Tajdida

Psikologi Moderasi Muhammadiyah

2 Mins read

Banyak orang bilang sikap politik Muhammadiyah selalu “abu-abu”. Bahkan internal aktivis atau pengurus organisasi tertua dan terbesar di Asia Tenggara ini juga menganggap penilaian itu tidak keliru. Tapi banyak juga yang tidak paham atau bahkan kesulitan memaknai sikap politik “netral” ala Muhammadiyah.

Dalam beragam konteks politik, Muhammadiyah sering dianggap “tak punya sikap”. Khususnya dalam urusan politik elektoral atau politik kewargaan. Dalam urusan pertama, Muhammadiyah dianggap tak cekatan melakukan manuver politik. Sedangkan dalam urusan kedua, Muhammadiyah dianggap melempem berhadapan dengan tren “radikalisme keagamaan”.

Secara normatif dua urusan itu sudah selesai dalam Muhammadiyah. Sikap politik elektoral Muhammadiyah sudah selesai bersamaan dengan pembubaran Masyumi oleh Presiden Soekarno. Jadi ketika anasir-anasir pemikiran politik Ikhwanul Muslimin menjalari aktivis Muhammadiyah sejak tahun 80an, pengaruhnya cenderung mengecil dan marjinal.

Penyebabnya jelas karena Muhammadiyah sudah pernah mempraktikkan politik kepartaian. Politik praktis bukan ide baru. Apalagi, perjuangan ide negara Islam bisa dibilang sudah pernah diujicoba pada tahun 50an. Karena memang tidak memungkinkan, ya tidak pernah dilanjutkan.

Sedangkan reaksi Muhammadiyah terhadap “radikalisme keagamaan” itu sudah barang lama. Kalau anda membuka-buka dokumentasi reaksi Muhammadiyah terhadap isu itu, bahannya ada banyak. Muhammadiyah punya prinsip dasar untuk tidak mau menguras tenaga dengan perbedaan ideologi politik. Jangankan radikalisme agama, kelompok komunis pun Muhammadiyah tak mau terlalu jauh memarjinalisasi. Muhammadiyah lebih kental perspektif politik kewargaan daripada ultranasionalistik. Muhammadiyah menjalankan moderasi daripada “deradikalisasi” yang terbukti justru melanggar HAM.

***

Kecenderungan Muhammadiyah mengambil “jalan tengah” atau belakangan disebut “wasathiyah” dan moderasi, sudah berakar sejak organisasi ini didirikan tahun 1912 di Kauman. KH. Ahmad Dahlan bukan tipe ulama atau pimpinan organisasi yang fanatik dan agresif. Ia belajar fikih dan ilmu kalam lintas mahzab. Ia bisa belajar lintas spektrum politik mahzab, mulai dari Kyai Soleh Darat, Syaikh Ahmad Khattib, hingga Dr. Wahidin Soedirohoesodo.

Baca Juga  KHA Dahlan: Amal Saleh atau Materialisme Historis?

Maka, kalau anda menganggap organisasi ini dominan wacana purifikasi ala ulama Saudi bernama Abdul Wahab, itu semata watak natural kosmopolitanisme Muhammadiyah yang memungkinkannya menyerap atau mengapropriasi gagasan. Itu sangatlah biasa pada organisasi modern dan tanpa hirarki atau otoritas personal seperti Muhammadiyah. Tak salah Hyung-Jun Kim, antropolog asal Korea Selatan menyebut Muhammadiyah bukan cuma sangat demokratis dalam birokrasinya, tapi juga reproduksi wacana.

KH. Dahlan adalah orang alim yang tenang dan ugahari. Ia menjual semua harta bendanya supaya punya uang mendirikan sekolah. Anda mungkin tak akan banyak lagi menemukan tipe orang alim seperti KH. Dahlan. Ada, tapi sedikit dan jadi langka. Itulah, yang menimbulkan simpati pada perjuangan KH. Dahlan. Jadi, ketika ia bersama murid-muridnya mendirikan Muhammadiyah, dalam sanubari mereka membuncah semangat menciptakan perubahan. Mereka yakin, hak sejahtera adalah milik semua orang, dan itu harus diperjuangkan. Motivasi dan nuansa psikologis yang melatari pendirian Muhammadiyah ini harus diperhatikan dengan seksama.

Muhammadiyah didirikan untuk mentransformasi kehidupan, tidak berangkat dari perasaan kalah atau minder. Muhammadiyah didirikan dari perasaan dan imajinasi bahwa mereka bisa menang melawan kolonialisme. Maka kalau banyak orang Islam dari Muhammadiyah yang menjadi nasionalis penting era kemerdekaan seperti Soekarno, Bung Hatta, Soedirman, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Ir. Juanda, M. Kasman Singodimedjo, itu bisa dipahami.

***

Watak psikologis moderasi Muhammadiyah sangatlah positif, optimis dan independen. Dalam memproduksi pemikiran keagamaan, Muhammadiyah tidak pernah berangkat dari landasan panik moral. Begitu pun misalnya dalam proyek “pemberantasan takhayul, khurafat, dan bid’ah”. Alih-alih merusak patung, membakar pohon keramat, atau mengusir dukun, Muhammadiyah memberi makan gratis di alun-alun Yogya, mendirikan sekolah dan klinik berobat. Moderasi Muhammadiyah adalah moderasi pengetahuan dan kerja praktis.

Baca Juga  Winai Dahlan: Nantikan Kiprah Muhammadiyah di Thailand

Jadi, ada yang harus anda maklumi dan insafi. Muhammadiyah tak telaten melakukan manuver politik atau mencecar paham keagamaan kelompok lain. Muhammadiyah bisa melakukan semuanya. Tapi itu bukan watak psikologis moderasi Muhammadiyah. Sejak awal, sebagaimana kata Buya Syafii Maarif, Muhammadiyah itu cuma ingin membantu. Cuma itu, tidak kurang, tidak lebih.

Avatar
50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *