Perspektif

Siapa yang Berhak Menafsir Radikal?

2 Mins read

Mohammad Jamal Kashogi salah satu tokoh wartawan senior Saudi dibunuh dengan cara dimutilasi karena tuduhan radikal melawan kerajaan. Tak ada hukum baginya. Bahkan Erdogan pun yang semula antusias membantu, loyo seketika. Keadilan atas nama Kashogi pun raib ditelan bumi.

Kita pernah familiar dengan nama Sekarmadji Kartosoewirjo, gembong gerakan Darul Islam. Tentara Islam Indonesia lebih dikenal dengan sebutan DI/TII. Joseph Stalin, Mao Tse Tung, Khomaini, dan seluruh gerakannya dibenamkan atas tuduhan makar dan disebut radikal. Sebelum mereka memenangi pertarungan dan berkuasa atas rezim.

Radikal hanyalah istilah teknis untuk menyebut siapapun yang melawan rezim mapan, bisa personal bisa kelompok. Bisa berbentuk ucapan tindakan atau ajakan. Definisinya sebenarnya simpel dan tak seharusnya terus dipertengkarkan. Radikal adalah gerakan melawan negara yang sah.

***

Yang paling sah menafsir radikal adalah penguasa atau rezim berkuasa berdasar atas subjektifitas negara, dan ini lazim di semua negara. Dan terpenting, semua kita sedang menjalan peran. FPI dan imamnya sedang menjalankan panggilan takdirnya sebagai tokoh oposan yang harus dibuang. Jokowi sebagai pemimpin rezim penguasa juga sama memenuhi panggilan taqdirnya.

Karl Amstrong dalam salah satu makalahnya menyebut bahwa radikal juga sering dikaitkan dengan perubahan mendasar atas rezim mapan. Maka Ibrahim as dan Musa as, disebut radikal karena melawan rezim raja Namrudz dan raja Fir’aun.

Begitu pula dengan Nabi Muhammad SAW. Syaikh Muhammad Haikal juga menyebut perkaataan golongan jahiliyah yang menyebut apa yang dilakukan Rasulullah sebagai gerakan radikal, giliran umat Islam menang dalam peristiwa Futhu Mekkah maka keadaan berbalik, Abu Sufyan dan kawan-kawan disebut radikal karena melawan rezim baru di bawah pimpinan Rasulullah SAW.

Baca Juga  Balasan Puisi "Pada Suatu Hari" nya Pak Sapardi

Dengan batasan macam itu, maka HTI dan FPI layak disebut radikal karena melawan rezim mapan. Setidaknya ada dua alasan: Pertama, tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Kedua, ingin mengganti NKRI menjadi khilafah. Dua hal ini sudah cukup untuk menyebutnya sebagai gerakan radikal. Begitu pula dengan gerakan puritan lainnya yang melawan kemapanan. Semisal Lutherian atau Calvinis di Eropa dan Amerika.

***

Cara berpikir yang sama andai dibalik. Pada saatnya ketika FPI dan HTI berhasil memenangi pertarungan politik dan meneguhkan kekuasaan khilafah, maka dengan subjektifitasnya sebagai rezim berkuasa, berhak menyebut pejuang NKRI sebagai musuh khilafah.

Radikal hanyalah istilah teknis dalam urusan politik. Maka siapapun yang melawan rezim mapan, disebut gerakan ekstrem. Niccolo Machiaveli berkata agar para ‘pangeran kecil’ segera berkuasa agar tidak disalahkan dan diburu. Juga supaya tidak dianggap sebagai radikalis karena dikira menganggu rezim.

Dengan makna lain, cap radikal lebih dekat kepada tindakan, bukan pada person. Yaitu tindakan melawan kesepakatan. NKRI adalah kesepakatan. Maka siapapun yang menyelisihi kesepakatan, disebut radikal. Sedang tindakannya disebut makar atau subversif.

Dua hal yang harus dilakukan FPI dan HTI agar tak disebut radikal adalah pertama merebut kekuasaan dan membangun rezim baru sesuai yang mereka kehendaki. Kedua, kompromi dengan rezim. Dua hal ini adalah sunatullah politik akan selalu ada silih berganti sebagai siklus politik.

Pidato pengukuhan Prof Haedar adalah telaah yang mendalam sebagai gabungan antara metodologi ilmiah dan kontemplasi tingkat tinggi melahirkan sikap kritis. Maka, tulisan dari dua penulis gelap yang tak perlu saya sebut yang memfitnah tulisan Prof Haedar sebagai tidak berpihak atas gerakan HTI, hanyalah opini menyesatkan dari kebiasaan berpikir dangkal sebagai tanda matinya intelektual dan menjadikan mitos sebagai pengganti akal akademik.

Baca Juga  How to Be Healthy: 9 Easy Tips for a Healthier Lifestyle
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds