Ahmad Badawi merupakan putra Kauman Yogyakarta yang masih keturunan Panembahan Senopati ini pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (1968) sebagai Penasehat Presiden Bidang Agama Islam.
Pada masa awal Kemerdekaan RI, beliau terlibat dalam pergerakan politik perjuangan bangsa. Beliau bergabung dalam Angkatan Perang Sabil (APS), beroperasi di daerah Sanden, Bantul, Tegalayang, Bleberan, Kulonprogo.
Pada tahun 1947 beliau diangkat sebagai Imam III APS. Beliau pernah menjadi
anggota Lasykar Rakyat Mataram dan bergabung dengan Batalyon Pati dan Resimen Wirata MPP Gedongan. Politik dan agama menjadi dua hal yang tak bisa dilepaskan dari sosok KH Ahmad Badawi.
Dalam sebuah pidato di Peneleh Surabaya (1958), KH Ahmad Badawi mengatakan, perkembangan dunia sekarang yang menjadi perhatian masyarakat adalah mengenai soal kebendaan/keduniaan/baik yang berupa politik, ekonomi, sosial maupun aliran-aliran yang tampaknya merupakan aliran keagamaan, sesuai dengan apa yang tersebut dalam Al-Qur’an surat Al-Hadid: 20. Kesibukan para tokoh, pemimpin, guru-guru dan lain-lain dalam lapangan mereka masing-masing.
banyak yang ditujukan untuk kehidupan di dunia semata-mata. Akibatnya, menimbulkan perebutan kedudukan, yang semula untuk memperjuangkan ideologi untuk kepentingan masyarakat.
***
Tetapi setelah mendapatkan kedudukan, yang tampak dalam penglihatan kita justru mereka itulah yang bahagia, rakyat tetap menderita. Mereka lupa dan lengah dari tujuan semula.
Kedudukan yang mestinya hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan, menjadi tujuan utama, sedang tujuan yang sesungguhnya dilupakan, sampai berani untuk korupsi, menipu, menerima suap dianggap hal yang biasa.
Para guru yang semestinya sebagai pendidik masyarakat, sudah terbalik hanya menjadi penjual ilmu. Pendidikan yang sesungguhnya sudah kosong sama sekali, sampai para penulis pun hampir semuanya sudah ditujukan untuk mencari honorarium atau sebagai perusahaan kalau karyanya diterbitkan.
Para pelajar dan siswa, dalam memilih sekolahan yang dipandang adalah yang paling mudah untuk mendapatkan pekerjaan dan banyak hasilnya, bukan untuk dimanfaatkan kepada masyarakat, tetapi semata-mata hanya untuk mata pencaharian seorang sendiri.
Madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren yang tidak mempunyai dasar PGP hampir tidak laku. Ahmad Badawi mengawali karier politik bergabung dengan Partai Masyumi. Pada 1950, ia menjadi Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta.
Tidak banyak peran penting bias dimainkan karena partai ini keburu dibubarkan.
Selanjutnya, Kiai Badawi memfokuskan diri untuk bereaktivitas dakwah di persyarikatan Muhammadiyah, menjadi guru di madrasah milik Muhammadiyah.
Sikap istiqamahnya di bidang tabligh membuatnya diberi amanah sebagai Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah (1933). Seiring waktu berjalan, amanah yang
diberikan kepadanya terus bertambah.
Kiprahnya di Muhammadiyah membuat Ahmad Badawi diberi amanah untuk
duduk dalam kepemimpinan puncak Muhammadiyah hingga menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962- 1968. Pada periode 1969-1971, Kiai Badawi menjadi penasehat PP Muhammadiyah.
Ahmad Badawi dan Muhammadiyah
Pada masa kepemimpinannya, Muhammadiyah agak tersendat antara lain karena tidak sedikit anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota Masyumi. Saat itu, Muhammadiyah menjadi bidikan Pemerintah Orde Lama.
Hal ini dipengaruhi oleh gosokan-gosokan PKI yang membuat isu bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang anti-Pancasila, anti-Nasakom, dan
pewaris DI/TII merupakan batu sandungan keinginan PKI. PKI selalu memusuhi Islam dan sering menohok dari belakang.
Menyikapi kondisi yang genting ini yang diprediksi akan membahayakan pergerakan Muhammadiyah, maka pimpinan Muhammadiyah berusaha keras mendekati Bung Karno.
Alhamdulillah, usaha ini berhasil antara lain dengan diangkatnya Kiyai Badawi sebagai penasehat Bung Karno. Kedekatan beliau dan Muhammadiyah dengan Bung Karno ini merupakan penyeimbang kekuatan politik saat itu.
Pada masa pemerintahan Bung Karno ada tiga partai besar yakni Partai Nasional Indonesia, Nahdhatul ‘Ulama, dan Partai Komunis Indonesia. Beliau tidak hanya membela Muhammadiyah tetapi juga berjuang untuk umat dan organisasi Islam lainnya.
Beliau berhasil meyakinkan Bung Karno untuk tidak membubarkan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam. Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta, antara lain memutuskan masalah Kepribadian Muhammadiyah dan penepatan amal usaha Muhammadiyah. Menurut Kiai Badawi, apabila Muhammadiyan ini kita lancarkan menurut kepribadiannya, seperti juga dimasa yang sudah-sudah adalah merealisir prinsip-prinsip membangun dan memajukan dalam bidang spirituil dan materiil.
***
Muhammadiyah dengan sungguhsungguh berusaha terwujudnya kepercayaan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa, tanpa memusyrikkan kepada sesuatu.
Muhammadiyah berusaha terlaksananya kebangsaan yang satu, yang bulat dan kompak tanpa memandang rendah antara satu
suku dengan suku lainnya. Menurut firman Allah, suku-suku dan bangsa-bangsa itu disisi Allah adalah sama dan sederajat, hanya takwa kepada Allah jualah yang menjadi ukuran. Itulah arti Muhammadiyah memperbanyak kawan dan tidak mencari lawan.
Muhammadiyah dengan ajaran Islam yang murni membina peri kemanusiaan yang luhur, saling menghargai, tolong menolong, gotong royong, memikirkan si yatim, memperhatikan yang miskin dan lemah, menolong yang sengsara dan menderita demi kesejahteraan bangsa semuanya.
Dengan ajaran Islam, Muhammadiyah membangun dan memajukan dalam bidang kesadaran beragama dan ilmu pengetahuan. Dalam kehidupan masyarakat, Muhammadiyah merindukan tumbuh dan berkembangnya jiwa persatuan dengan segala keikhlasan, antara sesama kaun Muslimin maupun seluruh komponen bangsa, tanpa memaksakan paham ideologi dan agama.
***
Menurut kepribadian Muhammadiyah, beribadat kepada Allah tidaklah terbatas kepada shalat di masjid, tidak terbatas kepada hubungan individu kepada Allah, tetapi berbuat islah, berbuat maju dan membangun masyarakat adalah pula beribadat kepada Allah, dan karena itu Muhammadiyah merasa wajib untuk melaksanakan tanpa ada pamrih dan ambisi-ambisi rendah.
Pancasila adalah Dasar Negara, Islam yang menjadi dasar menuntun dan memerintahkan beramal dan berusaha dengan amalan-amalan dan usaha-usaha yang sifatnya dapat mengisi kepada Pancasila serta mempertegas garis-garis besar haluan negara.
Pribadi yang ikhlas, jujur, dan sarat pengalaman dan perjuangan ini juga merupakan sosok yang suka menulis. Diantara karyakarya tulisnya, adalah: 1) Jadwal Waktu Shalat untuk Selamalamanya, 2) Menghadapi Orla (Orde Lama), 3) Qawa’id al-Chams, 4) Mudzakkirat fi Tasji’il Islam, 5) Mi’ah Hadist (100 Hadis berbahasa Arab), 6) Manasik Haji (bahasa Jawa), 7) Parail (tulisan Latin berbahasa Jawa), 8) Kitab Nikah (tulisan Arab Melayu), 9) Nukilan Syu’aibul Iman (bahasa Jawa), 10) Pengajian Rakyat. Bukti
bahwa beliau ahli falak dapat disimak dari buku-buku beliau yakni; 1) Hitungan dengan Jalan yang ke I (1940); 2) Cara Menghitung Hisab Hakiki ; dan 3) Gerhana Bulan (1960).
Selengkapnya: Baca buku Percik Pemikiran Tokoh Muhammadiyah Untuk Indonesia Berkemajuan oleh Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah