Adat, Syariat, dan Partai Islam di Sumatera Tengah
Selain pengajian dan masjid dengan para para buya sebagai tokohnya, syariat agama di dusunku juga terikat erat dengan adat. Adat di dusunku dibagi empat: pertama, adat yang sebenar adat yaitu adat yang bersandi syarak dan syarak bersendi kitabullah. Kedua, adat istiadat yaitu adat kebiasaan yang turun termurun dari nenek moyang. Ketiga, adat yang diadatkan yaitu adat yang dibuat dengan kata mufakat. Keempat, adat yang teradat yaitu hal-hal yang biasa dikerjakan sehingga menjadi kebiasaan pribadi seseorang.
Dari empat bentuk adat itu bentuk pertama yaitu adat sebenar adat menduduki kedudukan paling tinggi. Artinya adat harus berdasarkan syarak (syariat Islam) yang bersendikan kitabullaah yaitu Al-Qur’an dan hadis sebagai penjelasannya. Sehingga bagi masyarakat dusunku agama khususnya syari’at Islam telah menyatu dengan adat.
Adat dan Penerapan Syariat Islam
Dalam kaitan ini juga dikenal pepatah “Tebit ayik dehi ulu tebit getoah dehi betoang syarak mangatao adet mamakae.” Tebit ayik dehi ulu (terbitnya air dari hulu) bermakna sumber utama (hulu) nilai-nilai kehidupan (air) adalah 6.666 ayat al-Qur’an. Tebit getoah dehi betoang (terbitnya getah dari batang) bermakna pedoman dari perkataan dan perbuatan adalah sunnah Rasulullah. Syarak mangatao adet mamakae (syariat mengatakan adat memakainya) bermakna ketentuan yang disebutkan dalam syarak (syariat Islam) diterapkan oleh adat.
Artinya syariat Islam yang sifatnya normatif dipraktekkan dalam realitas kehidupan sehari-hari dalam bentuk rumusan-rumusan adat. Terkait ini lebih mendalam aku sudah menerbitkan bukuku dengan judul Rencong Telang: Komunitas Adat di Kerinci Sumatera Tengah.
Selanjutnya aturan-aturan adat berfungsi menjadi solusi berbagai masalah. Hukum adat juga disebut Pgong Pakae (sesuatu yang dipegang dan dipakai). Ini berarti adat merupakan sesuatu yang digunakan secara langsung dalam kehidupan bermasyarakat. Pgong Pakae baik yang berbentuk prinsip-prinsip dasar maupun penerapannya menjadi pedoman hidup dalam berbagai level dan ranah kehidupan bersama.
Secara umum hukum adat ini dikelompokkan ke dalam dua bagian: Adat nan Empat dan Undang Nan Empat. Adat nan Empat berisifat umum dan berisi hal-hal prinsip yang menjadi pondasi dari semua rumusan lainnya. Undang Nan Empat lebih bersifat khusus dan terbagi ke dalam Undang Luhak, Undang Negeri, Undang nan Duo Puluh, dan Undang Dalam negeri atau Anak Undang Nan Seratus.
Tingkatan Peradilan Adat
Penyelesaian berbagai masalah diselenggarakan melaui prosedur peradilan yang disebut Adet nan Tigo Takah Lembago nan Tigo Jinjing. Takah atau tingkatan pertama adalah Duduk Suku. Pada takah ini lebih diusahakan perdamaian antar pihak yang terlibat. Takah di atasnya disebut Duduk Ninik Mamak. Pada level ini masalah disebut dengan perkara. Dalam hal ini persaudaraan sudah retak dan mediasi sulit dilakukan.
Sedangkan, takah tertinggi adalah Duduk Depati. Dalam Duduk Ninik mamak maupun Duduk Depati yang diutamakan adalah penegakan hukum. Bahkan dalam Duduk Depati berlaku “alah kiri menang kanan ngehat mutuih makan abih.” Artinya pasti ada satu pihak yang menang dan satu pihak yang kalah. Terkait resolusi konflik yang menarik ini aku juga menerbitkan sebuah buku dengan judul Pgong Pakae: Konflik dan Resolusinya dalam Masyarakat Kerinci.
Karena kuatnya kaitan antara syariat dengan adat maka pemangku adat juga orang agama. Banyak depati juga merupakan buya, minimal orang yang rajin ke masjid. Begitu juga sebaliknya kepengurusan masjid ditunjuk oleh depati dan ninik mamak. Depati juga ditaboakan (dikukuhkan) di dalam atau di sekitar masjid. Sosialisasi tentang adat juga seiring sejalan dengan pengajian.
Pada era 1970-an setiap malam Senin dan malam Jumat diadakan pengajian yang dilanjutkan dengan pengkajian adat. Kegiatan ini berlangsung bergiliran dari rumah ke rumah sesudah shalat Isya dan makan malam di rumah masing-masing. Pada kesempatan ini adat dipelajari secara serius dan sistematis. Cerita Mamak Ilyas Tasir (2009), “Kita pergi mengaji juga belajar mengenai adat. Guru ilmu adat adalah Haji Zainuddin dan guru agama bergantian. Pertemuan berlangsung serius dan selesai sampai jam sebelas malam.”
Islam dan Kehidupan Politik
Pada sisi lain Islam juga mempengaruhi kehidupan politik kepartaian di dusunku. Pada pemilu 1977, misalnya, orang dusunku banyak menjatuhkan pilihan mereka pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Idealisme yang kuat dalam berpolitik ditopang kemakmuran ekonomi. Ketika menjadi aktivis PPP pencaharian pokok mereka sebagai petani yang bersawah dan berladang sangat menjamin ekonomi mereka. Dengan mengambil dahan kulit manis saja biaya hidup mereka sehari-hari tercukupi. Apalagi kalau memanen kulit pokok yang ada pada batangnya.
Para petani ini memiliki kesadaran bahwa PPP adalah partai Islam. Melihat gambar ka’bah saja mereka sudah tertarik walau tidak mengerti visi misi partai itu. Cerita Ndaek Juhe (2009), ”Kita walaupun tidak orang siak (santri), tidak orang taat, tapi tetap ada Islam pada kita. Karena itu kita membawa gambar partai dan dipasang di kaca-kaca rumah.”
Kuatnya ideologi dan ekonomi yang baik membuat banyak orang dusunku berani menanggung resiko. Golkar penguasa tunggal Pada pemilu 1977 dan ABRI digunakan untuk menekan masyarakat agar masuk Golkar. Untuk itu di dusunku beberapa tentara dan dua polisi menunggui rumah Ngah Mirza yang menjadi kepala dusun kala itu.
Menurut Ngah Mir, penduduk yang tidak mau masuk Golkar dikejar aparat. Karena tidak tahan lagi terhadap berbagai tekanan Sebagian warga dusunku lari keluar dusun. Apalagi setelah turun perintah penangkapan terhadap tokoh PPP Kerinci. Maka dimulailah cerita tentang pelarian politik di Kerinci, terutama mereka yang berasal dari dusunku. Demi mempertahankan PPP yang diyakini sebagai partai Islam mereka lari malam ke Padang, Padang Panjang, Pariaman, Air Liki, Jambi, Jakarta, dan ke tepi lubuk-lubuk di sekitar Kerinci Hilir.
Pelarian Aktivis PPP
Cerita menarik terjadi di dusunku sendiri. Setelah mengetahui keluarnya instruksi penangkapan terhadap aktivis PPP Ndaek Juhe bersama seorang temannya pada malam itu juga langsung bersembunyi di Bukit Melgan. Pagi harinya mereka turun bukit, melarikan diri dan bersembuyi di Sungai Penuh. Petang harinya mereka naik oto menuju Padang. Sesampai di Padang, seorang dusunku yang tinggal disana menyuruh mereka melanjutkan pelarian karena aparat sedang mengejar mereka ke Padang. Maka mereka melanjutkan pelarian ke Padang Panjang.
Di sana mereka menginap bersama para siswa dusunku yang sedang belajar di Thawalib. Di ujung pelarian politik ini, karena kehabisan uang belanja, mereka bersembunyi di Lubuk Alung selama beberapa bulan. Mereka tinggal di rumah Si Andah yang sebelumnya lama menjadi perantau di dusunku.
Pada malam yang sama dengan pelarian Ndaek Juhe ke Padang, beberapa aktivis PPP dusunku melarikan diri melalui ke Air Liki. Mereka melalui jalan rimba dari Tarutung. Disini ikut bergabung Yahya Musa tokoh PPP Kerinci dari Tanah Kampung. Mereka bertujuh masuk rimba, mendaki Bukit Sengkao ke arah Air Liki.
Setelah berhari-hari jalan kaki mereka keluar rimba di Rantau Panjang. Mereka kemudian meneruskan pelarian ke Jambi sebelum akhirnya terdampar di Jakarta. Sedangkan aktivis PPP lainnya bersembunyi di sekitar dusun kami. Selama sekitar satu minggu mereka tidur di Lubuk Jabi tepi Batang Merangin dan di Mudik Nehat. Tokoh paling tua adalah Maknzuw Haji Azhari. Ikut juga Ngah Usman.
Pada suatu malam Ngah Usman bersembunyi masuk dalam lahong (lubang kayu yang terbentuk karena isinya terbakar). Cerita Ndaek Juhe berikutnya, “saat keluar esok harinya menjadi hitam sehitam-hitamnya dia. Hahahaha…. Puas kami tertawa saat itu.”
Editor: Nabhan