Riset

Meretas Mitos Agama VS Sains

8 Mins read


Oleh: Mansurni Abadi

Minggu lalu, saya menyelesaikan sebuah buku berjudul The God delusion yang ditulis oleh Richard Dawksin. Ia adalah seorang ilmuwan biologi pengikut Darwinian dari Universiti Oxford yang juga dikenal sebagai intelektual atheis. Ia juga mengkritik agama dan ketuhanan di setiap karyanya. Terdapat kurang lebih tiga buku Richard Dawkins yang saya baca mulai dari Selfish Gene, The Greatest Show on the Earth, The Magic of Reality, dan terakhir adalah The God Delusion. Kesemuanya mengagungkan sains lebih besar daripada agama dan ketuhanan itu sendiri.

Bahkan dalam buku The God Delusion dijelaskan jika paham-paham tentang ketuhanan sebenarnya adalah delusi massal umat manusia. Dan agama sebagai ruang tempat ketuhanan berada, selalu memberikan masalah bagi peradaban manusia. Maka, Richard Dawksin berkata jika cukup dengan sains lah manusia bisa membangun peradaban yang lebih baik.

Pendapat dari intelektual atheis seperti Dawkins ini kemudian di telan bulat-bulat oleh orang banyak. Terutama mereka yang kontra atau melawan apapun yang berkaitan dengan agama secara dogmatis tanpa mengambil ruang kritis

Namun di satu sisi, kaum agama pun mengembangkan teks-teks tafsir yang mengharamkan sains. Bahkan puncak daripada pengharaman akhirnya mengantarkan Eropa memasuki abad kegelapan. Dimana, gereja menjadi pengendali sains. Yang lebih ironis, apa yang terjadi terhadap peradaban Kristen, juga dialami oleh peradaban Islam pasca hancurnya entitas politik umat Islam. Hal tersebut menjadikan banyak negara-bangsa bahkan kini, di abad modern ini, berkembangnnya pahaman Islam eksterimis yang seringkali mengharamkan sains atas nama bidah. Akhirnya pertarungan sains vs agama menjadi masalah yang tak terselesaikan. Sehingga memunculkan pertanyaan: Apakah benar jika keduanya tidak bisa selaras?

Sebenarnya, jika membincang agama vs sains, saya jadi teringat dengan nasehat “Ilmu tanpa agama itu lumpuh, agama tanpa ilmu itu besar”yang mana itu adalah salah satu kutipan populer di kalangan para intelektual. Itu juga menjadi bahan diskusi dan dibahas tanpa ujung. Kutipan itu dikeluarkan dari esai Einstein yang berjudul Science and Religion yang diterbitkan tahun 1954.

***

Meskipun agama mungkin adalah yang menentukan tujuan, namun bagaimanapun juga, proses mencapai tujuan tersebut tetap dan harus dengan sains.

Perlu juga diingat, sebenarnya sains pada dasarnya hanya dapat diciptakan oleh mereka yang sepenuhnya diilhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini, bagaimanapun, berasal dari bidang agama atau katakanlah sisi spiritual.

Terhadap hal ini juga, terdapat keyakinan pada kemungkinan bahwa peraturan yang berlaku bagi dunia keberadaan, adalah rasional. Yaitu dapat dipahami dengan alasan.

Saya tidak dapat membayangkan seorang ilmuwan sejati tanpa iman yang mendalam ini. Situasinya dapat diekspresikan oleh sebuah gambar: “Sains tanpa agama timpang, agama tanpa sains buta”.

Lantas, apa contoh nyata dari “sains tanpa agama menjadi lumpuh, agama tanpa sains menjadi sangat buta”.

Sains Tanpa Agama Lumpuh

Benar! Sebab banyak sekali pengetahuan ilmiah yang dihasilkan dari pengamatan, penyelidikan, investigasi, atau percobaan-percobaan. Yang dilakukan karena terinspirasi atau karena rasa penasaran terhadap klaim-klaim agama, seperti:

Contohnya, seperti ilmu kosmologi, fisika dan, lebih khusus lagi, astrobiologi. Sebuah cabang ilmu yang membahas tentang eksplorasi, pengamatan, atau penelitian tentang sejarah alam semesta dan pencarian kehidupan di luar bumi. Jika dibandingkan dengan manfaatnya bagi manusia, maka biaya yang dikeluarkan untuk ilmu ini semakin besar.

Untuk apa? Untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia tentang asal-usul alam semesta, kehidupan, dan manusia. Bahkan intelektual yang mendaku dirinya tak percaya Tuhan semacam Stephen Hawking, Richard Dawkins, Daniel Bennet, Lawrance Krauss , dan lain-lain. Mereka sebenarnya berangkat daripada pertanyaan yang bersifat ketuhanan .

Baca Juga  COVID-19, Ujian Sains bagi Muhammadiyah

Jadi, dalam perspektif kosmologi-fisika dan astrobiologi ini, klaim agama tentang Tuhan berikut cara kerja-Nya, telah menjadi “energi penggerak” yang mendorong munculnya pertanyaan-pertanyaan ilmiah.

Bayangkan jika tidak ada klaim agama tentang Tuhan, asal-usul bumi dan langit bersama isinya, boleh jadi kosmologi dan astrobiologi, bahkan astronomi pun hanya akan ‘berjalan di tempat’ alias lumpuh. Bahkan ilmu jiwa pun tak akan ada, jika teks-teks agama tidak hadir memberikan misteri jiwa manusia.

Namun Agama Tanpa Sains Buta

Ini juga sangat benar! Sebab, banyak sekali klaim agama yang otoritatif tetapi sangat naif dan sulit dipahami makna dan gunanya secara kontekstual.

Contoh: Larangan atau pengharaman mengonsumsi makanan atau minuman tertentu. Agama hanya mengeluarkan larangan tetapi tidak ada penjelasan. Sains, dengan metode ilmiahnya, berhasil mengungkap banyak rahasia di balik larangan-larangan tersebut.

Misalnya, larangan mengonsumsi darah dan bangkai hewan. Ilmu kesehatan mengungkapkan bahwa darah adalah tempat berbagai kuman dan bahan berbahaya yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia.

Demikian juga bangkai. Pada bangkai, kuman seperti bakteri dan jamur, menyebabkan penyakit sangat mudah tumbuh dan berkembang biak. Mengonsumsi bangkai berarti mengonsumsi beragam jenis kuman yang menimbulkan penyakit dan bisa menimbulkan kematian.

Jadi, dengan memanfaatkan pengetahuan yang diperoleh oleh sains, apa-apa yang disetujui atau tidak disetujui agama, menjadi terbuka dan terang-benderang. Di sinilah peran sains sebagai pembuka mata bagi penganut agama agar tidak selalu terpejam, alias sangat buta.

Agama Tidaklah Bertentangan Dengan Sains

Jadi dari sini, saya meyakini agama tidak bertentangan dengan sains. Saya juga yakin, sains (termasuk yg dari positivisme) bukan musuh agama. Namun cara kerja “menghasilkan pengetahuan” dari sains dan dari agama punya perbedaan. Dan dengan demikian, bila hasil dari sains tidak cocok dengan agama, bukan berarti keduanya bermusuhan.

Agama sebagai perintah Tuhan mempunyai kebenarannya yang mutlak, namun agama dalam arti bagaimana cara manusia memahami/menafsirkan perintah-Nya bisa saja salah. Dan pengetahuan yg lahir dari agama, sebagian didapat melalui penafsiran itu tadi.

Sains, sebagai produk rasio dan indera manusia, juga boleh jadi salah. Makanya, sains itu terus berkembang. Bahkan ada ungkapan jenaka yg mengatakan bahwa ilmuan (saintis) boleh salah tapi tak boleh bohong. Jadi, sains sekarang menjadi antitesis atau bahkan menjadikan sains terdahulu menjadi “mansukh” itu biasa. Dan ilmuan dituntut kejujuran akademis sebagai bagian bahwa sains bisa salah merupakan kewajaran.

Sama halnya dengan puasa dan kesehatan. Ditinjau dari sains, boleh terbukti dan boleh tidak. Penemuan awal boleh jadi ditentang oleh penemuan berikut, dan penemuan terbaru ini nanti bisa jadi juga akan ditentang penemuan yg lebih baru. Biasa saja dalam dunia sains.

Karena sifat teori sains yang bisa sewaktu-waktu terbantahkan, maka jelas tidak tepat dan elok bagi agama untuk memaksakan ayat-ayat agama tertentu langsung selesai dengan penelitian sains terbaru.

***

Lalu, pertanyaan selanjutnya jika agama dan sains selaras, maka patutnya agama tidak lagi terjebak pada statusnya yang tidak dapat dipertanyakan dan hanya di yakini. Tuhan harusnya ditempatkan dalam objek yang ilmiah untuk membuktikan keberadaannya namun apakah ini tepat dan bagaimana solusinya ?

Pertama sekali, solusinya harus dimulai daripada memahami filsafat ketuhanan. Yaitu pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi, yaitu memakai apa yang disebut sebagai pendekatan filosofis.

Baca Juga  Kurma, Buah dengan Sejuta Keistimewaan

filsafat ketuhanan di kembangkan oleh orang yang menganut agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi) dengan menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya.

Jadi, filsafat ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan akal budi tentang Tuhan. Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak. Tetapi mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan.

Penelaahan tentang Allah dalam filsafat, lazimnya disebut teologi filosofi. Hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sebagai objek, tetapi eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise.

***

Jadi, pemahaman Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat. Namun, pendapat ini ditolak oleh para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman. Maka ditempuhlah cara ilmiah untuk membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat manusia, filsafat alam dll). Maka, para filsuf mendefinisikannya sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara refleksif, realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melalui sekitar diri kita.

Ide tentang Allah pada orang beragama secara umum biasanya dijelaskan dalam tabiat Allah; “Yang Maha Tinggi” (Anselmus mengatakan: “Allah adalah sesuatu yang lebih besar dari padanya tidak dapat dipikirkan manusia)Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Baik dan sebagainya. Menurut Anselmus, ajaran-ajaran kristiani bisa dikembangkan dengan rasional, jadi tanpa bantuan otoritas lain (Kitab Suci, wahyu, ajaran Bapa Gereja).

Bahkan ia bisa menjelaskan eksistensi Allah dengan suatu argumen yang bisa diterima bahkan juga oleh mereka yang tidak beriman. Eksistensi Allah dimulai dari pikiran manusia yang menerima begitu saja ajaran agama, tetapi juga menanyakannya dari siapa dan mengapa dirinya ada, alam alam, dan Allah sendiri bisa diterima adanya.

***

Beberapa sikap orang beriman dalam mencari pencerahan akan adanya Allah:

  • Manusia yang menerima begitu saja dikarenakan ajaran turun-temurun dari para pendahulunya, manusia ditekankan harus percaya, bahkan tanpa bertanya.
  • Manusia mulai bertanya mengapa dirinya ada? Mengapa alam ada?
  • Kemudian menanyakan Allah terkait; siapa, isinya, dan mengapa Dia ada?

Semua jawaban itu akan dijawab oleh para ahli dalam bidang yang disebut teologi; theos, dan logos, ilmu tentang hubungan manusia dan ciptaan dengan Allah. Jawaban-jawabannya bisa sangat beragam, tergantung agama dan kepercayaan yang mana yang memberikan jawaban. Namun, setidaknya ada beberapa kesimpulan yang mereka berikan sebagai jawaban:

“Allah ada, dan adanya Allah itu dapat dibuktikan secara rasional juga; – Allah ada, tetapi tidak dapat dibuktikan adanya; – tidak dapat diketahui apakah Allah benar-benar ada; – Allah tidak ada, dan ketentuan ini dapat dibuktikan juga”.

Oleh karena itu, filsafat berusaha membuktikan keyakinan-keyakinan manusia itu melalui berbagai jalan; metafisika, empirisme, rasionalisme, positivisme, spiritualisme dan lain-lain.

Teisme adalah paham yang mempercayai adanya Tuhan. Berasal dari bahasa Yunani Θεός=Teos dan νόμος=hukum=aturan=paham. Jadi, sebuah aturan atau paham tentang Tuhan atau pengakuan adanya Tuhan.

***

Deisme adalah pandangan khas tentang Allah di masa Pencerahan, berasal dari deus yang artinya Allah. Namun, pandangan ini berbeda dengan teisme, sebab Allah dipercaya hanya pada waktu penciptaan. Selanjutnya, tidak berhubungan dengan dunia lagi karena dunia yang sudah teratur dari semula. Allah dianalogikan seperti pencipta arloji yang bisa berjalan sangat teratur tanpa campur tangan penciptanya. Jadi Deisme hanya percaya Tuhan pertama kali, setelah itu dianggap tidak ada. Paham ini dianggap sebagai benih dari munculnya pandangan ateismeyang secara terbuka menyangkal adanya Tuhan. Pandangan yang muncul pada abad 18 di Prancis.

Baca Juga  Tiga Penyakit Nalar Selama Pandemi Covid-19

Agnostisisme adalah paham manusia yang tidak mau tahu atau tidak tahu tentang adanya Tuhan. Namun hal ini lebih disebabkan karena kebuntuan pemikiran untuk mendefinisikan Tuhan. Bagi para filsuf ini, Tuhan di berada di luar Jangkauan pemikiran manusia.

Ateisme berarti penyangkalan adanya Allah. Namun arti tentang Allah yang disangkal, tidak sama dengan pandagan semua orang, oleh karenanya arti ateisme berbeda-beda juga. Lima model ateisme yang diuraikan Franz Magnis Suseno adalah ateisme dalam diri Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Jean Paul Sartre.

Saintisme, sesuai dengan dogma rasionalis, memandang inteligensi manusia sebagai ukuran seluruh inteligibilitas. Saintisme membatasi rasionalisme sendiri dalam batas-batas pengetahuan saja, sehingga roh manusia sendiri direduksi sampai dimensi ilmiah saja. Segala sesuatu dipandang sebagai objek yang dapat diukur, bahkan subjek pada akhirnya nanti dibendakan juga.

Maka pada akhirnya, saintisme menolak metafisika. Sehingga apa yang dipikirkan secara metafisik dibendakan begitu saja dan ini adalah bentuk ateisme. Problem lebih lanjut adalah saintisme melawan pemikiran agama dan iman. Hal ini terjadi pada masa Galilei yang mengemukakan tentang bumi yang diistilahkan geo-sentris. Hal lain yang kemudian muncul juga pada Charles Darwin dengan teori evolusi yang menyangkal kisah penciptaan manusia dalam naskah Alkitab.

***

Jadi mengatakan bahwa Tuhan atau Allah tidak dapat didefinisikan, lalu menjadi tidak dapat didiskusikan dan kemudian membentuk argument science dan agama dan pernah selaras adalah tidaklah tepat. Apalagi menerima secara buta perkataan Tuhan sudah mati atas nama modernisme.

Hal ini pun patut saya luruskan karena Pernyataan Nietzsche (ahli filosof Jerman) ini bukan dimaksudkan bahwa membenci tuhan .

Tetapi dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ajaran-ajaran agama tidak lagi menjadi anutan orang-orang yang beragama pada masa itu. Pernyataan beragama hanya sebatas ungkapan saja, sedangkan ajaran-ajaran agama itu telah hilang dalam akal dan tingkah laku penganutnya. Kurang lebih sama seperti Karl Marx ketika dia berkata “agama adalah candu”.

Sama seperti Marx ,Nietzsche melihat bahwa orang-orang yang mengaku beragama, bahkan dengan gencarnya menyorakkan ajaran-ajaran agama, sebenarnya mereka telah menjadi ateism atau agnostisisme. Ajaran-ajaran agama telah dicampurbaurkan dengan kepentingan politik, ajaran-ajarannya bertentangan dengan realitas. Tidak sesuai dengan sains dan agama malah menjadi sumber pertumpahan darah dan perang. Sehingga, agama yang seharusnya membimbing manusia untuk menuju kesejahteraan, bermoral, dan beradab telah berganti menjadi beban bagi pemeluknya.

Sebenarnya ini juga terjadi pada Islam. Di antaranya, yang membuat saya ‘geli’ tidak sedikit kita temukan syiar-syiar Islam itu telah beralih fungsi menjadi media lawakan. Orang datang ke forum dakwah Islam tidak lagi untuk memperdalam dan mempertegas keislamannya, tapi lebih pada untuk mendengar lawakan-lawakan yang membuat para pendengar tertawa terbahak-bahak.

Sains pun terkadang menjadi semacam lawakan saat intelektual mendaku dirinya penguasa sains yang melahirkan banyak teori. Yang man, justru mengabdi pada kekuasaan yang menindas. Implementasi dari teori sains mereka, terkadang terlepas daripada penderitaan rakyat dan alam.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds