Tasawuf

Zuhud, Wara’, dan Fakir Progresif

2 Mins read

Oleh Abdul Munir Mulkhan

Nilai-nilai agama dan budaya luhur ternyata tidak menjamin kepedulian sesama, hidup bersih, meredam syahwat kuasa dan rakus harta. Tuhan seolah hanya berpihak pada yang kuasa dan kaya ketika zuhud, wara’, fakir, muru’ah, qonaah sekedar lafadz indah di hadapan Tuhan yang tak bersentuhan dengan hidup kongkrit.

Kritik Nabi Khidzir kepada Musa yang menyatakan ritual legal: Syahadat, Salat, Zakat, Puasa dan Haji sebagai kunci surga, patut dicermati. Kunci surga menurut nasehat Khidzir ialah keberpihakan kepada yang menderita, penyakitan, tertindas, dan teraniaya.

Praktik keagamaan tidak juga meredam syahwat kerakusan Kapitalis seperti rakusnya Qarun dan Firaun. Doktrin keagamaan mudah dipergunakan elite untuk mengukuhkan nafsu kuasa dan kaya atas nama Tuhan. Seolah Tuhan memilih mereka untuk kaya dan kuasa dengan segala hak yang melekat, sementara yang lain menjadi miskin, busung lapar, teraniaya, dan tak berpendidikan.

Maksiyat di atas, anehnya terjadi di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Sebaliknya, praktik sosial-politik di negeri-negeri yang disebut kafir justru lebih saleh dan memihak mereka yang tertindas dan teraniaya. Muncul pertanyaan, apakah Tuhan sedang tak berpihak pada penganut ajaran-Nya, atau Tuhan terus menguji orang-orang beriman dengan serangkaian godaan korupsi, rendahnya mutu kehidupan, dan hilangnya kepedulian sosial?

Menanggulangi “Penyakit” Kapitalisme

Zuhud, wara’, fakir, muru’ah dan qonaah seharusnya dipahami sebagai ajaran kemanusiaan sekaligus kritik Kapitalisme. Zuhud bukan lari dari tanggung jawab duniawi, menjauh dan menyingkir dari sejarah, tapi menempatkan kerja keras bagi kepentingan publik. Wara’ bukan tidak mau kaya dan kuasa, melainkan menjadikan itu semua bagi mereka yang papa. Fakir bukan ajaran hidup miskin tapi bermiskin menempatkan harta miliknya sebagai milik publik laiknya orang miskin yang tak punya apa pun. Muru’ah adalah ajaran bahwa kehormatan diperoleh dengan mewakafkan diri, kuasa dan hartanya bagi rakyat. Sementara qonaah sebagai rasa cukup menikmati dunia sebatas perlu bagi kelangsungan hidup guna membantu orang lain.

Baca Juga  Gerhana Matahari dalam Khazanah Islam

Karena itu, harta dan kuasa diletakkan bagi kepentingan publik, bukan bagi kesombongan diri. Inilah makna innal mubadzdzirin kanuu ikhwaanas syayaathin, fitnah lebih kejam dari pembunuhan, dan syirik (menyekutukan Tuhan) lebih buruk dari kekafiran karena syirik adalah bukti kesombongan yang mau menikmati dunia bagi diri sendiri, keluarga, anak-cucu, dan golongannya sendiri.

Soalnya, bersediakah kita mengubah syahwat kaya dan kuasa bagi diri sendiri menjadi syahwat kuasa dan kaya bagi kepentingan publik? Inilah makna manunggaling kawula-gusti ketika seluruh kuasa dan kekayaan raja adalah kuasa dan kekayaan milik seluruh rakyat. Seorang raja tidak perlu bayar zakat karena bukan hanya memberikan sebagian harta (2,5 %) tapi seluruh harta raja adalah harta rakyat. Ajaran demikian bisa dibaca dalam Kitab Serat Warno-Warni sebagai salah satu pustaka klasik Kraton Mataram.

Sumber: Al-Manar 2014.

Editor: Yahya FR

Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds