Dalam sejarah menjelaskan, bahwa pada era awal perkembangan Islam terkhusus di masa Rasulullah, baik aqidah maupun syariah masih dalam keadaan murni dan sedikit sekali terjadi pertentangan. Bersifat murni karena ajaran yang ada masih bersumber langsung dari Al-Qur’an dan Hadits. Tidak ada pertentangan, karena ajaran yang ada masih bersifat sederhana dan bersumber langsung dari apa yang Rasulullah kerjakan tanpa perlu dibahas, dikritisi apalagi diperdebatkan.
Di kala Rasulullah masih hidup, para sahabat dan kaum muslim ketika menemui persoalan mereka dapat langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Namun pasca wafatnya Rasulullah, kaum Muslim tidak lagi bisa menanyakan persoalan mereka kepada Rasulullah, sementara persoalan yang ada terus bermunculan dan berkembang.
Pergolakan Pemikiran dalam Islam
Pergolakan pemikiran dalam Islam tidak bisa lepas dari perseteruan politik kala itu. Hal ini tidak sekedar membuat umat Islam berpecah namun juga bergeser kepada penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang kemudian memunculkan disiplin ilmu kalam. Lahirnya pergolakan pemikiran ini bermula dari perseteruan politik di masa Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Hal ini bermula dari pihak Muawiyah yang meminta kepada Ali untuk mengusut kasus pembunuhan Utsman bin Affan yang kemudian terjadi perang Shiffin. Di akhir perang Shiffin kedua pihak ini akhirnya melakukan tahkim (arbitrase).
Dari peristiwa tahkim ini memunculkan beberapa aliran/kelompok di tengah umat Islam kala itu antara lain; Khawarij, kelompok ini merupakan kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Kelompok ini berpaham bahwa perdamaian yang dilakukan oleh Ali dengan Muawiyah menyalahi hukum Allah, dan semua pihak yang menyetujui tahkim tersebut adalah Kafir dan murtad. Syi’ah, kelompok ini merupakan kelompok yang pro dan setia kepada Ali. Murji’ah, kelompok ini adalah kelompok yang tidak turut melibatkan diri dalam perselisihan politik tersebut. Dari beberapa kelompok yang awal mulanya muncul akibat gejolak politik, di kemudian hari kelompok-kelompok tersebut menjadi aliran teologi dalam Islam.
Siapakah Ahlussunnah wal Jama’ah?
Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan salah satu dari beberapa aliran kalam. Ahlussunnah wal Jama’ah berasal dari gabungan kata ahl as-sunnah dan ahl al-jama’ah. Kata ahl berarti “pemeluk”. Sedangkan as-sunnah diartikan sebagai orang yang mengikuti dan berpegang teguh kepada sunnah Nabi Saw, para sahabat dan penerus-penerusnya. Sedangkan al-Jama’ah berarti bersepakat. Al-jama’ah juga diartikan mereka yang berpegang teguh kepada tali Allah secara berjama’ah, tidak ada perselisihan dan perpecahan.
Namun, manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah yang berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw belum tersusun dengan rapi. Pada zaman Imam Abu Hassan al-Asy’ari, manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah mulai dikodifikasikan secara sistematis.
Pada era selanjutnya, Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi salah satu mazhab aqidah dalam Islam. Ahlussunnah wal Jama’ah versi Imam Abu Hassan al-Asy’ari ini kemudian dikenal dengan Asy’ariyah. Walaupun istilah Ahlussunnah wal Jama’ah sendiri belum dikenal di zaman Nabi Saw dan sahabat.
Prinsip Moderat Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahlussunnah wal Jama’ah selalu berpegang pada prinsip moderat (tawassuth). Sikap moderat tersebut diaplikasikan dalam aspek aqidah yang dimana dalil naqli dan aqli digunakan sebagai sandaran. Sehingga dalam memurnikan aqidah tidak mudah mengkafirkan siapapun, kecuali mereka telah jelas-jelas keluar dari Islam.
Mereka yang masih melaksanakan shalat/ahlul kiblat adalah Muslim. Selama mereka masih Muslim, maka haram darahnya untuk ditumpahkan. Dalam fikih, selalu berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah dengan metode pemahaman yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam tasawuf, Ahlussunnah wal Jama’ah selalu berdiri di atas ajaran Islam yang mana sangat menghindari laku-laku tasawuf yang ekstrem seperti hidup miskin dan anti dunia dan juga laku tasawuf yang jauh dari prinsip-prinsip pokok Islam sehingga dapat mencederai aqidah.
Apabila kita menelisik dalam perkembangan pemikiran Islam, tidak sedikit kita jumpai beberapa aliran yang ekstrem dalam memahami nash. Seperti halnya Khawarij yang memahami nash secara literal, mereka akan dengan mudah menjatuhkan vonis kafir kepada orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Perlu kita ketahui, vonis kafir tersebut sangat berbahaya dikarenakan mempunyai implikasi yang tidak ringan. Apabila seorang sudah divonis kafir maka halal darahnya dan boleh untuk dibunuh tentu pemahaman semacam ini sangat tidak tepat, apalagi yang dikafirkan adalah orang yang sholat. Tentu pola pemahaman seperti itu sangat ekstrem dan tidak sejalan dengan prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah yang tawassuth (moderat).
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam sejarahnya telah menjadi representasi ajaran Islam yang moderat. Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah telah berhasil menjadi penengah antara kelompok rasionalis dengan kelompok tekstualis. Yang dimana kedua kubu tersebut telah banyak mencapai titik “ekstrem”. Mu’tazilah contohnya, kelompok ini merupakan kelompok rasional yang dapat dikatakan “ekstrem”.
Rasionalitas berlebihan dapat merusak kejernihan akidah Islam, tekstualitas yang berlebihan dapat berakibat pada kejumudan dalam berijtihad. Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai representasi atau potret Islam moderat selalu berupaya untuk mengedepankan sikap toleran di tengah perbedaan. Nilai-nilai ajaran Islam yang moderat harus digaungkan, keseimbangan dalam memposisikan teks dan konteks akan membentuk wajah Islam yang penuh rahmat bagi seluruh umat manusia.
Editor: Soleh