Kehidupan Keagamaan di Pulau Sangkar
Kerinci, awal 1970-an. Para orang tua sedang menunggu datangnya waktu isya sambil mendengarkan kuliah bakda magrib di dua masjid desa kami. Aku dan beberapa teman sebaya tetap berada di rumah. Malam ini jadwal kami mengaji. Dengan arahan Cik Kuliah kakak perempuan tertuaku kami melantunkan nyanyian… “Baramulo namao nabi itu ado duo puluh limao. Nan partamao nabi Adam….”
Ketika Nabi Adam disebutkan maka serentak kami menunjuk ke teman yang adalah cucu Maktuo Mat Adam. Ketika nama Nabi Idris terdengar maka telunjuk kami mengarah ke teman yang memilik keluarga bernama Idris. Begitu seterusnya sampai habis nama dua puluh lima nabi. Kami dalam proses mengahapal nama para nabi. Kami sedang mengaji pada masa kecil. Kami mengaji dengan gembira.
Belajar Mengaji
Rumah adalah tempat pertama aku belajar mengaji. Kami mengaji dengan diterangi lampu semprong dan lampu togok. Guru ngajiku adalah Indok, ibuku sendiri. Ketika Indok berhalangan beliau diganti asistennya, kakak perempuanku. Upoak meskipun buya tetapi tidak terlibat dalam proses ini. Beliau lebih banyak membina jamaah di masjid.
Murid pengajian ini terutama anak dan cucu Indok. Murid lainnya adalah saudara sepupuku dekat maupun jauh. Lalu ikut bergabung tetangga kami. Sebagian dari murid mengaji adalah teman sekolahku. Ada teman satu kelas, ada kakak kelas, dan ada juga adik kelas. Sebagian murid laki-laki adalah teman bermainku juga. Maka lengkap sudah kedekatan kami: bersaudara, bertetangga, teman mengaji, teman sekolah, dam teman bermain.
Pelajaran utama pengajian kami adalah membaca al-Qur’an. Ini dimulai dengan “Alif di atas A, alif di bawah I, alif di depan U, Aa, Ii, Uu.” Targetnya adalah bisa membaca Al-Qur’an. Pelajaran lainnya gerakan dan bacaan shalat. Semuanya dalam bentuk hapalan. Belum ada pelajaran tentang arti dan makna bacaan shalat. Pelajaran lainnya menghapal nama dan mendengarkan kisah para nabi. Bagian dari ini adalah menghapal nama dua puluh lima nabi dengan cara menyanyi menyebutkan nama-nama Nabi dan menghubungkan nama itu dengan nama anggota keluarga dari para peserta pengajian kami. Kadang ada cerita dalam bentuk tek nandan atau cerita tentang dunia binatang dan tek kunun atau dongeng anak-anak khas Kerinci.
Selain Indok beberapa orang tua juga menjadi guru ngaji bagi anak, kemenakan, atau cucu mereka. Misalnya Datungzuw Hj Saiyah, Mamaknzuw Haji Azhari, Mamak Parimpun, Ngah Herman. Pengajian seperti ini menjadi arena berkumpulnya kembali para cucu yang sudah tinggal menyebar di rumah orang tua masing-masing. Sedangkan pengajian anak-anak dengan peserta lebih umum dan lebih banyak diselenggarakan antara lain di rumah Makbuh Haji Adnan untuk anak-anak perempuan dan di rumah Datungcik Daniyah untuk anak-anak laki-laki.
Ketika waktu mengaji, anak-anak memenuhi dua rumah yang berhadapan langsung dengan rumah kami itu. Sama dengan di rumahku, selain membaca Qur’an disini juga diajarkan tentang shalat, baik bacaan maupun gerakannya.
Tahsin, Qiraah, dan Honor Asisten
Untuk menjadi peserta pengajian ini tidak disyaratkan membayar sejumlah uang. Semua gratis. Sebagai penghargaan terhadap guru, sesekali para murid bergotong royong di ladang guru. Mamak Ilyas Tasir (2009), salah satu guru ngaji bercerita bagaimana sekitar 80 murid mengajinya berangkat ke ladangnya di Bukit Melgan.
Lokasi ladang ini cukup jauh dan melalui jalan mendaki yang terjal. Di sana para murid dengan gembira berama-ramai membersihkan gulma yang memenuhi ladang guru mereka. Lanjut Mamak Ilyas ”Senang kami membuat minuman cindor banyak saat itu. Karena banyaknya murid seakan tidak muat ladang kami itu. Pukul sebelas sudah balik ke dusun karena pekerjaan sudah selesai.”
Puncak kami belajar mengaji adalah mengaji pada Guru Umar. Pengajian ini berlangsung dari rumah ke rumah secara bergiliran. Pelajaran utama adalah tahsin dan qiraah. Untuk bisa menjadi murid beliau kami harus sudah lancar membaca Al-Qur’an. Di antara para murid beliau rasanya kemampuan mengajiku pada level atas. Aku pernah diminta membimbing murid yunior yang kemampuannya jauh di bawahku. Untuk itu aku diberi puluhan koin lima rupiah sebagai semacam honor untuk asisten.
Tetapi ketika masuk materi qiraah ternyata aku tidak berbakat. Guru Umar menjadikan ayat-ayat awal surat Al-Hijir sebagai master qiraah. Pada ayat-ayat ini aku bisa mengaji indah. Setidak-tidaknya begitu yang aku rasakan. Tetapi ketika berpindah ke lain surat qiraahku berantakan. Sehingga tidak mengherankan aku tidak pernah menang lomba qiraah dalam MTQ di desaku. Bakat seniku memang tipis-tipis saja.
Pengajian Ibu-ibu
Terkait seni ini di dusunku rasanya memang tidak ada kegiatan berkesenian untuk anak-anak. Mungkin pergaulanku kurang luas. Latihan bermusik atau menyanyikan lagu-lagu keagamaan tidak pernah aku alami. Bahkan rebana dan samroh baru aku kenal ketika mengikuti pengajian anak-anak di Masjid Nurul Huda Pengok Jogja. Rasanya aku memiliki minat dalam musik. Tetapi tidak ada alatnya di rumahku. Ini lebih karena keterbatasan ekonomi kelaurgaku.
Aku pernah membuat sendiri gitar dari kayu bersenar tali nilon. Lalu aku memainkannya tanpa notasi. Ketika belakangan belajar memainkan gitar sungguhan, aku hapal kunci pokok: A, C, D, F, E, D-minor, dan G. Akupun bisa memainkan beberapa lagu favoritku. Terutama lagu Tangan Tak Sampai dari Christin Panjaitan. Tetapi ternyata ini lebih karena hapalan. Kalau ada lagu baru perlu waktu yang lama untuk mencari notasi gitarnya. Memang bakat seniku tipis sekali.
Selain pengajian anak-anak Pada era 1970-an di dusunku juga ada pengajian ibu-ibu. Awalnya pengajian ini dilaksanakan setiap Jumat sore di Masjid Mujahidin. Pengajian berisi ceramah tentang ilmu tauhid, bacaan shalat, dan doa-doa. Pada era 1980-an pengajian ini mulai melembaga dalam bentuk Majelis Taklim.
Lembaga ini juga rutin mengumpulkan dana. Dana yang terkumpul digunakan untuk membangun rumah pemandian jenazah. Sebelumnya jenazah dimandikan langsung di tepi sungai. Sebagian dana juga digunakan untuk membeli keranda beserta perlengkapannya. Sebelumnya jenazah hanya diikatkan pada tiga lembar papan lalu dijunjung bersama menuju kuburan. Ngah Ha binti Azhari (2009) salah satu pengurus pengajian ini bercerita, “Kalau melewati jalan mendaki kadang-kadang mayat itu meluncur ke tanah.”
Pengajian ibu-ibu ini berlangsung meriah. Sebelum pengajian dibunyikan lagu-lagu keagamaan, meja-meja dihiasi dengan bunga-bunga, dan bapak-bapak diundang. Anggota tetap pengajian sampai 140 orang. Sebagian ibu membawa anak dan tikar yang dibentangkan untuk tempat mereka duduk. Ketika maulud nabi, dilaksanakan penyembelihan kambing. Makanan kecil dibawa ibu-ibu dari rumah untuk dikumpulkan dan dibagikan kembali ke jamaah.
Apalagi ada orang yang membayar nazar, seluruh kegiatan memakai nasi bungkus dan dengan acara yang lebih bagus. Nasi bungkus lalu dibagikan di masjid untuk dibawa pulang oleh para hadirin. Bahkan ada acara melagu juga. Penceramah diundang dari ibukota kabupaten. Untuk itu semua orang se dusun laki-laki dan perempuan libur sehari, tidak naik ke ladang atau turun ke sawah. Belakangan pengajian dilaksanakan di surau. Sehingga ibu-ibu muda lebih bebas membawa bayi-bayi mereka dan air kecil dan air besar para bayi tidak mengotori masjid.
Dua Masjid di Pulau Sangkar
Pada masa kecilku era 1970-an di Pulau Sangkar ada dua masjid. Dua masjid di Pulau Sangkar ini sekaligus mencerminkan perbedaan paham agama. Meskipun demikian masing-masing kelompok ini tidak memiliki organisasi resmi. Pertama, Masjid Istiqamah yang dikenal sebagai masjid kelompok Perti. Ciri utamanya salat tarawih 20 rakaat. Masjid ini terlatak di Dusun Lama yang hanya berjarak se pelemparan batu dari rumahku.
Kedua, Masjid Mujahidin yang menerapkan paham agama Muhammadiyah. Ciri utamanya salat tarawih delapan rakaat. Masjid ini berlokasi di Seberang sekitar empat ratus meter dari rumah kami. Untuk mencapainya harus melalui Jembatan Berayun. Bila waktu shalat magrib menjelang jembatan ini menjadi saksi pertemuan dua kelompok jamaah yang berbeda paham agama di dusunku. Jamaah Mujahidin yang tinggal di Dusun Lama dan jamaah Istiqamah yang berumah di Seberang bersilangan jalan di atasnya.
Masjid-masjid di dusun kami pada era 1970-an ini ramai dengan para jamaah. Masjid Mujahidin sebagai masjid terbesar sangat makmur. Salat diramaikan oleh lima shaf laki-laki dan perempuan. Jamaah salat shubuh tidak ada bedanya dengan jamaah shalat magrib dan isya. Ini karena setiap malam diselenggarakan ceramah agama oleh para buya yang yang mumpuni. Mereka adalah alumni pendidikan tertinggi pada masa itu, Thawalib Padang Panjang. Di antara mereka adalah Haji Abbas, Haji Zainuddin, Haji Azhari, Matya Upok Raw, dan Mat Yakin.
Mereka rutin memberi ceramah setiap malam pada jamaah di Pulau Sangkar secara bergiliran. Sedangkan aku ikut meramaikan Masjid Mujahidin sebagai jamaah cilik. Tugas khususku adalah memukul tabuh dan mengedarkan asbak. Setelah itu aku tertidur seiring berlangsungnya kuliah bakda maghrib. (Bersambung)
Editor: Nabhan