Tasawuf

Abu Yazid al-Busthami: Sufi yang Mabuk Kepayang

4 Mins read


Kisah seorang sufi memang memberi makna tersendiri dalam kajian keilmuan Islam. Jalan seorang jelas tidak akan lepas dari ajaran tasawuf. Pasalnya, dari tasawuf-lah seseorang bisa mencapai pengalaman sufi. Namun, di sisi lain banyak sekali kisah-kisah menarik dari seorang sufi. Entah itu dari perjalanannya, atau keilmuannya, untuk dijadikan pelajaran, atau hanya sekedar cerita semata. Seperti Imam al-Junaidi, Imam al-Ghazali, al-Hallaj, dan Ibnu Taimiyyah, yang menolak sufi, tetapi dirinya juga sufi.

Dalam perjalanannya, seorang sufi jelas tidak akan lepas dari ajaran tasawuf. Sebab dari tasawuf, seorang mampu menempuh jalan sufi. Tasawuf sendiri menurut al-Ghazali adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Sedangkan Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tasawuf adalah suluk, yaitu cara atau ikhtiar untuk dekat dengan Tuhan. Maka artinya sufi adalah pengalaman bersatunya seseorang dengan Tuhan, sebab sudah ikhtiar melalui tasawuf.

Abu Yazid al-Busthami, Sufi yang Mabuk Kepayang

Dengan capaian seseorang ke ranah sufi, maka orang itu memiliki identitas sendiri di alam semesta ini. Sebab, seorang sufi memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan manusia lainnya, karena mereka sudah mencapai hakikat Tuhan.

Untuk mencapai tingkat tingkatan sufi, seorang sufi tentu memiliki ajaran, keilmuan, dan ikhitiar tersendiri-sendiri. Salah satunya adalah Abu Yazid al-Busthami, seorang sufi yang memiliki julukan first of the intoxicated sufis (sufi yang mabuk kepayang pertama).

Abu Yazid al-Busthami memiliki nama lengkap Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Busthami. Beliau lahir di Bustam, bagian timur laut Persia sekitar tahun 200 H/814 M. Beliau meninggal pada tahun 261 H/875 M yang juga bertempat di Bustam. Dan makamnya masih ada sampai saat ini yang terletak di tengah-tengah kota. Beliau sangatlah dihormati oleh Sultan Mongol, sampai si Sultan membangun kubah yang sangat megah dan indah di atas makamnya.

Baca Juga  Imam Al-Ghazali: Metode Memperoleh Ilmu Laduni

Semasa hidupnya Abu Yazid al-Busthami dihabiskan hanya dengan bertakwa kepada Allah Swt. Beliau juga memiliki kecerdasan yang luar biasa. Ketika muda, beliau sudah menguasai berbagai disiplin ilmu. Mulai dari ilmu tauhid, ilmu hakikat, ilmu fikih, dan sebagainya, yang beliau pelajari dari gurunya, Abu Ali as-Sindi, yang berasal dari India.

Sebelum Abu Yazid al-Busthami menjadi sufi, beliau adalah seorang fakih yang bermazhab Hanafi. Lalu kemudian, beliau melanjutkan perjalanan zuhud dengan ajaran tasawufnya untuk mencapai tingkat sufi. Dalam ajaran tasawuf, beliau dipandang sebagai sufi pertama yang melahirkan ajaran al-fana dan al-baqa, yang kemudian berlanjut pada paham ittihad sebagai puncak ajaran tasawufnya.

Pengertian Ajaran Al-Fana dan Al-Baqa

Sebagai ajaran tasawuf al-Busthami yang paling utama, al-fana dan al-baqa memiiki arti secara harfiah menghilang dan musnah. Dalam istilah tasawuf, al-fana diartikan sebagai keadaan moral yang agung. Abu Bakar al-Khalbadzi mendefinisikan fana sebagai, “musnahnya semua kesenangan hawa nafsu seseorang, hanya keikhlasan yang ada pada dirinya, sehingga hilanglahlah perasaanya dan mampu membedakan segala sesuatu secara sadar, dan kepentingan yang ada pada dirinya semua menghilang”.

Al-fana bukanlah apa-apa jika tidak ada al-baqa. Sedangkan al-baqa dalam tasawuf adalah hadirnya sifat-sifat terpuji Allah Swt. Maka, antara keduanya haruslah saling beriringan, sebab tingkatan al-fana adalah membuat seorang sufi akan hilang kesadaran, dan dia akan lepas dari keadaan impermanent dan temporal existence. Dengan keadaan yang seperti itu, maka muncullah al-baqa yang hadir sebagai penyeimbang akan al-fana; atau sebagai pengembalian kesadaran akan lenyapnya al-fana.

Abu Yazid al-Busthami belum merasa dirinya menyatu dengan Tuhan jika belum masuk ke tingkatan ittihad. Meskipun kita melihat bahwa tingkatan al-fana dan al-baqa merupakan pencapaian yang sempurna, namun itu tidak bagi Abu Yazid al-Busthami. Sebab, al-Busthami melihat itu sebagai sarana untuk melanjutkan capaiannya untuk masuk ke hakikat Tuhan yang sempurna.

Baca Juga  Mengenal Al-Jili (3): Konsep Insan Kamil (Manusia Sempurna) Al-Jili

Tingkatan ittihad Abu Yazid al-Busthami merupakan lanjutan dari al-fana dan al-baqa. Harun Nasution menjelaskan bahwa ittihad merupakan satu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa dirinya menyatu dengan Tuhan, satu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga dalam memanggilnya dengan sebutan “Aku”. Maka dari itu, ittihad merupakan suatu pencapaian yang sangat sulit dicapai oleh seorang sufi, sekalipun ia sudah sampai pada al-fana dan al-baqa.

Empat Tingkat Ajaran Ittihad Abu Yazid al-Busthami

Dalam ajaran ittihad Abu Yazid al-Busthami, beliau membagi empat tingkatan. Tingkatan pertama merupakan tingkatan terendah, beliau menyebut Tuhan dengan sebutan (Dia). Dalam tingkatan ini, seorang sufi masih memiliki jarak yang memisahkan, meskipun ia telah mengalami persatuan dengan Tuhan. Seperti dalam syatahat beliau:

Man haitsu al-kholqi fi al-kholqi bi al-kholqi min al-kholqi,”

Artinya: “Barang siapa yang merasa dirinya bersatu dengan Tuhan (al-haq) berada dalam al-haq, maka harus selalu berada dalam al-haq.

Tingkatan kedua, beliau dalam menyebut Tuhan dengan kata (Aku) dan (Kamu) yang dalam pencapaiannya juga masih belum sempurna. Seperti syatahat beliau:

Qola; ya abaa yazid innahum khulluhum kholqi goirika: fa anna anta wa anta ana wa ana anta,

Artinya: “Hai Abu Yazid, sesungguhnya mereka semua adalah makhluk-Ku kecuali engkau, maka saya (Abu Yazid al-Busthami) berkata: Maka saya adalah Engkau, Engkau adalah saya dan saya adalah Engkau.”

Tingkatan ketiga, beliau mengganti penyebutan Tuhan hanya dengan kata (Aku). Dalam tingkatan ketiga ini, Al-Busthami mengatakan bahwa dirinya melebur dalam diri Tuhan, walaupun kepribadiannya masih sama. Dalam hal ini, William C. Chittick mengatakan bahwa sufi pada tingkatan ini (ketiga) hanya mungkin bila ego sudah benar-benar terhapus dari kesadaran.

Baca Juga  Tasawuf, Jawaban atas Persoalan Krisis Spiritual

Inii ana Allah la ilaha illa ana fa’budnii,”

Artinya: “Sesungguhnya Aku adalah Allah tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”

Dalam tingkatan keempat, al-Busthami benar-benar sudah tidak merasakan keberadaannya dirinya. Sehingga yang ada pada dirinya hanyalah Allah. Dalam syatahatnya, beliau mengatakan yang artinya:

“Pada suatu ketika aku diangkat dan dinaikkan ke hadirat Allah dan Dia berkata: Hai Abu Yazid makhluk-Ku naiklah kamu, sesungguhnya Aku ingin melihatmu, Abu Yazid menjawab: Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu adalah kehendak-Mu, maka akau tidak berdaya menentang kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata: Telah aku lihat Engkau, tetapi yang merasa melihatku tidak di sana.”

“Mabuk Kepayang” karena Allah

Masya Allah, begitulah seorang yang sudah sangat cinta kepada Tuhannya. Tidak ada yang bisa mengalihkan pandangannya dari Sang Pencipta, meskipun itu seluruh makhluk-Nya.

Editor: Zahra

Avatar
5 posts

About author
Pegiat Pendidikan
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds