Fikih

Syariat Umat Nabi Terdahulu Apakah Menjadi Syariat Rasulullah?

6 Mins read

Syariat Nabi Sebagaimana diketahui, Allah Swt mengutus para nabi dan rasul pada zaman tertentu dan untuk umat tertentu. Mereka diutus untuk menjadi petunjuk dengan ajaran yang dibawanya. Sebagaimana Nabi Muhammad yang membawa ajaran Islam sesuai dengan apa yang menjadi risalah baginya dan sesuai dengan keadaan umatnya, begitupun umat sebelum Nabi Muhammad. Mereka juga mempunyai ajaran yang tidak jauh berbeda dengan risalah Nabi Muhammad. Ajaran itu berisi tentang akidah, ibadah, hubungan dengan sesama, dan lainnya.

Luasnya ajaran Islam yang diterima Nabi Muhammad dan disampaikan kepada umatnya tidak hanya mengarahkan pada suatu dalil yang sudah final seperti Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Salah satu dalil yang harus dikaji dan dipahami adalah mengenai syar’u man qablana (syariat sebelum Nabi Muhammad), seperti syariat Nabi Ibrahim, syariat Nabi Musa, Nabi Isa, dan nabi-nabi yang lain.

Penjelasan tentang Syar’u man Qablana

Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan syar’u man qablana dengan arti, hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada umat terdahulu melalui nabi-nabi mereka, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud, dan Nabi Isa ‘alaihimussalam (Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushulil Fiqih, [Bairut: Dar al-Fikr 2018], h. 101).

Secara istilah, syar’u man qablana merupakan ketentuan hukum Allah Swt yang dibawa oleh nabi mereka dan disyariatkan kepadanya. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat, apakah menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad atau tidak. Simak penjelasannya.

Klasifikasi Syariat-Syariat Sebelum Nabi

Menurut Syekh Wahbah Zuhaili, syariat-syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad terklasifikasi menjadi dua bagian:

Pertama, Syariat yang Tidak Disebut dalam Al-Qur’an dan Hadis

Pada pembagian yang pertama ini, ulama sepakat bahwa syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad tidaklah menjadi syariat baginya dan umatnya. Contoh: setiap pekerjaan dan ritual yang dilakukan oleh orang-orang ahli kitab namun tidak diketahui dari mana sumber pekerjaan mereka, juga syariat Nabi Muhammad tidak menganjurkannya.

Dalam hal ini, para ulama lebih memilih diam (mauquf) dari menganggapnya sebagai syariat umat terdahulu atau tidak. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah bahwa orang-orang ahli kitab membaca Kitab Taurat menggunakan bahasa ibrani dan menafsiri dengan menggunakan bahasa Arab, lantas Rasulullah bersabda:

لا تُصدِّقوا أهل الكتابِ ولا تُكذِّبوهم

Artinya: “Janganlah kalian benarkan ahli kitab, juga jangan mengingkari mereka.” (HR. Abu Hurairah)

Solusinya bagaimana? Setelah Rasulullah menyampaikan sabda di atas, beliau melanjutkan firman Allah Swt, yaitu:

قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Baca Juga  Poligami dan Nalar Pembaruan Fikih yang Gagal

Artinya: “Katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.’” (QS Al-Baqarah: 136).

Alternatifnya, isi, makna, dan kandungan kitab-kitab samawi yang diturunkan sebelum Al-Qur’an sudah banyak yang diubah, mulai dari bahasa, tarjamah, dan arti oleh orang-orang ahli kitab.

Oleh karenanya, Rasulullah memberikan alternatif agar tidak membenarkan mereka, khawatir sudah diubah sesuai dengan kehendaknya, juga tidak memperbolehkan mengingkari, karena bisa jadi ada sebagian yang masih utuh sesuai dengan ajaran yang diturunkan.

Sedangkan, cara yang terbaik adalah tidak menanyakan semua itu. Dengan kata lain, isi kitab-kitab yang diturunkan dan masih sesuai dengan makna awalnya, maka harus percaya dan iman sebagai manifestasi keimanan pada ajaran nabi sebelumnya. Dan, tidak mempertanyakan merupakan manifestasi bahwa tidak mempersoalkan firman Allah merupakan sebuah kewajiban, sebagaimana yang telah dijelaskan Allah Y melalui lisan nabi-Nya pada ayat di atas.

Kedua, Syariat yang Disebut dalam Al-Qur’an dan Hadis

Pembagian yang kedua ini, ada beberapa poin penting yang perlu dipahami dari syariat nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis bahwa para ulama masih mengklasifikasi perihal apakah menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad atau tidak. Perincian itu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:

Pertama, dijelaskan dalam Al-Qur’an dan menjadi syariat bagi mereka. Namun, dihapus (mansukh) dari syariat Nabi Muhammad maka para ulama sepakat tidak termasuk komponen dari syariat Nabi Muhammad Saw. Contohnya, dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ

Artinya, “Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya. Dan sungguh, Kami Mahabenar.” (QS Al-An’am: 146).

Ayat di atas secara tegas mengharamkan setiap hewan yang mempunyai kuku, seperti burung, unta, angsa, dan semua jenis hewan yang mempunyai kuku. Begitu juga haram mengkonsumsi lemak hewan yang gemuk selain punuk dan perut besarnya.

Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu. Allah menegaskan tentang keharaman hewan-hewan yang telah disebutkan. Kemudian, dijelaskan pula dalam Al-Qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad. Allah berfirman:

Baca Juga  Khutbah Jumat: Islam Kaffah itu “Beragama yang Moderat”

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَآ أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Artinya, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah (QS Al-An’am: 145).

***

Ayat ini menghapus keharaman hewan-hewan yang telah diharamkan dan menjadi syariat bagi nabi terdahulu serta tidak diterapkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya.

Menurut Sayyid ath-Thanthawi, ayat di atas menjelaskan bahwa tidak ada makanan yang diharamkan kepada umat Nabi Muhammad kecuali makanan itu berupa bangkai (hewan mati yang tidak disembelih secara syara’). Atau berupa darah yang mengalir, seperti darah yang keluar ketika hewan ketika disembelih, bukan darah beku seperti hati, dan limpa. Juga haram mengkonsumsi daging anjing dan babi karena semua itu dianggap kotor dan tidak disukai oleh watak yang sehat serta membahayakan pada kesehatan (Sayyid ath-Thanthawi, Tafsir al-Wasith, halaman 1555).

Kedua, dijelaskan dalam Al-Qur’an, menjadi syariat bagi mereka serta tidak dihapus (mansukh) dari syariat Nabi Muhammad Saw.

Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa syariat itu menjadi bagian dari syariat Nabi Muhammad dan tentu juga pada umatnya. Contohnya, dalam Al-Qur’an Allah Swt berfirman:

ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183)

Pada ayat tersebut secara tegas Allah mewajibkan puasa kepada Nabi Muhammad dan umatnya, sebagaimana diwajibkannya puasa bagi umat sebelumnya. Secara historis, yang melaksanakan kewajiban puasa pertama kali adalah umat nabi terdahulu, namun kewajiban itu terus berlanjut bahkan menjadi bagian dari syariat Nabi Muhammad Saw. Oleh karenanya, para ulama sepakat bahwa termasuk dari syariat kita adalah syariat umat nabi terdahulu yang diakui dalam Al-Qur’an sebagai komponen dari syariat Nabi Muhammad.

***

Ketiga, hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadis nabi, dijelaskan sebagai syariat umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan menjadi syariat untuk Nabi Muhammad dan umatnya, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh (hapus).

Terkait poin yang terakhir, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad, yaitu pendapat jumhur dari kalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian ulama kalangan mazhab Syafiiyah. Ada juga yang  mengatakan tidak menjadi bagian dari syariat umat Nabi Muhammad, yaitu pendapat rajih (unggul) mazhab Syafiiyah dan ulama Asy’ariyah.

Baca Juga  Cerahkah Masa Depan Fintech Syariah?

Dalil yang dijadikan pedoman oleh kelompok pertama adalah firman Allah Y dalam Al-Qur’an, yaitu:

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إلَيْكَ أَنِ اتّبِعْ مِلّةَ إبْرَاهِيمَ حَنيفاً

Artinya, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim yang lurus.’” (QS An-Nahl: 123)

Analogi yang disampaikan Syekh Zuhaili begini, syariat yang diturunkan kepada siapa pun merupakan syariat yang diturunkan Allah Y, dan juga tidak ditemukan ayat lain yang menghapusnya, sementara Allah menceritakan kepada umat Islam dalam firmannya, melalui lisan nabi-Nya maka ini menjadi dalil secara tersirat yang harus diikuti oleh umat Nabi Muhammad. Buktinya, Allah tidak akan menceritakan jika tidak ingin dijadikan syariat, atau setidaknya akan ada ayat lain yang akan menghapus makna ayat tersebut.

***

Sedangkan dalil yang dijadikan pedoman oleh kelompok kedua adalah firman Allah Y dalam Al-Qur’an, yaitu:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً

Artinya, “Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS Al-Ma’idah: 48)

Ayat ini memberikan pemahaman bahwa Allah Y menjadikan sebuah syariat tersendiri yang dibawa oleh masing-masing para nabi untuk umatnya, tentu setiap syariat yang dibawa oleh nabi yang berbeda akan menghapus syariat nabi sebelumnya, kecuali ada ketentuan khusus yang menjadikan syariat terdahulu sebagai bagian dari syariat umat nabi setelahnya, sebagaimana penjelasan pada poin kedua. (Syekh Zuhaili, al-Wajiz fi Ushulil Fiqih, 2018, h. 102-104).

Lebih lanjut, Syekh Zuhaili menilai bahwa yang lebih unggul dari kedua pendapat di atas adalah pendapat dari Jumhur ulama dan ulama mazhab Hanafiah serta sebagian kalangan Syafi’iyah yang menyatakan bahwa syar’u man qablana ini dinyatakan sebagai syariat kita.

Alasannya, syariat kita hanya membatalkan syariat orang terdahulu yang di anggap menyalahi syariat Islam saja. Oleh karena itu, syar’u man qablana yang di sebut dalam Al-Qur’an tanpa ada penegasan bahwa hukum itu telah di hapus maka syar’u man qablana itu kedudukannya berlaku bagi umat Nabi Muhammad.

Karena, syar’u man qablana yang di berlakukan hukumnya, pada hakikatnya adalah hukum Allah Swt di sampaikan oleh rasul kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang membatalkannya.

Sedangkan Al-Qur’an hadir untuk membenarkan hukum yang terdapat dalam Kitab Taurat, Zabur dan Injil maka selama tidak ada yang membatalkan, hukum yang terdapat pada ketiga kitab terdahulu itu berlaku juga untuk umat Nabi Muhammad.

Editor: Rozy

Sunnatullah
17 posts

About author
Santri dan pengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah Bangkalan
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *