Tafsir

Agama itu untuk Manusia, Bukan Tuhan!

4 Mins read

Agama Islam yang kita imani berasal dari Allah SWT yang disampaikan melalui lisan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Allah SWT tidak menyampaikan langsung firmannya kepada Nabi Muhammad SAW, namun melalui perantara Malaikat Jibril. Firman yang disampaikan Nabi Muhammad SAW kemudian dihafal oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.

Pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, Al-Qur’an masih terpelihara dengan baik dalam memori para sahabat penghafal Al-Qur’an. Sampai banyak diantara mereka yang gugur dalam peperangan. Hal ini membuat ada kekhawatiran hilangnya Al-Qur’an dan memunculkan sebuah ide untuk menulis dan membukukan Al-Qur’an dalam sebuah mushaf.

Pada awalnya Abu Bakar menolak ide ini karena tidak pernah diperintahkan dan dicontohkan Nabi. Namun Umar berhasil meyakinkan Abu Bakar bahwa gagasan ini adalah sebuah kebaikan. Dimulailah kemudian proyek pembukuan Al-Qur’an. Para penulis Al-Qur’an mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang tercecer dan berserakan. Ada yang di pelepah kurma, tulang binatang, dll. Proyek ini selesai pada masa Usman bin Affan menjadi khalifah.

Pembukuan hadis dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Setelahnya, para ulama yang ahli di bidang ini mengeluarkan banyak kitab yang berisi hadis-hadis Rasulullah SAW. Yang paling terkenal adalah Imam Bukhari dan Muslim. Selain itu ada Abu Daud, At Tirmidziy, An Nasa’i dan Ibnu Majah. Keenam kitab hadis dari para ulama tersebut dikenal dengan Al Kutub As Sittah.

Al-Qur’an dan hadis kemudian menjadi sumber utama ajaran Islam. Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT, dan hadis adalah rekaman kehidupan Nabi baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan yang senantiasa berada dalam bimbingan Allah SWT. Dua peninggalan Nabi ini menjadi sumber paling otoritatif bagi umat Islam.

Baca Juga  Ayat-ayat Pancasila dalam al-Quran
***

Hal ini diterangkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi Muhammad SAW meninggalkan untuk umatnya dua hal, yang jika berpegang teguh pada dua hal ini maka kita tidak akan tersesat selamanya. Kedua hal tersebut adalah Al-Qur’an dan sunah. Dalam versi syiah, dual hal tersebut bukanlah Al-Qur’an dan sunah Nabi, namun Al-Qur’an dan ahlul bait Nabi Muhammad SAW.

Al-Qur’an dan sunah adalah sumber paling otoritatif dalam ajaran Islam. Terutama Al-Qur’an yang merupakan firman Allah SWT. Hadis walaupun derajatnya di bawah Al-Qur’an, namun mempunyai fungsi penting dalam menjelaskan Al-Qur’an. Bahkan dalam beberapa kasus hadis bisa menjadi sumber hukum tersendiri bagi persoalan yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an.

Tidak akan ada perdebatan jika kita membahas dari mana Islam berasal. Kita akan menjawab asalnya dari Allah SWT. Wujud konkretnya bisa kita lihat dalam bentuk mushaf Al-Qur’an dan kitab-kitab hadis. Namun pertanyaan yang menarik untuk didiskusikan adalah untuk kepentingan siapa ajaran agama itu?

Dalam QS. Al Baqarah: 34 Allah SWT berfirman, “Kami mengatakan kepada Adam dan Hawa: turunlah kalian dari surga semuanya, kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka tak akan lagi ada ketakutan atas mereka dan juga kesedihan.”

Saat Adam dan Hawa diturunkan ke dunia dari surga, Allah SWT sudah mengabarkan tentang adanya petunjuk bagi Adam dan Hawa. Petunjuk tersebut yang akan membuat Adam dan keturunannya tidak takut dan tidak bersedih. Yang dimaksud dengan petunjuk tersebut adalah kitab-kitab Allah, dimana yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur’an. Dari ayat tersebut kita paham bahwa agama yang diturunkan Allah SWT adalah untuk kepentingan manusia. Agar manusia tidak mengalami ketakutan dan kesedihan dalam hidupnya.

Baca Juga  Nikah Bukan Solusi Menjadi Kaya!
***

Ulama tarjih Muhammadiyah merumuskan bahwa tujuan dari syariat adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat (lishilahil ibaadi dunyaahum wa ukhraahum). Para ulama juga merumuskan sebuah konsep yang disebut dengan maqashid syariah atau tujuan-tujuan dari syariah. Imam Al Ghazali merumuskan tujuan primer syariah menjadi lima hal: menjaga agama, menjaga akal, menjaga jiwa, menjaga keturunan, dan menjaga harta. Konsep maqashid syariah terus dikembangkan oleh ulama-ulama setelahnya.

Agama sekali lagi ada untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Tuhan adalah Zat yang Maha Segalanya. Dia tak butuh disembah oleh ciptaanNya, manusia yang membutuhkanNya. Ibadah yang dilakukan menusia kepada Tuhan hakikatnya kembali lagi balasannya untuk manusia sendiri. Allah SWT tidak akan kehilangan kemuliaan hanya karena seluruh ciptaannya kufur kepadaNya.

Dalam QS. Luqman: 12 Allah SWT berfirman: “Barang siapa yang bersyukur kepada Allah SWT, maka sesungguhnya dia hanya bersyukur kepada dirinya sendiri. Barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Allah SWT Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

***

Implikasi dari pemahaman ini, ajaran agama yang benar adalah ajaran agama yang menghargai kemanusiaan. Abraham Lincoln merumuskan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kita bisa merumuskan bahwa ajaran Islam adalah dari Allah SWT, untuk manusia dan oleh manusia.

Dalam QS. Al Isra: 70 Allah SWT telah menyatakan bahwa Dia telah memuliakan anak keturunan Adam. Dalam QS. Al Maidah: 32 Allah SWT berfirman bahwa barang siapa yang membunuh satu nyawa bukan karena dia membunuh dan bukan karena berbuat kerusakan, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia. Barang siapa yang menghidupkan satu nyawa maka seakan-akan dia telah menghidupkan seluruh manusia.

Baca Juga  Al-Qur’an dari Sudut Tilawah dan Musik Religi

Hari ini kita dihadapkan pada situasi di mana keselamatan manusia terancam oleh makhluk yang bernama virus Covid-19. Dalam rangka menjaga keselamatan bersama, dengan terpaksa banyak aktifitas dihentikan. Diantaranya adalah kegiatan belajar dan mengajar di sekolah, bekerja di kantor, dan beribadah di tempat ibadah. Yang cukup menimbulkan polemik sampai hari ini adalah soal pembatasan tempat ibadah.

Fatwa Muhammadiyah Terkait Shalat Ied di Rumah; untuk Kepentingan Manusia!

Fatwa terbaru dari PP. Muhammadiyah adalah meniadakan salat Id di lapangan dan menggantinya dengan salat di rumah atau tidak sama sekali. Jika kita melihat fatwa ini dari perspektif bahwa agama adalah untuk kemaslahatan manusia, maka tidak ada yang perlu dipersoalkan.

Sayangnya masih banyak diantara kita yang mempunyai perspektif bahwa agama adalah untuk kepentingan Tuhan. Perspektif ini senantiasa mempersoalkan upaya-upaya menjaga keselamatan manusia yang terpaksa mengorbankan ibadah ritual untuk sementara.

Sudah banyak tulisan yang membahas terkait dengan polemik ini secara lebih rinci. Saya tidak akan membahasnya lagi. Namun saya ingin mengajak untuk menggunakan perspektif agama dari Tuhan untuk manusia agar bisa lebih memahami fatwa-fatwa terkait keselamatan Covid-19, serta bisa lebih tenang dalam menjalaninya.

Editor: Yahya FR
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds