“Hikmah adalah barang hilang kaum muslimin. Maka Pungutlah hikmah meski dari kalangan munafik” kata Sayidina Ali bin Abi Thalib ra
Tak lama setelah terpilih sebagai Presiden Afrika Selatan (1994-1999), Nelson Mandela mengajak beberapa pengawalnya untuk keliling kota. Dia singgah di sebuah restoran, dan tidak meminta perlakuan khusus. Dia memesan makanan untuk disantap bersama rombongan.
Di meja bagian pojok, ada seorang laki-laki yang duduk menunggu pesanannya. Nelson meminta pengawalnya untuk mengajak laki-laki itu bergabung ke meja Nelson. Laki-laki itu pun dipersilakan duduk tepat di samping Nelson.
***
Hidangan sudah lengkap, Nelson dan rombongan siap menyantap, termasuk laki-laki yang berada di sampingnya. Namun, laki-laki itu tampak aneh. Wajahnya berkeringat dan tangannya gemetar. Dia tidak sanggup menyantap hidangan yang ada, kecuali hanya sepotong roti dan beberapa tegukan air. Pengawal pun bingung.
“Tampaknya dia sedang sakit, dan sebaiknya segera kami bawa ke rumah sakit”, ujar pengawal kepada Nelson. Nelson diam sampai selesai makan. Pengawal semakin bingung melihat kondisi laki-laki tersebut, hingga dia dipersilakan untuk kembali ke mejanya yang pertama dia pesan.
Kata Nelson kepada pengawal, “Dia tidak sakit. Keringat yang keluar dan tangan yang gemetar itu bukan karena dia sakit. Dia lah sipir yang dulu menyiksa aku ketika aku dipenjara di ruang isolasi. Pernah, ketika aku haus dan meminta air darinya, dia malah mengencingi kepalaku.
***
Jadi, dia sedemikian gemetar karena dia takut aku akan membalas apa yang pernah dia perbuat terhadap aku. Tapi aku tidak akan membalasnya. Dendam bukan akhlakku. Dendam tidak akan dapat membangun negara, tapi memaafkan selalu menjadi jalan menuju kebangkitan sebuah bangsa.
Saya berpikir ini tak mungkin, seperti kisah para nabi atau santho. Tapi Nelson, pria kurus berkulit hitam dan berambut ikal itu, bisa. Dia bukan siapa-siapa. Hanya manusia biasa yang lama di bui lalu keluar dan menang merubuhkan rezim apartheid.
Yang dilakukan pertama kali bukan membangun gedung atau jalan atau jembatan, tapi rekonsiliasi. Atau sibuk mencari utangan untuk membangun infrastruktur negaranya yang jadul. Tapi pemaafan nasional agar dendam dan permusuhan yang membuat Afrika selatan remuk, bisa diubah menjadi energi positif. Pemaafan itu dari kepala dan terus berlanjut hingga paling bawah.
***
Saya membayangkan Nelson seperti Lukman al Hakim, manusia bijak berkulit hitam berambut ikal. Mungkin tak sepadan dan tak perlu sama persis. Tapi bukankah hidup itu juga bersusun atas berbagai padanan meski tidak semisal, kata Rabindranat Tagore manusia bijak dari India itu. Tapi pemaafan butuh hati lapang atau sikap negarawan, kata Muhammad Ali Jinnah.
Apa kabar Abu Bakar Baasyir apa kabar Habib Rizieq Syihab? Semoga keduanya tetap baik dan dilindung Allah tabaraka wataala. Saya mencintai keduanya karena Allah. Saya tak ingin dua muslim berseteru hanya karena beda pilihan pilitik.
Jadi apa salahnya ustaz Abu Bakar Baasyir dimaafkan dan diringankan hukuman buinya. Apa susahnya menjemput Habib Rizieq pulang kembali ke rumahnya. Saya suka melihat Prabowo dan Jokowi berdamai. Lebih suka lagi kalau rezim ini memberi pemaafan nasional kepada tokoh-tokoh muslim yang pernah bermasalah saling memaafkan. Bersama menjaga negeri damai sentosa.