Akhlak

Pesan Agama adalah Persaudaraan, Bukan Permusuhan

5 Mins read

Adam dan Hawa

Pada mulanya adalah Adam dan Hawa. Mereka adalah bapak dan ibu kita semua yang pertama. Arti dari kesatuan keturunan ini sebenarnya sangat mendalam. Biologi dan arkeologi juga mengamini kesatuan keturunan ini.

Adam dan Hawa adalah nama-nama personal bagi individu tertentu dari masyarakat Homo sapiens di suatu waktu, di suatu tempat, di zaman dahulu. Bukan soal apakah Adam itu historis atau metafor belaka. Tapi, pesan persaudaraan kita selaku umat manusia, yang seharusnya menjadi perhatian utama.

Adam dan Hawa melahirkan banyak anak. Sebagai manusia, yang merupakan bagian dari kingdom animalia, anak-anak mereka pun tumbuh dengan membawa sifat yang khas. Alami saja jika anak-anak manusia itu bertengkar memperebutkan hal yang disukainya. Binatang akan menggebu mengincar apa yang ingin dimilikinya.

Tapi, meski alami, bukan berarti cuma itu saja yang alami dan merupakan bagian dari kemanusiaan anak-anak Adam. Akal dan kecerdasan kita juga bagian dari yang alami tersebut. Dan persaudaraan adalah panggilan dari akal yang cerdas itu.

Nasib Persaudaraan Kita

Meski begitu, akal yang cerdas tak selamanya mampu menguasai hasrat dan gaya hidup kita. Meski sudah dibekali akal, dan dibekali wejangan dari para pendahulu supaya kita hidup bersaudara; nyatanya keturunan Adam ini tak henti-hentinya mementaskan lakon konflik di antara mereka.

Bermacam-macam motif konflik tersebut. Habil dilibas oleh Qabil karena motif kecemburuan dan asmara. Hitler membumihanguskan banyak tanah air orang, karena motif rasa angkuh, dan juga rasa benci atas kelompok tertentu. Ada saja motifnya, sehingga pembunuhan itu tak bisa hilang dari lembar sejarah dunia.

Entah malaikat di atas sana itu, apakah masih bertanya-tanya mengapa Tuhan memilih Homo sapiens sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Konon, sebelum Adam sah menjadi khalifah itu, malaikat bertanya kepada Tuhan: Mengapa Engkau memilih dia, yang merupakan spesies dari golongan yang senang menumpahkan darah dan membuat bumi menjadi rusak?

Jawaban Tuhan sangat simpel dan bijaksana. Katanya: Aku mengetahui sesuatu tentang spesies ini, hal yang tidak kalian ketahui. Ada kesan bahwa Tuhan memihak kita. Tak peduli betapa berdarahnya tangan kita sepanjang sejarah, Tuhan tetap memilih Adam dan keturunannya untuk menjadi spesies yang memuncaki rantai makanan.

Baca Juga  Sering Sujud Tapi Masuk Neraka, Kok Bisa?

Biasanya para ulama menjelaskan kisah Adam yang termaktub baik dalam Bibel maupun Al-Qur’an ini dalam rangka menunjukkan keunggulan kita atas malaikat. Biasanya dikatakan bahwa karena ilmu kitalah, maka Tuhan memihak kita, dan tak peduli pada kekhawatiran malaikat. Indikasi ayat-ayat suci memang mengarah ke sana. Sebab, setelah Adam tercipta, Tuhan mengajarkannya sesuatu, sementara malaikat tidak mampu mempelajarinya.

Ada satu lagi alasan mengapa kisah ini harus menjadi bagian dari wahyu. Dan wahyu adalah salah satu sumber pengetahuan yang absah dan bisa diterima. Kisah Adam ingin menyampaikan kepada semua manusia bahwa kita semua memiliki asal usul yang sama.

***

Kita tercipta dari tanah (inna khalaqnakum min turabin), muncul dari ibu dan bapak yang sama (inna khalaqnakum min nafsin wahidatin). Tersebar ke berbagai penjuru dunia, berkembang dalam berbagai suku dan bangsa (wa ja’alnakum syu’uban wa qaba’ilan), hingga memiliki cara masing-masing dalam beragama (likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhajan).

Al-Qur’an menyatakan bahwa semua itu adalah fenomena yang wajar. Bahkan,  dikehendaki oleh Tuhan pencipta itu sendiri (wa law sya’a Allahu laja’alakum ummatan wahidatan). Namun, jangan sampai kita lupa, bahwa meski berbeda, pada dasarnya, dan pada asalnya kita semua bersaudara.

Kita semua adalah saudara meski agama dan suku bangsa kita berbeda. Antropologi membuktikan keragaman budaya dan keyakinan di kalangan manusia seluruh dunia. Biologi menjelaskan bahwa keragaman budaya dan keyakinan bukan berarti kita satu sama lain adalah makhluk asing, alien, dan berbeda sepenuhnya. Struktur biologis maupun neurologis kita adalah sama. Ukuran maupun kemampuan otak sapiens pertama adalah sama dengan sapiens modern.

Artinya, persaudaraan itu adalah fakta empiris yang terang dan jelas. Hanya saja, pernahkah Anda bertengkar bahkan sampai saling memaki dengan adik atau kakak Anda sendiri di rumah? Mungkin pernah.

Dan itu artinya, fakta bahwa kita saudara, tak berarti bahwa kita selamanya berkasih sayang, menolong, dan peduli. Adalah fakta bahwa Habil adalah saudara kandung Qabil. Dan adalah fakta juga bahwa Habil mati di tangan Qabil.

Agama adalah Pesan Persaudaraan

Kasih sayang, tolong-menolong, dan kepedulian itulah yang menjadi pesan-pesan agama. Begini ceritanya: Sangat mengerikan suasana ketika di suatu negeri, orang-orang kaya semakin kaya dan menindas mereka yang miskin, dan terhalangi dari sumber daya.

Baca Juga  Novel Maryam & Kambing dan Hujan: Cara Kita Beragama

Uang dikuasai sekelompok kecil manusia. Sementara mayoritas tak berdaya. Belum lagi kebejatan moral yang dipertontonkan tanpa malu, justru dengan bangga. Pembunuhan dianggap biasa, dan artinya nyawa tak lebih mulia dari harta dan tahta.

Hingga suatu ketika, seorang pertapa yang lama merenungkan itu semua, akhirnya tak bisa menolak jika langit memilih dia untuk membebaskan kaum tertindas. Orang itu pun turun gunung, membawa ajaran kasih sayang, dan berusaha membebaskan mereka yang mengalami ketidakadilan.

Bacalah kisah para pendiri agama-agama dunia, maka Anda akan temukan skenario yang sama yang melatari kedatangan mereka.

***

Maka jadilah mereka sebagai Nabi, Rasul, dan sebutan lainnya dalam tradisi keagamaan yang beragam itu. Dari sanalah agama bermula. Dari rasa peduli untuk mengingatkan umat manusia bahwa Tuhan yang maha kuasa tidak menciptakan kita untuk larut dalam kehidupan dunia. Hanya yang larut dalam hidup duniawi yang tega mengisap darah saudaranya sendiri, memiskinkannya, dan bahkan menyiksanya.

Siksaan atas Bilal, si budak hitam dari Habasyah, oleh Umayyah, adalah simbol dari penindasan manusia terhadap sesama saudaranya. Dan kesabaran Bilal juga adalah simbol bagaimana hamba Allah pasrah dan bersabar atas penderitaan duniawi. Sebab dunia memang adalah tempat menderita. Dan akhirat adalah tempat pertemuan dengan sang pencipta.

Agama yang dibawa para Nabi adalah jalan bagi kita untuk menuju tujuan hakiki. Islam menyebutnya Allah, yang maha benar, kebenaran itu sendiri, dan tak bisa dijangkau imajinasi duniawi.

Dialah pencipta, sekaligus tempat kembali kita. Itulah agama. Meski dekorasi agama seiring waktu dan zaman semakin meriah dan menggelora, namun spiritnya itulah yang tak boleh kita lupa.

Sekali saja kita lupa akan spirit agama sebagai jalan pembebasan, maka saat itulah kita mengulang kesalahan Qabil yang lupa akan wejangan bapaknya, dan akhirnya kita pun menjadikan agama untuk memperbesar lubang konflik dan peperangan. Inilah yang disebut Charles Kimball sebagai When Religion Becomes Evil, judul buku fenomenalnya pada tahun 2002.

Sudah Lama Spirit Agama Dilupakan

Tahukah Anda bahwa agama sudah pasti akan disalahgunakan oleh manusia? Mau manusia itu pemeluknya ataupun bukan. Jika bukan karena rasa khawatir bahwa agama akan dipakai untuk memecah belah dan mengamini kezaliman. Lalu, buat apa Nabi Muhammad Saw susah-susah untuk berwasiat kepada kita bahwa dia meninggalkan dua pusaka: Al-Qur’an dan sunahnya?

Baca Juga  Etika Seksual Islam: Nalar Kritis Terhadap Seks Bebas

Nabi ingin kita berpegang pada spirit agama, dalam hal ini Islam, yang memang termaktub dalam Al-Qur’an, dan terekam dalam perihidup Muhammad. Nah, spirit itulah yang berkali-kali kita sendiri khianati.

Tertipu oleh hasrat ingin menguasai kebenaran, kita menindas sesama, mulai dari sekadar narasi, hingga tindakan nyata menikam saudara sendiri. Akhirnya spirit itu pun terbungkus oleh ajaran-ajaran yang sebenarnya artifisial, bahkan sama sekali tidak sakral, yang justru dikira sebagai pesan dari langit.

Itulah mengapa Nabi meminta kita berpegang (dalam bahasa Arab: tamassaka) pada dua pusakanya. Apa artinya berpegang? Bayangkan Anda menyetir mobil, atau mengemudikan sepeda motor. Coba lepas pegangan tangan Anda dari setir dan kemudi.

Bukankah artinya dengan begitu Anda mencelakakan diri sendiri? Sebab, mobil yang berjalan, perlu dipegang kemudinya, tak dilepas selama perjalanan.

***

Bukankah hidup adalah perjalanan tanpa henti. Siapa yang bisa menghentikan hidup? Bahkan mati, bukan akhir dari hidup. Itulah mengapa Nabi mau supaya kita memegang erat-erat spirit agamanya, karena dengan itulah kita tidak akan mencelakakan diri sendiri.

Sayang seribu sayang, spirit itu terkubur, digantikan klaim-klaim kebenaran yang disodorkan masing-masing mazhab. Tak heran ada yang mengaku sebagai firqah najiyyah; kelompok yang akan diselamatkan Allah. Mereka menyebut golongan selainnya adalah firqah dhalalah; golongan yang sesat dan akan disiksa Allah.

Jika begitu adanya, maka selamat menyaksikan agama yang sudah lepas dari spiritnya. Ali Allawi dalam The Crisis of Islamic Civilization (2009) menyebutnya Islam yang sudah lepas dari porosnya. Allawi menyadari bahwa poros (axis) Islam adalah spirit ketuhanan dan kemanusiaan tersebut, yang panjang lebar kita bahas di atas.

Spirit ketuhanan membebaskan kita dari belenggu menuhankan sesama makhluk. Spirit kemanusiaan membebaskan kita dari kebodohan menindas sesama makhluk. Itulah poros Islam, dan poros agama pada umumnya.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds