Review

Menguatkan Kembali Pendidikan Karakter

4 Mins read

Oleh: Syahuri Arsyi*

Dalam UU Sisdiknas, dijelaskan bahwa tujuan pendidikan kita adalah “… agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual kegamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.

Pandangan ini begitu mencolok bahwa pengembangan sikap dan watak, serta akhlak mulia (budi pekerti) merupakan unsur utama dalam pengembangan pendidikan. Fokus penting paradigama pendidikan ada di tangan manusia dan setiap sekolah-pengajaran harus diarahkan pada basis yang lebih aktif dengan disimbolkan daya cipta tangan pada masing-masing anak.

Menguatkan Pendidikan Karakter

Lewat buku terbarunya, Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia; Meluruskan Kembali Falsafah Pendidikan Kita, karya Haidar Baqir ini, kita diingatkan kembali bahwa setiap sekolah harus bisa memberikan gagasan karakter pada setiap anak didik, bisa mengembangkan kemampuan reflektif dan kekuatan spiritualitas serta moral individu.

Pada dasarnya, sekolah membetuk gagasan dasar manusia, untuk melejitkan daya cipta dan kemandirian manusia. Meskipun, sudah ada mata pelajaran yang dipilihan pihak sekolah dan itu hanya sebatas ilmu-ilmu dasar yang tiap siswa mampu menguasai. Sebab, setiap individu siswa memiliki keunikan, dan minat, kecerdasan, serta keterbatasan yang setiap individu berbeda-beda.

Bagi Haidar, pendidikan harus dikembangkan sesuai dengan kecerdasan masing-masing anak, belajar dengan penuh hasrat (passion), penuh rasa senang, tak ada tekanan-tekanan  yang harus berhasil dengan ancaman berbagaites, serta membebaskan anak-anak atau siswa untuk memilih apa yang hendak  dipelajari. Paling tidak, sekolah bisa membantu setiap siswa untuk memastikan apa yang hendak dipelajari (hlm 19).

Dalam konteks ini, sistem pendidikan harus bisa dimaknai sebagai memanusiakan manusia. Di sekolah anak belajar tentang dunia, diluar sekolah anak belajar dari dunia, oleh karenanya sistem pendidikan harus bisa adaptasi, berkolaborasi dan memiliki kreativitas tinggi,  sehingga memampu bersaing dengan negara-negara maju.

Baca Juga  Islamisme Kelas Menengah NU: Pergeseran dari Moderatisme ke Post-Islamisme

Penting kiranya dalam hal ini, pengembangan kemampuan reflektif dan kapasitas spiritualitas dan moral individu. Tentu ada tantangan yang harus di hadapi seperti harus membuat mereka bisa menyadari esensi pembelajaran yang lebih dari sekedar memenuhi kriteria untuk dapat menilai baik. Pendidikan bermental spiritualitas juga dituntut untuk menyadarkan mereka akan aktivitas-aktivitas komunal yang membebaskan sebagai individu ketimbang parasit di komunitasnya sendiri. Selain itu, ia juga dituntut untuk keluar dari paradigma sempit yang selama ini dianut oleh sistem pendidikan kita.

Pendidikan Bermental Spiritualitas

Kalau kita menelisik kebelakang terkait desain sistem pendidikan bermental spiritualitas ini sebenarnya sudah digagas sejak masa kemerdekaan oleh para pendidik kita seperti, Ki Hajar Dewantara, K.H, Ahmad Dahlan dan A. Mukti Ali adalah mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas.

Misalnya,  desain sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara, mengajarkan praktek pendidikan lebih mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan “tuntunan” bukan “tontonan”.

K.H. Ahmad Dahlan berusaha “mengdaptasi” sistem pendidikan modern, sejauh untuk kemajuan umat Islam. Mukti Ali, berusaha mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan.

Ketiga tokoh di atas sangat jelas cara mendidik seperti yang sudah kita dikenal sebagai pendekatan “among” lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seorang murid.

Dalam konteks kekinian, ditunjuknya Nadiem Anwar Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memunculkan sikap antusiasme, di samping tentu sikap pemisisme. Sikap antusiasme ini sering kali ditunjukan di berbagai kesempatan, mulai terkait pembelajaran yang tak hanya dibatasi pada aspek kognitif, akan tetapi juga pada keterampilan lunak, seperti, sikap empati, kreativitas, kemampuan berkomunikasi,  di samping juga harus berlajar dan berkarya, hingga kata-katanya yang menyatakan dunia tak membutuhkan anak yang jago menghafal.

Baca Juga  Buya Syafii: Perbaikan Moral adalah Hal Fundamental

Dengan demikian, untuk saat ini penting kiranya, membentuk suasana ruang belajar dalam keadaan senang, penuh hasrat dan tanpa tekanan dengan tes-tes standarisasi yang menjadikan pendidikan di sekolah tak menyenangkan dan menggaraihkan. Diakui atau tidak, saat ini ada kecenderungan pendidikan kita untuk mengukur kualitas hanya merujuk pada hasil riset suatu lembaga tertentu. Bukan pendidikan karakter seperti yang kita harapkan.

Problem Pendidikan Indonesia

Dari kecamata Haidar, pendidikan kita saat ini masih berkutat dengan problem internalnya, seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah, perilaku pendidiknya, serta masih dirasa memiliki beban yang sangat masif. Hal ini, kita bisa dilihat dari beberapa parameter kualitas pendidikan kita seperti, jumlah guru, siswa dan jumlah sekolah yang masih menganut pola penguasaan materi sebanyak-banyaknya dan mengingat fakta.

Sistem pendidikan kita saat ini telah menciptakan kelas-kelas sosial yang tidak egaliter, terlalu mekanis dan memperkurus kemanusiaan, diskriminatif. Sistem pendidikan ini, sangat berlawanan dengan semangat dan visi pendidikan yang seharusnya meningkatkan kualitas, membebaskan manusia, mengembangkan potensi manusia demi mencapai kehidupan yang lebih baik secara fisik mental dan spiritual (hlm 27).

Di tengah munculnya kerancuan sistem pendidikan saat ini, dilema lain juga muncul dalam sistem pendidikan kita yang oleh sebagian orang dianggap sebagai jalan alternatif pendidikan. Misalnya, sistem pendidikan yang ditawarkan Ivan Illich dengan Deschooling Society-nya yang ingin mengubah secara radikal paradigma persekolahan, atau sistem pendidikan seperti Susan Bauer dengan Rethinking School baru terbit 2018 hendak menawarkan belajar tanpa sekolah, atau model sekolah rumah (home schooling), sebagaimana sudah banyak yang mengadopsi saat ini.

Selain itu, ada juga yang manawarkan unschooling, sebuah sistem pendidikan belajar bebas dari rezim sekolah. Tawaran ini memanfaat kemajuan teknologi apa yang kemudian disebut sebagai flipped classroom, di dalamnya anak belajar sendiri dengan sistem dipilih secara online dari rumah, kegiatan di sekolah hanya sebatas paket pelengkap.

Baca Juga  Habib Husein: Menemukan Tuhan di Hati Kita

Walaupun demikian, Haidar mengakui bagaimanapun bentuk sistem pendidikan saat ini, sekolah masih belum sepenuhnya bisa digantikan, dan tetap diselenggarakan. Yang perlu kita perhatikan secara lebih serius adalah mengenai kurikulum sekolah saat ini.

***

Pendidikan kurikulum harus bisa memberi penekanan pada pengembangan berpikir dan spiritualitas. Pendidikan harus mendorong anak harus memiliki karakter kuat dan nilai moral yang bisa dijadikan sasaran.

Maka dalam konteks ini, Haidar menginginkan kurikulum pendidikan kita tak hanya sebatas pembinaan hubungan vertikal, kegiatan tafakur dan tadabur, melainkan juga pembinaan hubungan horizontal. Artinya, kurikulum dan pembelajaran harus sesuai dengan kondisi sehari-hari yang di alami anak didik yang memungkinkan bisa memiliki sikap toleran atas perbedaan pandangan hidup (147).

Dalam buku ini, paling tidak Haidar berpandangan hendaknya pengajaran spiritual dan akhlak tak berhenti dan hanya sebatas kegiatan rutinitas keseharian pendidikan dan pengajaran yang bersifat kognitif belaka. Pada akhirnya, melalui buku ini Haidar ingin menguatkan kembali pendidikan karakter kita, yang mungkin di rasa ada kerancuan tujuan pendidikan, kesalahpahaman subjek pendidikan, kekaburan hakikat falsafah pendidikan.

Judul Buku : Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia
Penulis             : Haidar Baqir
Penerbit           : Mizan
Cetakan           : 1 September 2019
Tebal               : 209 halaman
ISBN               : 978-602-441-135-0

*) Mahasiswa Jurusan pemikiran Islam dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *