Kajian yang cukup banyak tentang fikih zakat dalam Muhammadiyah nampaknya tidak beriringan dengan kajian tentang pelembagaan zakat. Selama bertahun-tahun, Muhammadiyah tidak memiliki konsep baku yang kuat tentang panitia pengelolaan zakat. Panitia pengelola zakat hanya dilekatkan kepada lembaga amaul usaha yang dimilikinya seperti masjid, dan panti asuhan. Dalam sejarah, amal usaha yang pernah menjadi amil secara resmi adalah PKO, sebelum lembaga terlalu identik dengan klinik atau rumah sakit.
PKO pernah memiliki peran penting sebagai Amil zakat. Tercantum di dalam Reglement Moehammadijah b/g Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) Hindia Timoer di Yogyakarta, sebagaimana dicatat Amelia Fauzia, PKO Muhammadiyah, telah memperluas layanan mereka yang tidak hanya membantu korban bencana, tetapi juga merawat jenazah, mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, fitrah dan hewan Qurban (Fauzia 2013: 152). Namun peran PKO sebagai amil tidak berlanjut.
Tidak heran bila dikemudian hari pengelolaan zakat dalam Muhammadiyah menjadi ‘teratomisasi’ atau tercerai berai tanpa terikat sebuah regulasi, baik secara administratif maupun secara kebijakan. Bahkan, numenklatur lembaga amil zakat yang digunakan dalam Muhammadiyah masih sangat beragam, dengan berbagai macam sebutan, mulai BAZ, LAZ, BAPELURZAM, dan lain-lain.
Baru pada akhir 1990an, seiring dengan lahirnya regulasi baru, yaitu Undang-undang Pengelolaan Zakat No. 38 Tahun 1999 yang kemudian direvisi mejadi UU No 23 tahun 2011, pengelolaan zakat dalam Persyarikatan Muhammadiyah mulai menemukan bentuknya. Mengiringi hadirnya UU Pengelolaan Zakat, Muhammadiyah kemudian mendirikan LAZIS Muhammadiyah pada tahun 2002 yang kemudian branding ulang menjadi LAZISMU. Dari tahun 2002 sampai saat ini, LAZISMU telah mengalami beberapa fase penting, yaitu: Periode perintisan (2002-2005), periode pengembangan jejaring (2005-2015), dan penguatan tata kelola (2015-2020) (LihatRenstra LAZISMU 2015-2020: 15-16).
Saat ini LAZISMU menjadi Amil Zakat Nasional (LAZNAS) yang disahkan melalui SK Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 730 Tahun 2016. Landasan LAZISMU dalam menjalankan tugasnya adalah menerjemahkan hasil-hasil keputusan Muktamar dan merumuskannya menjadi sebuah indikator kinerja. Tata kelola menjadi perhatian utama saat ini, khususnya dalam menjaga akuntabilitas organisasi, baik berupa akuntabilitas amil, akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas program.
Amil: Inti dari Gerakan Zakat
Seiring dengan regulasi zakat yang semakin ketat, diperlukan amil-amil LAZISMU yang memiliki kemampuan untuk memahami karakteristik dan visi-misi Muhammadiyah, memahami regulasi-regulasi tentang zakat, dan memiliki keterampilan yang khusus yang mumpuni. Dengan ratusan jumlah kantor di seluruh Indonesia, dan ribuan amil tentunya bukan hal mudah bagi LAZISMU untuk melakukan penataan lembaga.
Saat ini LAZISMU dihadapkan pada kompleksitas kelembagaan karena mengikuti struktur organisasi Muhammadiyah yang memang sangat panjang dan berada di berbagai lapisan. Pada saat yang sama, tidak semua pimpinan di tingkat wilayah dan daerah memahami regulasi terbaru dan menyadari bahwa saat ini diperlukan amil-amil yang professional, memiliki kemampuan manajemen yang baik, dan memiliki visi untuk membangun perubahan. Tidak pula semua Pimpinan Muhammadiyah di wilayah atau daerah memahami bahwa mengelola zakat saat ini berbeda dengan mengelola zakat 10 atau 20 tahun lalu.
Penunjukkan calon amil oleh pimpinan menjadi sangat penting. Selain harus dapat dipercaya, amil juga memiliki keterampilan, pemahaman manajemen, memahami capaian dan target. Menariknya, tidak sedikit pimpinan Muhammadiyah ‘tidak memiliki target apa-apa’ ketika menujuk seseorang menjadi amil yang mengelola LAZISMU. Karena itulah, LAZISMU berupaya untuk membangun Sumber Daya Amil yang kuat di berbagai tempat dan secara bertahap menyertakan amil dalam pelatihan-pelatihan serta mengikutkan dalam sertifikasi amil.
Akuntabilitas amil erat kaitannya dengan akuntabilitas dan transparansi dalam keuangan. Apalagi saat ini prosedur-prosedur yang harus ditempuh dalam mengelola keuangan semakin ketat dan harus tertata administrasinya. Semua lembaga amil zakat saat ini juga wajib mengikuti proses audit, tidak hanya secara internal tetapi juga oleh auditor eksternal (Kantor Akuntan Publik). Tertib adminstrasi menjadi kunci dari keseluruhan proses pengelolaan zakat saat ini. Untuk bisa mencapai lembaga amil yang baik, tidak mudah dilakukan. Setidaknya perlu enerji cukup sangat besar untuk menata laporan keuangan, capaian program dan ratusan kantor dengan tipe amil yang beragam kapasitasnya.
Akuntabilitas program dari lembaga amil sangat ditentukan oleh kapasitas amil dan kemampuan pengelolaan dana zakat. Kelompok penerima manfaat zakat memang sudah jelas di dalam al-Qur’an, tetapi mekanisme dan model program penyalurannya menjadi tanggung jawab amil. Tanpa disertai kemampuan merumuskan program dan capaian yang jelas, maka program pendayagunaan tidak bisa dioptimalkan, sehingga akuntabilitas program menjadi rendah.
Oleh karena itulah, LAZISMU, sebagaimana tercantum dalam Rencana Strategis-nya merujuk kepada Hasil Rekomendasi Muktamar dan juga kesepakatan masyarakat internasional seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals), selain tentunya merujuk pada konsep 8 asnaf yang dirumuskan al-Qur’an sebagai landasan kerjanya.
Sumber: Makalah yang Disampaikan dalam Sidang Tarjih Fikih Keagamaan Tingkat Nasional, Banda Aceh, 14-16 Oktober 2019