Kebencian telah memporak-porandakan peradaban manusia. Ia mengkoyak kelompok paling dasar dari sebuah peradaban: keluarga. Karena kebencian, anak memicingkan mata pada ayahnya. Karena kebencian, suami memukul istri, istri menghina suami. Karena kebencian, kakak beradik beradu dalil: memperebutkan tanah warisan yang tak seberapa.
Kebencian telah mengalir begitu deras dalam darah kita. Ia mewarnai setiap tarikan nafas kita. Ia laksana Tuhan itu sendiri: lebih dekat dari urat nadi kita.
Kebencian adalah ideologi yang tak pernah diajarkan, tak pernah diwariskan secara sengaja. Namun, entah kenapa, ia begitu mendarah daging dalam peradaban manusia. Anak beranak. Menjadi banyak. Lebih banyak dari jumlah manusia yang berjalan di atas muka bumi itu sendiri. Layaknya udara: ia ada di mana-mana.
Kebencian adalah akar dari perceraian sanak saudara. Kebencian menjadi sebab anak-anak kehilangan kasih sayang orang tua. Kebencian membuat seorang kakek tua menangis, melihat kelakuan anak cucunya. Kebencian adalah virus. Ia berbahaya: lebih berbahaya dari seluruh virus yang pernah ada.
Kita membenci lantaran kita tak ingin mengalah. Padahal, mengalah adalah salah satu kunci yang membuat kita tak terkalahkan. Bagaimana kita bisa kalah kalau kita mengalah?
Kita membenci lantaran kita tak mau merendah. Padahal, merendah adalah salah satu kunci yang membuat kita tak bisa direndahkan. Bagaimana kita bisa direndahkan kalau kita telah merendahkan hati serendah-rendahnya?
Kebencian adalah anak kandung keangkuhan. Kita benci, lantaran kita tak mau menundukkan hati. Menundukkan diri. Menundukkan nafsu durjana yang menyelimuti diri. Kita membenci, lantaran mereka tak memuji diri ini yang -menurut kita- layak dipuji. Kita membenci, karena keangkuhan yang ada dalam diri.
Kebencian adalah wujud lain dari kesombongan. Merasa diri ini lebih baik dari yang lain. Merasa diri ini layak dipuji, layak dihargai, dan layak diikuti. Kita sering melihat orang lain sebagai orang yang lebih rendah dari kita. Lebih hina. Tak lebih baik. Tak lebih layak didengar. Kitalah yang paling benar: paling layak didengar.
Keangkuhan dan kesombongan adalah saudara kandung. Ibunya adalah kemelaratan jiwa. Kemelaratan jiwa membuat kita tidak mampu melihat kebaikan yang ada dalam diri orang lain. Kemelaratan jiwa membuat mata kita picik dari kelebihan orang lain. Kemelaratan jiwa membuat hati kita tak bisa mengerti, telinga kita tak bisa mendengar, dan mata kita gagal melihat.
Manusia paling mulia sepanjang peradaban, Muhammad SAW telah berpesan. Ia begitu gigih menolak kebencian. Kebencian yang berupa menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Muhammad bukan tak pernah khilaf. Ia pernah mengacuhkan seorang tuna netra. Muhammad mendahulukan pembesar Arab dan mengacuhkan si buta.
Namun, besar sekali konsekuensinya. Wahyu langsung turun. Ayat suci langsung berbunyi. Ia ditegur melalui surat ‘Abasa. Surat yang mengandung ideologi egalitarianisme. Ideologi kesetaraan. Bahwa seluruh manusia, apapun kondisinya, adalah sama di mata hukum, sama di mata Tuhan, dan seharusnya sama di mata kita semua. Yang mampu dan berhak membedakan adalah tingkat takwa. Dan otoritas yang menentukan takwa adalah Tuhan, bukan manusia. Bukan pula Muhammad.
Muhammad diturunkan untuk memerangi kebencian. Ia tidak memerangi kebencian dengan penuh kebencian. Ia memerangi kebencian dengan cinta. Rahmat. Kasih sayang. Ia mengasihi musuh-musuhnya, lawan politiknya. Kata kebencian telah hilang dari kamus dirinya.
Ia mengasihi para pembencinya. Ia mencintai para pendusta. Ia merangkul orang-orang durjana. Ia telah mati rasa untuk membenci. Hanya ada cinta dalam hatinya. Agamanya adalah agama cinta. Agama kasih sayang. Agama rahmat bagi semesta.
Ia rendah hati. Tak ingin dipuji. Tak ingin menang sendiri. Tak ingin didengar sendiri. Ia gunakan dua telinga untuk dua kali mendengar. Ia gunakan satu lisan hanya untuk sesekali bicara. Ia mendengarkan masukan dari orang lain. Ia mengakui kehebatan orang lain. Ia memuji sahabat-sahabatnya, tanpa pernah sekalipun memuji diri sendiri.
Ia memberi contoh. Manusia tak layak saling membenci. Kebencian adalah tanda keterbelakangan. Kebencian adalah tanda kemunduran. Kebencian adalah tanda kecacatan. Tanda hati yang sakit. Jiwa yang gersang.
Kebencian adalah ideologi. Ia melampaui sekat-sekat ideologi sosial politik. Ia ada di liberalisme sekaligus ada di komunisme. Ia melampaui sekat-sekat agama. Bahkan, kebencian adalah agama itu sendiri. Musuh dari agama Muhammad. Agama cinta.
Penganut ideologi kebencian haram hukumnya mendapatkan ketenangan hidup. Mereka bersenang-senang dengan kesenangan semu. Kesenangan yang gersang. Kesenangan yang ketika kita pulang ke rumah, kita menjadi linglung. Menjadi bingung karena sejatinya kesenangan itu sendiri tak sejati. Kesenangan itu ada di luar, tak bisa kita bawa masuk ke rumah kita. Ke kamar kita. Ke relung batin terdalam kita.
Kita senang ketika lampu bersinar terang. Berganti warna terus-menerus. Terang. Gemerlap cahaya. Namun, di dalam hati, hanya ada kegelapan. Linglung. Bingung. Tak tau arah. Tak ada tujuan. Tak punya genggaman yang kokoh. Karena, sejatinya kebencian itu rapuh. Serapuh buih di laut lepas. Terombang-ambing oleh gelombang. Gelombang terombang-ambing oleh angin. Angin terombang-ambing entah oleh siapa. Tak jelas. Buram. Bahkan gelap. Itulah kebencian.