat Islam terdakwa dalam stigma radikalisme, sekaligus mengabaikan radikalisme lainnya yang tidak kalah berbahaya atau bermasalah bagi kepentingan bangsa dan negara. Pandangan objektif ini tidak berarti menegasikan adanya radikalisme atau lebih khusus ekstremisme keagamaan khususnya di sebagian tubuh umat Islam Indonessia, yang dalam sejumlah kasus menunjukkan kenyataan radikal dan ekstrem, yang memerlukan moderasi beragama dan berislam untuk meneberkan keberagamaan yang rahmatan lil-‘alamin.”

Haedar Nashir, 2019: 71-72

“Konstruksi tentang radikalisme yang bias dan digeneralisasi secara luas dapat menjadikan Indonesia berada dalam gawat-darurat radikalisme, padahal sejatinya masih banyak aspek dan ruang sosiologis dalam kehidupan keindonesiaan yang moderat dan menjadi kekuatan Indonesia untuk menjadi negara maju yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa. Cara pandang yang berlebihan dengan orientasi deradikalisasi atau deradikalisme yang overdosis bahkan dapat menjurus pada suatu paradoks: bahwa melawan radikal dengan cara radikal akan bermuara melahirkan radikal baru, sehingga Indonesia menjadi terpapar radikal dan radikalisme.”

Haedar Nashir, 2019: 72

“Rumah dan lingkungan soiologis Indonesia semestinya lebih menumbuhkembangkan energi positif bagi masa depan bangsa dan generasi emas Indonesia. Jika setiap hari isu radikalisme terus digulirkan, tanpa mengurangi usaha menangkal segala penyakit radikalisme, maka bumi Indonesia akan sesak-napas oleh polusi radikalisme. Apalagi jika isu radikalisme itu digelorakan dengan gaduh dan aura negatif, sehingga berapa puluh, ratus, ribu, dan juta pesan-pesan negatif yang terkandung dari ungkapan radikal, radikalisasi, radikalisme, deradikalisasi, dan deradikalisme yang menghiasi tanah, lautan, dan udara Indonesia yang mengandung dan menebar virus negatif di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.”

Haedar Nashir, 2019: 73
Baca Juga  Sekolah Tinggi Filsafat Muhammadiyah: Tidak Perlu!
Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds