Abdoullakh Anzorov, lelaki 18 tahun warga Eure, Evreux, asal Chechnya yang melakukan pemenggalan terhadap kepala guru sejarah di SMP Conflans-Sainte-Honorine–tak jauh dari ibu kota Paris–menunjukkan gejala shifting dari pinggiran ke pusat. Dia tidak berperan apa-apa di awal kasus, tapi kemudian ketika menjadi eksekutor dia menjadi pusat perhatian.
Orang bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang lelaki muda yang tidak punya kasus kriminalitas–kecuali pelanggaran ringan–yang tidak punya relasi apa-apa dengan sekolah dan korban, bisa melakukan tindakan kejam–pemenggalan kepala–kepada seorang guru sekolah?
Kemudian setelah itu, mempostingnya di Twitter seraya menulis pesan kepada Presiden Macron–yang disebutnya ‘pemimpin orang-orang kafir’–bahwa dia telah mengeksekusi orang yang berani meremehkan Nabi Muhammad saw?
Untuk membahas itu, saya akan mulai lihat dari beberapa sudut sekaligus, baik itu asal mula kasus, isu kebebasan berbicara, efek kartun Nabi Muhammad saw, serta sensitivitas umat Islam terhadap kasus itu, pengaruh video viral orang tua murid, jejaring aktivis Islam, kemungkinan pengaruh milisi jihadis terhadap sosok Anzorov, serta dampak statement Presiden Macron yang dianggap tidak adil terhadap Islam. Setelah itu, saya akan fokus pada pertanyaan terkait Anzorov di atas.
Asal Muasal
Kasus ini bermula dari seorang guru bernama Samuel Paty (1973-2020) menunjukkan kartun ‘naked man’ dari majalah satir Prancis, Charlie Hebdo yang diasosiasikan sebagai Nabi Muhammad saw. Sebagai pengajar topik kewargaan, Paty biasa menunjukkan kartun tersebut dengan pesan bahwa di Prancis nilai-nilai kekebasan itu dijunjung tinggi. Dan, penerbitan kartun–bahkan kartun seorang Nabi–juga dianggap sebagai hak kebebasan berbicara dan berekspresi yang dilindungi undang-undang.
Ketika pulang ke rumah, ada siswa yang melapor kepada orang tuanya. Orang tuanya kemudian tersinggung dengan argumen: selain itu penghinaan kepada Nabi Muhammad saw juga foto ‘naked man’ itu telah mengganggu psikologi anak perempuannya. Maka, orang tua bernama Brahim Chnina kemudian membuat video yang di-upload ke Facebook. Per 27 Oktober 2020, telah di-share lebih 1800 akun. Tak ketinggalan, video itu juga di-share oleh laman Masjid Agung Pantin di pinggiran timur laut Paris. Buntut dari kasus itu, kini masjid Pantin telah ditutup untuk 6 bulan ke depan.
Berita dan video itu kemudian viral. Tersebar ke berbagai orang dengan narasi yang intinya: mengutuk tindakan Pary, meminta kepada sekolah memecatnya, memobilisasi orang untuk protes, dan memberikan nama serta alamat sekolah tersebut. Di sini, intensi dari Brahim Chnina tidak ada yang salah, karena dia melakukan protes terhadap apa yang dipahaminya sebagai penistaan kepada nabi mulia dalam Islam. Sekaligus protes bahwa anaknya terdampak gara-gara foto tersebut.
Saya membayangkan, seharusnya ketika kasus itu mulai naik tensinya, pihak sekolah dan otoritas setempat segera duduk satu meja untuk menyelesaikan itu. Bisa jadi, karena ketidaktahuan sekolah dan otoritas–atau lupa–bahwa dampak dari penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw itu bisa menggerakkan orang untuk melakukan aksi di luar perkiraan.
***
Kasus serangan terhadap kantor majalah Charlie Hebdo (Januari 2015) oleh tiga anggota Al-Qaeda yang menewaskan 12 orang, sesungguhnya menjadi warning bahwa penistaan agama itu bisa menggerakkan perlawanan sengit dari komunitas agama tersebut. Saat menyerang, mereka berkata “kami telah membalaskan dendam Nabi Muhammad”, hampir sama dengan konten Anzorov lewat akun @thetchene_270 yang berkata bahwa dia telah mengeksekusi korban tersebut.
Kenapa posting-nya di Twitter, bukan Facebook? Adalah karena Twitter, selain Telegram, merupakan sarana perekrutan yang disenangi para teroris. Antropolog Prancis, Dounia Bouzar, ketika diwawancarai Qantara.de (20/11/2017 berkata, “Para perekrut dulunya sering berhubungan dengan anak muda di Facebook, tetapi platform itu sekarang sudah mati bagi ISIS. Hari-hari ini mereka lebih suka berbicara dengan korban mereka di Twitter.” Hingga 2020, statement Bouzar itu masih relevan.
Terkait intensi dari Brahim itu, saya kira dia tidak sampai pada tindakan penghilangan nyawa. Dia condong pada perlawanan konstitusional–datang ke sekolah, bahkan ke polisi–serta menggalang dukungan via Facebook untuk bertindak yang rasional dan konstitusional. Tapi, sekali lagi tidak ada yang bisa menjamin isu sensitif seperti ini dapat diterima secara rasional dan kepala dingin oleh semua orang.
Langkah Anzorov itu sangat mungkin terjadi karena merasa terhina dengan kartun Nabi Muhammad saw yang seharusnya tidak boleh digambar dalam agama Islam, apalagi dengan gambar kartun yang menghina: ‘naked man’. Itu akan menggerakkan betul semangat perlawanan dari orang Islam yang jika tidak ditangani dengan baik akan bersifat massif. Kenapa? Karena agama adalah inti dari kebudayaan. Orang bisa mempertaruhkan segalanya demi kemuliaan Sang Nabi.
Faktor “Jemaah Syekh Ahmad Yassin”
Nama Cheikh Yassine Collective atau Jemaah Ahmad Yassin adalah nama yang dituduh terlibat dalam kasus ini. Sebabnya, pendiri jemaah beranggota sekitar 70 orang itu (pada 2011), Abdelhakim Sefrioui, lelaki asal Maroko yang menikah dengan muallaf Prancis tersebut ikut terlibat dalam mobilisasi massa untuk melawan Paty ke sekolahnya. Sejauh ini, belum terlihat jelas apakah dia juga memberikan advis kepada Anzorov untuk melakukan aksi itu atau tidak. Tapi otoritas Prancis–yang telah lama mengenalnya–cenderung melihat keterlibatan Sefroui dalam kasus ini.
Riwayat Sefrioui sebenarnya tidak menunjukkan sikap kekerasan. Dia kritis, bahkan puritan untuk menjalankan Islam akan tetapi tidak membunuh seperti orang ISIS. Logikanya, jika sejak dulu Sefrioui berintensi membunuh, tentu dia sudah diringkus dalam waktu lama.
Tapi, sekali lagi, manusia sebagai makhluk dinamis sangat mungkin berubah, dan menjadi keras dalam momen tertentu. Terkait ini, saya kira posisi Sefrioui itu masih di ‘antara’, dan tindakan Anzorov itu lebih pada tanggungjawab pemuda untuk setelah melihat penghinaan terhadap Nabi.
Jemaah Ahmad Yassin sendiri didirikan setelah Syekh Ahmad Yassin, pendiri HAMAS wafat akibat rudal Israel, pada 2004. Coraknya, organisasi pro-Palestina dan anti-Zionis. Akun Facebook mereka menampilkan: gambar bendera Palestina berkibar di samping wajah anak-anak dan foto pemboman. Donasi untuk Jalur Gaza dan pesan anti-Israel juga muncul di situ.
Kalaupun ada pelanggaran, Sefrioui dan jemaahnya melanggar dalam beberapa hal ini: salat di jalanan di depan Masjid Agung Paris atau Grande Mosquee de Paris (berdiri sejak 1922) yang didirikan Prancis sebagai penghormatan kepada seribu pejuang muslim yang syahid membela negara tersebut. Aksi itu mereka lakukan pada 2009 dalam konteks menentang Dalil Boubaker, mufti masjid tersebut yang juga Presiden Dewan Muslim Prancis pasca sang mufti berpidato terkait seruan persahabatan dengan Yahudi.
***
Selain itu, jemaah itu juga biasa demonstrasi menentang islamophobia di dekat Majelis Nasional Prancis serta pernah mengadvokasi seorang ibu dan anaknya bertemu manajemen sekolah yang melarang abaya, gaun panjang berwarna gelap di kelas. Di sini terlihat sesuatu yang lumrah saja karena tiap muslim yang taat pada konstitusi juga akan melakukan perlawanan yang sama dalam bingkai aturan legal formal.
Advokasi itu memang pada titik tertentu terlihat agak keras, misalnya ketika mereka imam Masjid Drancy, Hassen Chalghoumi yang mendukung larangan cadar di Prancis masa Presiden Nicholas Sarkozy. Dua anggota jemaah tersebut pernah dipenjara karena mencoba masuk ke rumah imam asal Tunis yang dikenal dekat dengan komunitas Yahudi Prancis.
Saking dekatnya dengan Yahudi, Imam Hassen beranak lima yang pernah aktif di Jemaah Tabligh itu kerap dipanggil juga sebagai “Imam of the Jews” (Imam Yahudi). Di sini terlihat bahwa, salafisme Safrioui itu terbentur dengan otoritas Islam Prancis yang dipegang oleh kelompok–sebutlah Imam Hassen sebagai progresifisme.
Akibat dari kasus pembunuhan Pary itu, Jemaah Ahmad Yassin itu kemudian dibubarkan. Jika buat pertemuan, maka bisa dipenjara 3 tahun dan denda 75.000 Euro atau sekitar 1.302.820.446,00. Mereka juga terlarang mengumpulkan donasi, dan diawasi agar tidak membentu nama yang baru.
Pergeseran Anzorov: dari Periferi ke Pusat
Dari penjelasan di atas, kita simpulkan bahwa faktor Anzorov ini datang belakang setelah cerita resistensi terhadap Paty dilakukan oleh anak-anak siswa–yang tidak senang dengan tindakan Paty–kemudian disusul oleh orang tua siswa (Brahim Chnina), dibantu oleh aktivis salafi Abdelhakim Sefrioui, yang berujung pada tindakan radikal pemuda Anzorov.
Otoriras Prancis sebelumnya mengatakan bahwa Sefrioui dan China mengeluarkan fatwa yang dipakai oleh Anzorov. Tiga hari setelah kejadian, jaksa penuntut Prancis tidak menemukan relasi langsung antara gerakan islamis radikal dengan Anzorov, kecuali pada satu hal: kebencian. Artinya, aksi laki-laki itu lebih pada panggilan diri akan menegakkan martabat agama.
Profil Anzorov ini sebenarnya pemuda biasa saja. Dia orang Chechnya, negara yang 95 persennya Muslim Sunni mazhab Syafi’i. Chechnya dikenal sebagai negeri para pejuang Islam yang melawan Soviet. Langkah Presiden Macron–pasca pembunuhan Pary–dengan menggalang ‘war against terror’ bersama Presiden Putin adalah bagian dari logika kekuasaan: bahwa Rusia bisa dominasi Republik Chechnya yang bagian dari Federasi Rusia.
Tipikal lelaki Anzorov itu terlihat pemberani, terbukti dari dia lagi belajar bekerja sebagai security guard. Ayahnya, adalah security guard di Menara Eiffel. Dia juga pernah bekerja di perusahaan konstruksi. Bisa jadi, dia teradikalisasi setelah punya kontak dengan milisi/jihadis di daerah konflik di Timur Tengah, apakah itu ISIS atau Al-Qaeda.
Laman Le Parisien misalnya, menyatakan bahwa Anzorov punya kontak dengan milisi di Idlib, Suriah, lewat Instagram. Komunikasinya menggunakan akun khusus, yang bukan namanya mulai awal September 2020. Setelah beraksi, berarti setelah jam 17.00 waktu setempat, dia juga merekam audio dalam bahasa Rusia bahwa dia telah ‘membalaskan dendam Nabi’–sama dengan teks dari penyerang Charlie Hebdo (2015) dengan cara yang menghina.
***
Setelah itu, mengutip dari Guardian (22 Oktober 2020), dia juga meminta doa agar apa yang dilakukannya–mungkin ia sadar bahwa tak lama lagi otoritas keamanan akan tiba–diterima di sisi Allah Swt sebagai syahid (martir). Tak lama setelah itu, dia ditembak mati oleh polisi.
Lantas, apa yang bisa jelaskan tentang kepribadian Anzorov? Pertama, dia merupakan muslim yang tengah mencari identitas diri di tengah sekularisme Prancis. Di satu sisi, dia tidak mendapatkan penerimaan yang cukup dari negara. Tapi di sisi lain, dia mendapatkan respon baik dari muslim yang terlibat dalam gerakan jihadis. Jika dia bergaul dengan komunitas muslim yang plural–dalam arti progresif, puritan tapi tidak bernuansa kekerasan–itu tentu lebih baik, dan tersalurkan minat bakatnya.
Kedua, Anzorov merupakan pribadi kritis yang membutuhkan saluran. Kritikan dia kepada Saudi Arabia via twitter–yang belakangan dia hapus tapi dapat ditampilkan kembali lewat Wayback Machine–menunjukkan betapa dia melek dengan dunia Islam. Dia menganggap bahwa partisipasi Saudi dalam lembaga internasional seperti PBB, UNESCO, WTO, the Council of Gulf States, dan the Arab World League adalah bagian dari ‘komitmen murtad’ alias komitmen yang telah keluar dari Islam.
Pikiran keras seperti ini biasanya sangat umum melanda anak muda yang memiliki semangat (hamasah) tinggi namun kurang mendapatkan referensi bandingan. Atau keterbasan pergaulan lintas-batas, lintas-aliran dan lintas-agama. Dia mengatakan bahwa aliansi dengan orang-orang kafir adalah bagian dari pengabaian jihad. Juga, dia mengritik Saudi yang takluk pada Amerika yang dianggapnya sebagai tindakan pengkhianatan dan kemunafikan terhadap Islam.
***
Pemikiran Anzorov seperti itu mirip dengan pemikiran Al-Qaeda. Osama bin Laden ketika berhenti bermitra dengan Amerika juga mengeritik hal yang sama, kalau tidak hitam ya putih. Kalau bukan Islam ya kafir. Seakan-akan dalam dunia yang terkoneksi global ini tidak ada titik-temu yang dapat dihasilkan negara-negara di dunia, sejauh apapun perbedaan kepentingan nasionalnya.
Dia menyadari bahwa apa yang dilakukannya disebabkan kesadaran, apa yang disebut Tinka Veldhuis & Jorgen Staun (2009) dalam Islamist Radicalisation: a Root Cause Model, sebagai ‘radicalisation as a strategic choice’, radikalisasi sebagai pilihan strategis personal untuk menjadi pribadi bermakna atau bermartabat.
Saya melihat, pemikiran islamisme–dalam konteks kewajiban berdirinya negara Islam–dianut oleh Anzorov. Pemikiran hitam putih seperti itu hanya bisa eksis ketika hidup di negara yang betul-betul baru, bukan dalam negara yang telah hibrid, tercampur semua unsur kultural, agama, etnik, bahasa, dan sejarah yang menjadi satu bentuk baru dari sebuah negara.
Integrasi Perancis
Maka, problem ‘integrasi Prancis’, dalam konteks ini, masih sangat relevan untuk dibahas kembali. Pakar agama-agama Karen Armstrong pernah mengingatkan Presiden Prancis Holland agar kampanye melawan terorisme-nya berhasil, maka dia harus mencakup telaah terhadap kebijakan dalam negeri.
“Prancis telah nyata-nyata gagal mengintegrasikan warga negaranya yang beragama Islam,” tulis Armstrong dalam The New Statesman (26 November 2015). Dia menambahkan, sebagian besar pelaku Paris Attack 13 November 2015 seperti penembakan massal, bom bunuh diri, dan penyanderaan di Prancis itu dilakukan oleh warga Prancis yang kecewa terhadap pemerintah.
UU Separatisme yang diusulkan Presiden Macron itu dikhawatirkan menjadi ‘islamophobia yang disponsori negara’ dalam melawan islamisme, terorisme, teori konspirasi, dan komunitarian. Lebih khusus, dikhawatirkan UU itu akan menyasar muslim kritis dengan dalih sebagai islamis atau radikalis.
Dalam konteks Prancis yang bebas itu, pertanyaan ini mungkin bisa diutarakan: Mungkinkah seseorang menjadi Prancis sekaligus muslim? Menjadi orang yang menerima kebebasan berpendapat ala Charlie Hebdo sekaligus menjadi pengikut taat kepada Nabi Muhammad saw? Ini juga menjadi problem.
Bayangan saya, Prancis perlu untuk memikirkan kembali apa saja yang ‘sensitivitas budaya’ yang harus dinegosiasikan agar tidak mengundang kemarahan umat beragama. Komentar Macron yang mendukung penerbitan Charlie Hebdo itu dianggap misalnya oleh Grand Syekh Al-Azhar sebagai ‘ajakan untuk membenci’ atau invitation to hatred. Tentu saja, Al-Azhar dan mayoritas umat Islam sedunia bersuara tetap sama: mengutuk pemenggalan guru Paty.
***
Tambahan lagi, tindakan Anzorov yang beragama Islam itu tidak bisa dilekatkan pada ajaran Nabi Muhammad saw, sebagaimana juga tindakan Brenton Tarrant yang menembak di masjid New Zealand tidak bisa dilekatkan pada ajaran Kristus. Di sini sudah terang, bahwa tindakan teror, baik itu yang dilakukan Anzorov, Tarrant, sampai 9/11 itu tidak bisa dilekatkan pada agama karena agama mengajarkan rahmat bagi semua orang, bukan kematian bagi semua orang.
Menarik pertanyaan Karen Armstrong. Berdasarkan laporan psikiater yang menyelidiki orang-orang yang terlibat dalam peristiwa 9/11 di Amerika, diperoleh simpulan: tindakan mereka tidak digerakkan oleh agama sebagai faktor utama, akan tetapi yang mendesak adalah hasrat untuk terbebas dari cekikan rasa tidak berarti.
Berarti, jalan perdamaian itu ada pada sikap untuk membuat orang lain merasa berarti. Jika rasa tidak berarti muncul, maka hasrat mereka bisa tersalurkan–apalagi jika ada tokoh yang dianggap pahlawan–untuk bertindak yang pintas, walau itu merugikan banyak orang.
Pelajaran untuk Kita
Semua peristiwa dunia di masa lalu dan sekarang pasti mengandung pelajaran. Dalam kasus penyerangan terhadap Charlie Hebdo, kita dapat belajar bahwa islamophobia dalam bentuk kartun itu rentan untuk mengundang kemarahan dan balas dendam dari orang Islam.
Kebangaan akan agama dan martabat sangat penting bagi umat manusia. Francis Fukuyama dalam Identity (2018) menjelaskan secara terang satu state of the art yang saya komplikasi sebagai berikut: “Penghinaan terhadap kolompok akan memancing para pengikutnya untuk sukarela melawan demi menegakkan martabat manusia yang telah dihina, diremehkan, dan diabaikan.”
Jika Presiden Macron memahami ini, maka dia akan lebih berhati-hati dalam dukungannya terhadap penerbitan kembali majalah Charlie Hebdo atau responnya terhadap Islam yang disebutnya sementara krisis secara global. Bahwa tindakan Anzorov itu termasuk kejahatan, itu jelas dan harus diproses seadil-adilnya demi kepentingan nasional.
Akan tetapi, melontarkan statement bahwa ‘islamis mengincar masa depan kita’ hanya akan meningkatkan kecurigaan kepada muslim dan meningkatkan islamophobia, apalagi mengatakan Islam sedang krisis di seluruh dunia. Yang lebih parah lagi, membolehkan jurnalis dan seniman Prancis menggambar Nabi Muhammad saw–yang terlarang dalam Islam–dengan gambar yang jorok sesungguhnya sangat berisiko merusak relasi antara Prancis dengan muslim atau dunia Islam.
Dalam Islam, penggambaran Nabi Muhammad saw itu terlarang dengan alasan akan berdampak pada sikap dusta, apalagi tidak ada yang dapat memastikan gambar itu seperti adanya. Bahkan, orang yang menggambar wajah Nabi dapat digolongkan sebagai pendusta yang bisa masuk neraka, sebagai hadis Nabi, “Siapa yang berbohong tentang aku secara sengaja, maka hendaklah dia menyiapkan tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari hadis ini, para ulama bersepakat: haram menggambar Nabi Muhammad saw dan para Nabi lainnya.
***
Pada akhirnya, kita berharap semoga Prancis dapat lebih bijaksana dengan kebebasan berbicara tersebut, dan muslim di seluruh dunia juga dapat menahan diri dengan tetap mengikuti suri teladan Nabi Muhammad saw yang damai, pemaaf, namun tetap memiliki sikap. Khusus untuk Indonesia, kita berharap bahwa semua pemuda kita tersentuh dengan nilai-nilai teladan Nabi Muhammad saw yang penyayang, sabar, dan mengutamakan perdamaian.
Belajar dari kasus Anzorov, kita menghargai semangatnya dalam membela martabat Islam. Akan tetapi, bersikap lebih bijaksana dengan mengedepankan dakwah yang hikmah dan nasihat yang baik adalah solusi di tengah kehidupan kita yang sangat majemuk.
Banyak cerita orang yang dulunya membenci berubah 180 derajat karena dakwah yang penuh cinta tanpa kekerasan. Sesungguhnya dakwah yang menyentuh jiwa itulah pilihan terbaik. Pilihan yang tidak menjadi petaka, sebaliknya menjadi keselamatan dan rahmat bagi semesta alam.
Allah Swt berfirman, “Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta” (QS. Al-Anbiya’: 107).