Berawal dari perkumpulan Sapa Tresna pada 1914, sebuah majelis khusus perempuan-perempuan terdidik di Kauman, lahirlah Aisyiyah pada 1917. Organisasi ini lahir atas dasar keprihatinan para punggawa Muhammadiyah yang miris melihat nasib perempuan masa itu, yakni selalu dibatasi dalam hal akses pendidikan formal.
Seperti yang ditegaskan Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, konstruksi sosial pada waktu itu menyatakan bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan formal. Doktrin yang berkembang adalah, perempuan tidak perlu bermasyarakat, melainkan cukup mengurusi perkara domestik saja. Atau yang lebih mengerikkan lagi adalah, perempuan itu swarga nunut neraka katut.
Jika diamati, pemilihan “Aisyiyah” sebagai nama organisasi ini juga telah menyiratkan misi besar ‘kesetaraan gender’. Bahwa nama tersebut diambil dari nama istri Nabi Muhammad Saw., Aisyah. Dalam sejarahnya, Aisyah merupakan sosok perempuan cerdas dan mumpuni, serta banyak meriwayatkan hadits langsung dari Nabi Muhammad Saw. Dengan nama tersebut, diharapkan para kader Aisyiyah mampu meneladani kehidupan dan perjuangan Aisyah dalam mendakwahkan ajaran Islam.
Kita bisa menyimak dinamika pembentukan Aisyiyah melalui buku Covering Aisyiyah, yang merupakan tulisan sepasang suami istri, Muarif dan Hajar. Karena sepasang penulis ini juga berkecimpung di persyarikatan Muhammadiyah dan Aisyiyah, maka boleh dikata buku ini cukup representatif untuk melihat potret jatuh-bangun Aisyiyah di masa awal pembentukan.
Apalagi, sumber-sumber yang digunakan dalam buku ini sangat beragam, mulai dari majalah, buku terkait Muhammadiyah-Aisyiyah, nolutensi kongres, pidato, artikel tokoh sentral Muhammadiyah-Aisyiyah, hingga album foto milik keluarga pegiat Muhammadiyah-Aisyiyah.
Karenanya, membaca buku ini kita seolah sedang menyaksikan kronik sejarah pergulatan perempuan mengembangkan potensi dirinya sebagai khalifah di bumi. Bahwa ukuran kualitas manusia bukan ditakar berdasarkan klasifikasi laki-laki dan perempuan, melainkan kualitas penghambaan kepada Sang Khalik; yang paling mulia di sisi Allah Swt. adalah manusia yang paling takwa.
Takwa kemudian dimanifestasikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan kemanusiaan berupa mendidik buruh batik supaya dapat membaca dan menulis, aktif dalam berdakwah di berbagai forum dan mengupayakan pendidikan usia dini demi menyiapkan generasi rabbani.
Pembaru Peran Perempuan
Aisyiyah memang bukan merupakan organisasi perempuan pertama di Nusantara, karena telah ada Poetri Mardika yang merupakan sayap perempuan Serikat Islam. Namun, yang membedakan dengan organisasi perempuan lainnya adalah, Aisyiyah merupakan pembaharu peran perempuan di ranah agama.
Jadi, perempuan tidak lagi hanya sebagai obyek dakwah, melainkan juga secara aktif melakukan dakwah di berbagai kesempatan. Menjadi muballigh yang terdidik dan mumpuni. Aisyiyah juga mengklarifikasi narasi teologis yang misoginis; ditafsirkan dengan menegasikan peran perempuan dalam peradaban. Pun, mengakrabkan teks Al-Qur’an dan hadits yang menyuratkan kesempatan sama bagi laki-laki dan perempuan untuk berbuat kebaikan. (Halaman 76).
Secara garis besar, terdapat dua hal yang dilakukan pergerakan Aisyiyah periode awal dalam kaitannya mendorong perempuan untuk tampil di pentas sejarah.
Pertama, kepada tafsir atau narasi Al-Qur’an dan Hadits yang misoginis, yakni tidak ramah atau memojokkan peran perempuan, Aisyiyah mencoba untuk meluruskan. Bahwa Allah Swt. menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, dengan potensi yang sama. Aisyiyah pun menautkan pemaknaan tersebut pada ayat al-Qur’an yang menyatakan kemuliaan hanya diukur oleh ketakwaan, bukan jenis kelamin (QS. Al-Hujurat ayat 13).
Hal ini sesuai dengan komitmen KH Ahmad Dahlan dalam membangun gerakan, yang selalu percaya dan yakin bahwa pembaruan mesti diawali dengan perubahan cara berpikir, dan pengetahuan adalah pasaknya gerakan (halaman 66). Dengan edukasi narasi teologis yang tepat. Maka perempuan akan sadar bahwa dirinya merupakan makhluk yang mampu ikut andil dalam membangun peradaban dunia. Bahwa, tampilnya perempuan di panggung sejarah merupakan fitrah, yang telah lama dipadamkan oleh narasi-narasi teologis menyesatkan.
Kedua, di samping mengklarifikasi narasi teologis misoginis, juga menyediakan akses pendidikan bagi perempuan dalam rangka penyadaran. Kegigihan para aktivis Aisyiyah tampak pada inisatif mereka membuka majelis khusus perempuan dan pendidikan melek huruf kepada buruh batik. Pun, atas kesadaran urgensi penyediaan infrastruktur pendidikan sebagai praksis dari konsep Islam Berkemajuan, dibentuklah pendidikan usia dini yang kini dikenal sebagai TK ABA.
Suara Aisyiyah kini
Benar yang mengatakan perjuangan tidak akan pernah berakhir. Ini juga berlaku bagi gerakan sosial keagamaan Aisyiyah. Kendati perjuangan membuka akses pendidikan kepada kaum perempuan dan membangun infrastruktur pendidikan anak usia dini telah berhasil, namun masih ada hal yang perlu diperjuangkan lagi. Salah satunya, kasus kekerasan dan kejahatan seksual yang kian hari makin miris saja, dan selalu menjadi bahasan media.
Setidaknya, menurut penulis, ada 2 hal besar yang telah dilakukan Aisyiyah kaitannya upaya menangani kasus kekerasan dan kejahatan seksual.
Pertama, pada Tanwir II Aisyiyah yang berlangsung di Solo, 6 – 8 Juli 2014, dilansir dari republika.co.id Aisyiyah memasukkan kejahatan terhadap anak, termasuk kekerasan, pelecehan seksual, dan penjualan anak menjadi fokus perhatian. Aisyiyah bahkan telah mendesain gerakan dan aksi bersama untuk mengeliminasi kekerasan terhadap anak, terutama di lembaga pendidikan dan panti asuhan.
Kedua, dukungan terhadap pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS). Melalui surat nomor 195/PPA/A/IX/2019 tertanggal 25/9/2019, dilangsir dari mediaindonesia.com Pimpinan Pusat Aisyiyah mengirimkan surat aspirasi masyarakat kepada DPR RI yang berisikan desakan kepada DPR supaya pembahasan RUU P-KS menjadi agenda prioritas DPR 2019-2024 -tetapi malah dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas Tahun 2020 oleh DPR RI.
Pemihakan Aisyiyah terhadap penyelesaian kasus kekerasan seksual sangat urgen untuk mempengaruhi opini masyarakat. Langkah-langkah edukasi perlu terus digencarkan demi masifnya pemahaman bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan besar, yang tidak cukup diselesaikan secara kekeluargaan maupun hukum yang belum ramah terhadap korban. Pun, untuk menyadarkan kepada masyarakat bahwa korban kekerasan seksual bukanlah aib yang harus disingkirkan, tetapi manusia yang perlu mendapat empati dan perhatian.
Karena, kata KH Ahmad Dahlan, pembaruan mesti diawali dari perubahan cara berpikir, dan pengetahuan adalah pasaknya pergerakan.
Judul Buku : Covering Aisyiyah
Penulis : Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati
Penerbit : IRCiSoD, Yogyakarta
Tebal : 256 halaman
ISBN : 978-623-6699-10-2
Editor: Dhima Wahyu Sejati