Humor, kini dimaknai lebih jauh. Bukan sekadar guyonan receh yang bertujuan mengocok perut pemirsa, atau sindiran ala anak-anak tongkrongan. Hari ini, humor mampu membuat kita menertawakan sistem politik. Celakanya, layaknya humor-humor lain, humor politik tak selalu berhasil membuat semua orang tertawa karena intepretasi dan sensitivitas yang berbeda dari masyarakat.
Pada tahun 2009 misalnya, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu), dunia hiburan layar kaca menyajikan satu tayangan parodi lawak di stasiun televisi METRO TV: Republik Mimpi. Mengisahkan sebuah kantor berita di suatu negeri antah-berantah bernama “Republik Mimpi”, penonton disajikan karakter tokoh Si Butet Yogya (SBY), Jarwo Kwat (JK), Megakarti, Gus Pur, hingga Suharta.
Mantan presiden RI diparodikan dengan kocak oleh sejumlah komedian, yang menirukan perilaku hingga cara bicara para tokoh. Acara yang dimotori Effendi Ghazzali itu, sukses melemaskan urat-saraf masyarakat yang sempat menegang jelang politik elektoral 2009. Pendeknya: acara ini mengundang tawa penonton.
***
Sedekade kemudian, melalui tayangan komedi tunggal secara daring yang ia unggah di Twitter dan Instagram pada 12 Juni 2020, Bintang Emon menampilkan monolog lucu yang menyindir sistem hukum di Indonesia, pasca vonis 1 tahun atas pelaku penyiraman keras terhadap Novel Baswedan. Sayangnya, lawakan dari jebolan kontes pencarian bakat itu “sebagian” berhasil mengocok perut pemirsa, namun “sebagian” lagi malah menyerangnya balik.
Fitnah ditujukkan, hingga hujatan-hujatan menyasar kepadanya. Lebih jauh, salah seorang pendengung (Buzzer) mengatakan ada “agenda besar” dibalik leluconnya, yang bertujuan menjatuhkan nama bahkan jabatan presiden RI. Berlebihan? Saya rasa, sidang pembaca harus menilik kasus unik beberapa hari setelahnya.
Warga sipil asal Maluku Utara, Ismail Ahmad, ditangkap polisi, akibat mengunggah lelucon mantan presiden RI Gus Dur tentang “polisi jujur”. Entah, apakah sikap bawa perasaan, tersinggung, atau ada alasan lain. Yang jelas, kondisi demikian mengotori demokrasi, khusunya dalam hal menyatakan pendapat, wabil khsusus pendapat dalam ranah humor.
Sesungguhnya, apa yang terjadi hari ini? Mengapa dalam satu dekade saja, rakyat dilarang tertawa. Padahal semestinya hal itu menjadi satu hak paling hakiki dalam ranah kesadaran manusia?
Polarisasi, Sudah Keruh Makin Dikeruhkan Para Pendengung
Dalam sebuah artikel berjudul “The Polarisation Paradox in Indonesia’s 2019 Elections” yang dimuat di New Mandala pada 22 Maret 2019, pengajar senior di School of Culture, History and Language, Australian National University (ANU) Ross Tapsell, menemukan adanya potensi terpecah belah atau polarisasi pasca politik elektoral 2019 di Indonesia.
Musababnya adalah media sosial yang lebih berisik ketimbang perdebatan dua calon presiden kala itu. Selain tim pendukung dan voters, tak bisa dimungkiri bahwa kedua kubu sama-sama memiliki pendengung atau buzzer politik, yang makin memperkeruh situasi melalui fitnah dan disinformasi. Bukan rahasia lagi.
Di kalangan elite kedua paslon, bisa jadi polarisasi tak begitu dirasakan. Namun, dalam tataran akar rumput, “diskursus media sosial membuat masyarakat Indonesia merasakan potensi polarisasi lebih besar dibandingkan yang sebenarnya, dan politikus terus-terusan mengobarkan persepsi itu,” tulis Tapsell.
***
Ketika debat paslon tak menawarkan sesuatu, begitu kosong dan membosankan, warganet mencari arena laganya sendiri. Alih-alih dapat menjadi alternatif adu gagasan, arena media sosial justru menciptakan polarisasi, hingga menelurkan label “cebong” dan “kampret”.
Layaknya polarisasi, – pro-kontra, kiri-kanan, atau cebong-kampret – kulit luar akal sehat masing-masing kubu semakin tipis, yang akhirnya menjadi terlalu sensitif akan serangan lawan. Bukan serangan balik menggunakan argumen, namun, lebih banyak sentimen. Fitnah, disinformasi, hingga pembunuhan karakter yang membabi buta dilakukan secara bertubi-tubi.
Alhasil, narasi-narasi itu membuat sumbu masing-masing kubu kian pendek. “Katakan tidak untuk mereka”; atau “kami selalu benar”, menjadi satu algoritma khusus di kepala mereka. Imbasnya, hingga sekarang mereka tak akan bisa menerima argumen lawan, sekalipun yang disampaikan adalah benar.
Celakanya, bukan hanya argumen yang sama sekali serius, bahkan humor pun jika disampaikan oleh mereka yang (dianggap) berseberangan, akan ditanggapi secara serius. Istilah kiwari: “Baper”.
Polarisasi sudah keruh. Kini, semakin diperkeruh dengan adanya buzzer politik, yang sebagian secara terang-terangan mengaku, atau sebagian ada pula yang malu-malu membuka jati dirinya. Apapun itu, hasilnya tetap sama, “tukang bikin keruh”.
Sebuah riset yang dilaporkan Oxford Internet Institute (OII) tentang disinformasi, menunjukkan bahwa di Indonesia ada banyak partai politik, politikus, dan kontraktor swasta yang membentuk pasukan dunia maya atau siber. Pasukan siber, atau jamak diakui sebagai Buzzer ini menciptakan akun palsu di media sosial, baik berbentuk manusia maupun robot, untuk mendukung politikus atau partai politik tertentu, menyerang oposisi, dan membelah opini publik.
Cara Kerja Buzzer Politik yang Licik
Lebih jauh, melansir artikel di The Conversation, cara kerja para Buzzer dalam mempromosikan kandidatnya seringkali lekat dengan bias, disinformasi, dan kampanye hitam. Strategi kotor ini menyerang semua calon yang berkompetisi.
Sialnya, berisiknya dengunan para Buzzer ini juga dapat menurunkan kualitas ruang publik dan demokrasi kita apabila terus terjadi. Fabrikasi percakapan, perang tagar serta disinformasi yang diproduksi oleh para Buzzer politik, dapat menimbulkan distorsi di ruang publik, mengaburkan batas antara aspirasi publik yang otentik dengan aspirasi rekaan.
Akibatnya, aspirasi dan kritik publik tidak tersampaikan dengan baik kepada pemerintah dan sensitivitas pemerintah terhadap kritik dan masukan publik menjadi kian memudar.
Hal demikian yang terjadi dalam kasus Bintang Emon. Bisa jadi sang komika ingin menyampaikan satu aspirasi berbalut guyonan, dengan maksud “melemaskan” situasi yang sebelumnya menegang akibat adu gagasan politikus atau panasnya ruang sidang pelaku penyiraman air keras.
***
Namun, yang terjadi adalah sebuah kontradiksi. Buzzer pemerintah, lebih sensitif dari negara itu sendiri yang kena kritik. Serangan balik para Buzzer seakan menghilangkan esensi kritik, dan justru perdebatan ilmiah soal sistem hukum berbelok menjadi pengikisan karakter, disinformasi, dan konter wacana yang sama sekali tak berhubungan dengan konteks. Sesuatu yang harusnya jelas, malah diperkeruh.
Apa artinya? Selama ada buzzer yang “loyal” dengan kubu yang ia dukung, maka akan sulit untuk mengharapkan demokrasi kita menjadi sehat. Bahkan, negara pun telah melarang kita untuk menertawakan lelucon yang mereka buat sendiri.
Mengutip kata-kata warganet, “Negara: Hukum dibikin lelucon; Guyonan diseriusin!”