Di Masjidil Haram jemaah haji dan umrah bertemu dengan Ka’bah, yang menjadi pusat gravitasi ibadah salat umat Muslim di seluruh dunia, Baitullah. Di Ka’bah inilah orang melakukan tawaf.
Bertamu di Baitullah
Bertamu di Baitullah itu ada dua makna. Pertama dengan raga-badaniyah, kedua dengan rasa-ruhaniyah. Secara raga, kita bertamu di Ka’bah dalam kompleks Masjidil Haram. Bagi orang yang tak ada iman dalam hatinya, akan kecewa. Ternyata di Ka’bah yang katanya “Rumah Allah” tidak bertemu dengan Allah Swt.
Ka’bah hanyalah bangunan yang terbuat dari batu-batu kasar berwarna hitam yang disusun dengan pola yang sangat sederhana. Ka’bah, bangunan suci itu berbentuk kubus berukuran 12 x 10 x 15 meter. Berdasarkan penelitian Jerald F. Dirks, Ka’bah dibangun saat Nabi Ibrahim berusia kira-kira 108 atau 137 tahun, antara tahun 2070 hingga 2099 SM. Selesai membangun, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail pun tidak memberikan nama. Karena bentuknya seperti kubus (persegi empat), alam pikiran dan tradisi bangsa Arab menyebutnya dengan istilah “Ka’bah” (bangunan persegi empat). Celah-celahnya diisi dengan kapur putih. Tak ada apa-apa isinya. Hanya ruang kosong berbentuk segi empat. Ka’bah sangat sederhana. Ka’bah tidak mencerminkan kecanggihan arsitektur, seni keindahan, tak ada kuburan, alias kosong (Syariati, 2008: 49-51).
Mengapa rumah Allah, itu berbentuk bangunan kubus yang kosong? Bentuk Ka’bah yang sederhana disebut sebagai penolakan total semua keindahan garis dan bentuk. Keindahan dan kemuliaan hanya milik Allah (Muhammad Asad, 2014).
Jawabannya Ka’bah hanyalah arah. Ka’bah tidak punya arah, karena berbentuk kubus. Ketidakberarahan Ka’bah sulit dipahami. Namun dengan kondisi itu, berlakulah universalitas dan kemutlakan bentuk Ka’bah. Dalam Al-Quran dinyatakan, “Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 115). Itulah kenapa dimanapun shalat kita harus menghadap Ka’bah. Bangunan selain Ka’bah pasti menghadap ke arah timur, barat, selatan, utara, atas atau bawah. Ka’bah adalah pengecualian, menghadap ke segala arah, tepi tidak menghadap apapun. Sebagai medan magnet ibadah umat muslim sedunia, Ka’bah mempunyai banyak arah, tetapi tidak mempunyai arah tertentu.
Secara syariat, Ka’bah adalah rumah Allah di Mekkah. Hal ini sebagaimana dalam QS Ali ‘Imran Ayat 96, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” Secara hakikat, Baitullah yang sejati ada di setiap hati manusia.
Dalam hadis Qudsi dikatakan qalbunya orang beriman itulah “Rumah Allah”.
“Qalbul mukmin Baitullah.”
“Qalbu orang yang beriman itu adalah rumah ALLAH.”
“Tidak dapat memuat dzat-Ku bumi dan langit-Ku, kecuali “Hati” hamba-Ku yang mukmin, lunak dan tenang“ (HR. Abu Dawud).
Jadi, Ka’bah adalah Rumah Allah di muka bumi, sedangkan ‘Qalbu’ pada hakekatnya adalah rumah Allah dalam diri manusia. Hal ini dijelaskan oleh Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa Asy-Sya’rani Al-Anshari Asy-Syafi’i Asy-Syadzili Al-Mishri atau Imam Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dalam kitabnya Al-Fathul Mubin (laduni, 2022).
Bertamu di rumah Allah secara syariat adalah di Ka’bah di Makkah Al-Mukarramah, adapun secara spiritual di hati kaum beriman. Ka’bah, Baitul Atiq (Rumah Tua) di Makkah (Bakkah, tempat tersembunyi) sejatinya adalah di rumah qalbu. Di sini Ka’bah hanya simbol. Hanya arah-kiblat peribadatan umat Islam. Jadi menemui Allah di Ka’bah yang sebenarnya dan rasakan kehadirannya dengan di hati kita. Agar kita bisa bertemu Allah secara hakikat, maka ketika tawaf di Ka’bah kita rasakan kehadiran-Nya melalui mata hati kita.
Editor: Soleh