Antara tahun 2018-2019, kurang lebih selama dua tahun, saya banyak menghabiskan waktu di perjalanan. Bekerja di Jakarta, keluarga tinggal di kota lain, menjadikan saya rutin melakukan perjalanan.
Kereta api merupakan moda transportasi yang sangat sering saya gunakan. Lama perjalanan yang belasan jam menjadikan saya sering menjalankan ibadah salat dengan rukhshah atau keringanan. Bisa jama’ qashar ketika ada waktu transit di stasiun, atau jika perjalanannya langsung dan tidak memungkinkan singgah di stasiun untuk menjalankan salat, maka saya menjalankan salat di dalam kendaraan.
Salat Berjamaah di Kereta Api
Suatu saat, dalam sebuah perjalanan dari Jakarta menuju Malang, saya menyaksikan sebuah peristiwa menarik. Kala itu gerbong kereta api yang saya tempati penuh dengan penumpang beratribut keagamaan. Pakaian yang dominan warna putih dilengkapi dengan penutup kepala, sorban, gamis, dan aneka atribut sejenis.
Saat itu memang bertepatan dengan sebuah peristiwa besar di Jakarta yang melibatkan berbagai kelompok berbasis pemahaman keagamaan tertentu. Rombongan ini, dugaan saya, dalam perjalanan pulang dari Jakarta usai mengikuti kegiatan tersebut.
Setelah kereta api berjalan beberapa jam, tiba-tiba suasana menjadi sedikit riuh. Apa yang sedang terjadi? Setelah mengikuti dengan seksama, segera saya memahami bahwa saat itu waktu salat isya baru saja masuk di wilayah yang dilewati kereta api.
Keriuhan itu bersumber dari penumpang-penumpang dengan atribut agama tadi itu. Rupanya, salah satu dari mereka mengajak rombongan itu salat berjamaah. Sebagian meresponnya dengan berjalan menuju toilet untuk mendapatkan air wudu, sebagian menanggapi ajakan itu dengan segera berdiri di tengah gerbong di antara dua sisi barisan kursi. Mereka membentuk barisan seperti mau melaksanakan salat jamaah, menghadap ke barat, padahal kereta api sedang berjalan menuju arah timur.
Sikap Terbelah Karena Beda Pilihan
Peristiwa yang kurang lebih sama terjadi lagi. Saat saya menjalani perjalanan akademis dan kultural di Kota Fez, Maroko, salah satu kegiatannya bertepatan dengan hari Jumat. Rombongan kami memang tidak semuanya Muslim, tetapi sebagian besar adalah Muslim.
Saat panitia menawarkan apakah nanti akan melaksanakan salat Jumat di masjid atau salat Zuhur yang dijamak dengan Asar di tempat yang memungkinkan nanti, sikap peserta segera terbelah. Ada yang mewajibkan dirinya untuk salat Jumat secara berjamaah di masjid.
Ada pula yang memilih opsi kedua, dengan alasan bahwa saat itu dalam perjalanan, dan tidak semua peserta adalah Muslim, sementara untuk melaksanakan salat Jumat di masjid juga memerlukan “usaha” cukup banyak.
Hukum Islam itu Fleksibel
Terhadap dua peristiwa ini, saya merefleksikan hal-hal dasar. Ketaatan mereka dalam beragama luar biasa. Tingkat ketaatan itulah yang menjadikan mereka menjalankan ibadah salat apapun keadaannya, termasuk di dalam gerbong kereta api yang tengah melaju kencang. Ini sangat mengesankan.
Tetapi, pada saat yang sama, saya merenungkan: Bukankah Islam adalah agama yang memiliki hukum fleksibel? Fleksibilitas hukum Islam itu diwujudkan antara lain dengan pemberian keringanan (rukhshah) bagi pemeluknya dalam keadaan tertentu. Maka untuk salat di perjalanan dengan kondisi seperti itu, bukankah sebaiknya dijalankan dengan rukhshah?
Meskipun pertanyaan atas peristiwa ini masih sering mengemuka dalam pikiran, tetapi segera saya menenangkan diri. Pemahaman dan orientasi keagamaan masing-masing individu dan kelompok mungkin berbeda. Tak terkecuali, perbedaan itu terjadi pada wilayah pemahaman tentang agama dan kemudahan. Maka dua peristiwa tadi pastilah cerminan dari perbedaan itu.
Falsafah Hukum Islam
Namun, terlepas dari perbedaan, saya ingin sedikit menyinggung tentang falsafah dasar hukum Islam. Ibadah dalam Islam secara umum terbagi ke dalam dua kategori besar, yaitu ibādah mahdlah atau ibādah khāshah dan ibādah ghairu mahdlah atau ibadah āmmah.
Kategori pertama merujuk kepada ibadah-ibadah yang ketentuannya sudah diatur secara rinci oleh sumber-sumber ajaran Islam, seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Sementara kategori kedua merujuk kepada semua amal perbuatan baik manusia yang membawa manfaat pada diri sendiri maupun orang lain.
Kepastian ibadah khusus itu menyangkut beberapa aspek, misalnya, waktu. Salat, puasa, haji, adalah ibadah yang memiliki ketentuan waktu khusus. Ini bersifat pasti atau qath’iy. Mari ambil salat sebagai contoh. “Sesungguhnya salat adalah ibadah bagi orang-orang beriman yang sudah ditentukan waktunya.”
Demikian penegasan Al-Qur’an dalam QS. Al-Nisa ayat 103. Secara prinsipil, ini tidak boleh dilanggar. Namun, dalam keadaan tertentu terdapat pengecualian. Salat wajib adalah lima waktu. Dalam keadaan normal, Muslim wajib menjalankannya secara penuh.
Akan tetapi, prinsip kemudahan dalam ajaran Islam, telah menggariskan hukum dalam keadaan khusus. Dalam kondisi seorang Muslim adalah musafir (bepergian), maka ada rukhshah berupa jama’ (mengumpulkan dua waktu salat dalam satu waktu), dan qashar (meringkas jumlah rakaat salat).
Prinsip dan contoh di atas menggariskan sebuah penegasan bahwa Islam adalah agama yang tidak membebani pengikutnya dengan beban di luar kemampuan mereka. Al-Qur’an menyebutkan hal ini dalam Surah al-Hajj ayat 78: “…dan Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali yang sesuai dengan takaran kemampuannya.”
Masih dalam QS. Al-Baqarah di ayat yang berbeda, Allah juga menegaskan tentang tujuan hukum Islam diturunkan. “Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran.”
Penelusuran lebih jauh akan mendapatkan jumlah ayat yang lebih banyak berkaitan dengan kemudahan ini. Dari sinilah lalu para ahli hukum Islam merumuskan aneka ragam teori untuk menunjukkan fakta tentang Islam sebagai agama kemudahan itu.
Dalam falsafah hukum Islam, kemudahan dalam menjalankan agama ini disebut taysir. Di antara banyak bukti kemudahan dalam hukum Islam itu adalah: prinsip al-tadrīj fi al-tasyrī’, adamul kharaj, dan qillatu al-taklīf.
Tiga Prinsip Kemudahan
Prinsip pertama, al-tadrīj fi al-tasyrī, secara kebahasaan bermakna berangsur-angsur dalam penetapan hukum. Prinsip ini berkaitan dengan sejarah pembentukan hukum Islam. Sebagai agama yang datang di tengah masyarakat yang telah memiliki kepercayaan, pandangan dan praktik tersendiri, maka proses-proses penetapan hukum oleh musyarri’ (Allah dan Nabi Muhammad) tidak bersifat frontal dan revolusioner. Sebaliknya, bersifat berangsur-angsur dan persuasif.
Contoh paling populer yang sering dihadirkan para sarjana hukum Islam adalah berkaitan dengan pengharaman khamr (minuman keras). Status khamr sebagai minuman haram yang kita kenal pada hari ini bukanlah hukum yang tiba-tiba jadi. Karena khamr merupakan bagian dari praktik dan gaya hidup masyarakat Arab pra-Islam, maka diperlukan tiga tahapan agar hukum haramnya khamr itu bisa diterima oleh masyarakat.
Pada tahap paling awal adalah informasi tentang hakikat khamr. QS. Al-Baqarah ayat 219 menyebutkan: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.”
Tidak ada kalimat yang menunjukkan pelarangan pada ayat di atas. Tetapi informasi yang disampaikan merupakan hal penting di tengah situasi ketika, secara sosiologis, kedua hal di atas dianggap biasa. Maka menyatakan ada dosa besar dan manfaat, sementara dosanya lebih besar daripada manfaatnya, adalah sebuah informasi persuasif. Dengan itu, diharapkan masyarakat akan berfikir ulang jika melakoni kedua praktik itu.
***
Setelah informasi tentang khamr itu mapan di tengah masyarakat, dan mereka mulai memahami unsur positif dan negatif di dalamnya; maka tahapan kedua kemudian dijalankan. Yakni informasi tentang konsekuensi hukum bagi peminum khamr. Artinya, khamr belum lagi menjadi hal yang diharamkan. Tetapi, ada konsekuensi hukum formal yang harus ditanggung oleh mereka yang meminumnya.
QS. An-Nisa ayat 43: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat sementara kalian dalam keadaan mabuk, sehingga mereka mengerti apa yang kamu ucapkan.”
Sekali lagi, belum ada pengharaman di sini, tetapi pada tahap ini, konsekuensi hukum telah diperkenalkan.
Baru pada tahap ketiga, penegasan keharaman itu ada. Dalam QS. Al-Maidah ayat 90, pelarangan tegas terhadap khamr itu dinyatakan. “Hai orang- orang yang beriman, sesungguhnya minum khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Karena itu, jauhilah perbuatan- perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
***
Prinsip kedua, yakni adamul kharaj bermakna meniadakan kesukaran. Sebagaimana disebutkan di atas, sejumlah ayat Al-Qur’an menyebutkan tentang adanya kemudahan bagi umat Islam dalam menjalankan agama.
Dikisahkan, Amr bin Ash menyertai sebuah pertempuran yang panjang. Sementara saat itu, udara sangat dingin. Suatu malam, ia mengalami mimpi basah. Karena kondisi cuaca, ia memutuskan untuk tidak mandi janabah. Melainkan, bertayamum dan mengikuti salat jamaah bersama para sahabat yang lain.
Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah, maka bertanyalah Rasul kepada Amr, “Hai Amr, apakah kamu salat Subuh sedangkan kamu dalam keadaan junub?” Amr menjawab, “Betul, wahai Baginda Nabi. Aku takut akan mencelakai diriku sendiri jika aku mandi.” Menjawab demikian itu, Amr sembari mengutip Surah an-Nisa ayat 29: “Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Mendengar jawaban Amr, Rasulullah tersenyum dan tidak berkata-kata lagi. Diamnya Rasul atas sebuah jawaban, dalam kaidah ilmu hadis sering disebut sebagai taqrīr atau keputusan dan persetujuan Nabi Muhammad atas sebuah persoalan.
Kemudahan (taysir) ini tentu saja tidak terjadi secara tiba-tiba. Contoh peristiwa dalam perjalanan atau kisah Amr di atas disatukan oleh satu konteks yaitu al-masyaqqah (kesulitan atau kesukaran). Maka kemudahan dan kesukaran ini diikat oleh satu kaidah yang menggariskan hukum kausalitas. Yakni al-masyaqqah tajlību al-taysir bahwa kesukaran bisa menyebabkan timbulnya kemudahan atau dispensasi.
***
Prinsip ketiga adalah qillatu al-taklīf atau menyedikitkan beban. Secara kebahasaan, taklīf berarti beban. Sementara secara secara istilah, taklīf bermakna perintah Allah yang di dalamnya terdapat unsur bebas.
Misalnya, Ali al-Syawkani (1250 H) mendefinisikan taklif sebagai: perintah Allah yang terdapat di dalamnya sebuah beban untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Di mana, perintah ini diturunkan melalui konsep hukum syar’i yang didefinisikan sebagai khithab (doktrin) dari syāri’ (Allah) yang terkait dengan perbuatan manusia (mukallaf). Apakah berupa tuntutan (perintah dan larangan) ataupun pilihan (takhyir).”
Tentang hal ini, QS. Al-Maidah ayat 101, menyebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur’an diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
Dengan demikian, mesti dipahami bahwa Islam memberikan kemudahan kepada umatnya agar halangan-halangan yang mereka alami, tidak menjadikan mereka lupa kan kewajiban.
Jika agama sudah memberikan kemudahan, maka mengambil kemudahan itu merupakan bentuk penghargaan umat Islam pada agamanya sendiri. Apa yang sudah dimudahkan oleh agama, janganlah dipersulit sendiri.
Namun demikian, jangan pula terlalu menganggap enteng agama; karena sikap seperti itu akan menjadi salah satu sebab lenyapnya agama dari kehidupan manusia.
*Artikel ini diproduksi atas kerjasama antara IBTimes dan INFID dalam program Kampanye Narasi Islam Moderat kepada Generasi Milenial.
Editor: Yahya FR