Saat saya mendeklarasikan diri membangun gerakan One Week Two Articles (OWTA), banyak teman mengapresiasi. Meskipun demikian, tidak sedikit juga yang mempertanyakan dengan nada nyinyir dari kolega tempat saya bekerja, “ada ya orang bisa menulis seminggu dua artikel, mau dong saya belajar”.
Saya sendiri tidak tersindir dengan pernyataan tersebut. Ini karena, ada persoalan krusial yang sedang saya alami dan lakukan yang jauh lebih penting; bayar uang sekolah anak dan menulis untuk naik pangkat. Anak-anak saya semakin besar, sementara gaji ya segitu-gitu saja tidak mendapatkan tambahan apapun.
Sementara itu, ngamen untuk menjadi pembicara di forum-forum diskusi ataupun menjadi peserta Diskusi Fokus Terbatas (FGD) juga jarang-jarang. Menulis kemudian menjadi jalan saya untuk menghidupi keluarga dan bagian dari upaya bertahan hidup di ibukota. Menulis juga cara bagaimana naik pangkat yang berimplikasi terhadap gaji bulanan yang akan saya dapatkan. Karena itu, sejak 4 tahun lalu dari 2016, saya sudah mentargetkan kerja-kerja kepenulisan.
Kiat Produktif
Saat ada yang bertanya bagaimana bisa produktif menulis, saya sebenarnya malu untuk menjelaskan. Ini karena, penjelasan tersebut lebih banyak bercerita mengenai cara saya mengepulkan dapur ketimbang teoretis kiat menulis layaknya para sarjana mempuni. Dengan kata lain, imajinasi orang akan pupus kalau tujuan saya memproduksi tulisan ini hanya karena persoalan receh semata.
Namun, saat membaca artikel yang ditulis oleh Deborah J. Cohan dalam Inside Hire Ed yang terbit online pada 5 Desember 2019 dengan judul, “How to Write a Lot on a Heavy Teaching Load”, menguatkan keyakinan saya bahwasanya pengalaman saya memiliki irisan dengan pengalamannya. Tentu saja, karena ia seorang dosen dan tinggal di Amerika memiliki sejumlah faktor pembeda. Setidaknya spirit yang dilakukan dan apa yang sedang saya kerjakan memiliki garis kesamaan yang perlu saya tiru.
Titik kesamaannya adalah ia memproduksi tulisan, baik itu artikel pendek, jurnal, dan buku itu bagian dari caranya bertahan hidup di pasar akademik Amerika untuk mendapatkan posisi tetap sebagai pengajar. Menulis sebagai bagian dari bertahan hidup ini membuatnya harus memproduksi tulisan terus-menerus.
Dibalik produksi tulisan terus-menerus, apa sebenarnya prinsip yang diterapkan oleh Deborah J. Cohan, Sosiolog University of South Carolina Beaufort? Setidaknya ada tujuh prinsip yang harus dipegang.
Tujuh Prinsip
Pertama, menjauhkan diri dari tirani perfeksionis. Baginya tirani perfeksionis itu bukan hanya pencuri pada saat ini dan masa depan kita, melainkan mencuri kreativitas yang kita miliki, membuat proses kreatif menulis kita jadi buntu, jalan di tempat. Karena itu, baginya, yang terpenting dalam proses menulis adalah terus menulis dan menyelesaikannya. Ketika karya itu sudah terbit dan memiliki celah dan kelemahan, itu menjadi ide baru untuk menulis yang lainnya.
Kedua, praktik menulis secara konstan. Tidak hanya membentuk karakter dan gaya tulisan, dengan menulis secara konsisten justru memperkuat integritas tema yang kita geluti. Saat tulisan ini sudah terbit, di sisi lain, kita juga harus terbuka terhadap sejumlah kritik atas gagasan yang kita telah tuliskan.
Ketiga, memiliki keajegan semangat di tengah tahapan produksi tulisan. Alih-alih merencanakan dengan baik ingin menulis apa dahulu dan setelah itu menyelesaikan tulisan yang lain, pengalamannya berkarya ia memiliki banyak sekali ide menulis dan bagaimana menyelesaikannya secara hampir bersamaan. Ia bisa membuat proyek untuk riset tulisan baru, bersamaan dengan revisi editing jurnalnya yang diminta oleh peninjau serta di sisi lain, buku lainnya sedang dalam proses percetakan. Dengan kata lain, mengerjakan tulisan di tengah pekerjaan tulisan yang lain sebenarnya sangat mungkin untuk dilakukan secara bersamaan asalkan diniatkan untuk tetap bersemangat di tengah tahapan produksi tersebut.
Keempat, jangan menunggu waktu luang. Orang selalu berpikir bahwasanya menulis itu memerlukan waktu luang yang banyak, tempat yang nyaman, aktivitas yang sunyi, menyelesaikan pekerjaan rutin lainnya terlebih dahulu. Padahal, dalam menunggu menyelesaikan hal yang tidak terkait dengan aktivitas menulis tersebut sebenarnya tidak membuat tulisan selesai. Sebaliknya, justru membuat orang jadi malas untuk menulis.
Kelima, membangun kebiasaan harian dan mingguan. Membangun kebiasaan ini tidak terkait dengan tulisan, melainkan mencara aktivitas keseharian yang memungkinkan kita mendapatkan ide segar dan baru. Hal ini sama dengan yang dibicarakan Khoiruddin Al-Junaed, Dosen Produktif dari Departeman Malay Studies, NUS Singapura. Menurutnya, ia rutin untuk lari seminggu tiga kali. Selain untuk menguatkan kebugaran tubuhnya, dengan berolahraga tersebut justru memunculkan ide-ide kreatif yang tidak terduga saat kita menulis.
Keenam, menyadari bahwasanya dengan menulis membuat kita menjadi guru dan warganegara yang baik. Maksudnya, ada banyak hal yang kita bisa kritisi sebagai warganegara untuk memberikan masukan kepada pemegang kebijakan agar mereka menjadi lebih baik lagi dalam bekerja dan membuat kebijakan melalui tulisan yang kita buat. Di sisi lain, dengan menulis, posisi dirinya sebagai seorang dosen menjadi lebih menarik dengan gagasan-gagasan yang dimiliki melalui tulisan yang dimuat.
Ketujuh, mempraktikan beberapa poin yang disarankan. Ada banyak poin-poin yang dimaksud, namun dari poin-poin itu yang cukup relevan menurut saya adalah; memutus dari jaringan yang sekiranya akan mengganggu, seperti telepon genggam dan ikutannya di media sosial; memikirkan ruang yang sekiranya nyaman untuk kita, apakah itu di kantor, kafe, ataupun di rumah; membikin sejumlah daftar yang harus dikerjakan di depan layar komputer ataupun laptop untuk mengetahui prioritas yang harus kita kerjakan; membuat janji kepada diri sendiri sekaligus juga memberikan penghargaan ketika itu berhasil; berlapang dada saat tulisan ditolak dan berusaha untuk terus menulis.
***
Dari ketujuh prinsip tersebut, Deborah menekankan bahwasanya kerja-kerja menulis itu bukan seperti kerja seni yang menunggu ide atau ilham itu datang dan melalui pengalaman pergulatan batin yang panjang. Sebaliknya, jika diperhatikan dari uraiannya, menulis merupakan kerja-kerja industri yang sangat mungkin dikerjakan tanpa menunggu instruksi dan ide itu datang, melainkan dengan terus berusaha menulis dan menulis di tengah situasi apapun yang memungkinkan kita bisa menulis.
Tentu saja, kiat ini pasti akan menuai kritik di tengah aspirasi intelektual Indonesia yang menganggap bahwasanya tulisan yang dibuat merupakan sebuah karya mendalam dan reflektif. Padahal kita tahu, setelah sampai di pasar pembaca, sebuah tulisan bisa diperlakukan apa saja, di luar kehendak penulis itu sendiri.