Perspektif

Jangan Menjadi Manusia Kelima

2 Mins read

Sejak kecil, saya sering mendengar sebuah maqalah (peribahasa Arab) dari bapak. Saking seringnya sampai saya hafal. Maqalah itu berbunyi begini: Kun ‘aliman aw muta’alliman aw mustami’an aw muhibban wa la takun khamisan. Artinya: Jadilah engkau seorang alim atau seorang murid atau seorang pendengar atau seorang penyuka; jangan menjadi orang kelima.

Maksudnya adalah jika kita bukanlah seorang alim atau ilmuan, hendaklah kita sadar diri untuk menjadi seorang murid yang menuntut ilmu. Menjadi seorang murid tentu saja menuntut banyak hal, waktu, pikiran, tenaga, juga biaya. Jika karena suatu halangan tertentu, kita tidak bisa menjadi seorang murid, kita bisa menjadi pendengar pasif dalam majelis-majelis keilmuan.

Jika menjadi pendengar pasif pun tidak bisa, setidaknya jangan sampai kita menjadi pembenci ilmu karena hal ini akan membuat kita menjadi manusia kelima. Manusia kelima adalah sebodoh-bodohnya manusia karena alim enggak, mencari ilmu enggak, mendengarkan orang alim menjelaskan ilmu enggak, menyukai ilmu pun enggak.

Selepas madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar, saya dikirim ke pesantren. Ketika di pesantren, saya baru menyadari ternyata maqalah itu adalah maqalah yang sangat terkenal di kalangan para santri. Maqalah itu sering diucapkan kiai maupun santri-santri senior (biasanya juga menjadi ustaz yang membantu kiai mengajar para santri pemula) untuk memotivasi para santri lain. Bagi kalangan santri, maqalah berbahasa Arab yang diucapkan kiainya seperti sebuah sabda suci.

***

Jelas bahwa tidak semua santri di pesantren adalah anak-anak pintar yang sanggup mengikuti semua mata pelajaran di sana. Pelajaran pesantren terentang sangat panjang mulai ilmu gramatika Arab, fikih, tafsir hingga tasawuf, dengan kitab-kitab yang seluruhnya berbahasa Arab dan bertulis huruf Arab. Tapi motivasi yang keluar dari lisan kiai itu telah membentuk mental baja kaum santri. Sabda itu akan menjaga seorang santri untuk tidak pernah menjadi manusia kelima.

Baca Juga  Cara Menahan Marah dalam Islam

Herankah jika kita menemukan seorang santri menjadi presiden, wakil presiden, menteri, profesor doktor di berbagai bidang keilmuan, pengusaha tangguh, jurnalis handal hingga pimpinan informal di masyarakat-masyarakat bawah? Jika orang mengerti kultur santri, orang itu tak akan heran. Mental cinta terhadap ilmu telah ditanam sejak awal. Mental itu hanya memerlukan kesempatan untuk menjadikan seorang santri melaju ke manapun yang mereka mau.

Ketika kesempatan pendidikan itu dibuka, dan mereka memasuki pendidikan modern itu, mereka akan berjuang dan bersaing dengan kuat. Mungkin di awal mereka akan tertatih-tatih. Tapi bagi santri, itu hanya soal waktu. Hasilnya? Lihatlah kini, di mana ada sebuah profesi yang tidak ada santri tangguh di dalamnya?

Selama ini banyak stigma negatif yang disematkan kepada kaum santri. Bahkan, istilah “kaum sarungan” semula digunakan untuk merendahkan kaum santri ini. Ejekan itu kemudian dibalik oleh kaum santri menjadi kebanggaan. Di setiap peringatan Hari Santri Nasional (HSN), mereka sengaja upacara dengan bersarung.

Sarung, pakaian khas kaum santri, sama sekali bukan alat ukur tentang kualitas seseorang. Karena, yang terpenting adalah apa yang ada di dalamnya.

Editor: Yahya FR

Ahmad Zainul Hamdi
27 posts

About author
Pimpinan Umum Arrahim.id; Direktur Moderate Muslim Institute; Senior Advisor Jaringan GUSDURian Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI
Articles
Related posts
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…
Perspektif

Begini Kira-Kira Jika Buya Hamka Berbicara tentang Bola

3 Mins read
Kita harus menang! Tetapi di manakah letak kemenangan itu? Yaitu di balik perjuangan dan kepayahan. Di balik keringat, darah, dan air mata….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *