Feature

Akhir dari Perjalanan Rumah Makan BUNDO: Cerita tentang Nasi Padang

4 Mins read

Oleh Dina Afrianty

Tahun 2020 ini jadi akhir dari perjalanan usaha Rumah Makan Padang ayah dan ibu. Rumah Makan BUNDO yang terletak di depan kampus UIN Jakarta dulu IAIN Ciputat akhirnya harus ditutup. Usaha yang mereka jalani sejak 1979 harus berhenti karena anak satu-satunya pemilik RM Bundo memilih untuk merantau.

Pada tahun pertama (1979), ayah ibu membuka usaha RM BUNDO, IAIN Jakarta langsung menjadi pelanggan utama. IAIN selalu memesan nasi bungkus, nasi kotak, catering untuk kegiatan-kegiatan mereka. Yang saya ingat, misalnya, program pembibitan dosen (dulu namanya PLPA, ini ketika IAIN di bawah Rektor Pak Harun Nasution), program pembibitan calon hakim, program panitia penerimaan mahasiswa baru (PROPESA), dan lain-lain.

Aktivis-aktivis mahasiswa HMI, IMM terutama selalu ngumpul-ngumpul di warung kami. Sebut saja, Azyumardi Azra, Din Syamsudin, Komaruddin Hidayat, alm. Bahtiar Effendy, dan lain-lain. Di periode selanjutnya, saya sering lihat dan jadi mengenal Saiful Mujani, Mas Hendro, Ali Munhanif, dan banyak lagi. Ayah selalu tahu siapa mahasiswa IAIN yang akan atau sudah pulang dari sekolah ke luar negeri. Biasanya, ayah cerita kepada saya, “itu dia baru pulang dari Amerika beasiswa…. ” atau “dia mau ke Inggris, atau Kanada untuk S3 … beasiswa dari pemerintah sana….” Tahun 1980an, tidak ada alumni IAIN langganan BUNDO yang sekolah ke Australia.

Di malam minggu, saya juga lihat mahasiswa-mahasiswa datang ke warung bersama pacar-pacarnya. Ayah ibu sampai sekarang masih ingat siapa dulu menjadi pacar siapa. Hubungan ayah ibu dengan pelanggan-pelanggannya memang sangat dekat.

Boleh dibilang, saat itu saingan BUNDO tidak ada, selain Warteg yang berada tidak jauh dari BUNDO. (Warteg ini sudah jauh lebih dulu tutup dari kami).

Baca Juga  Tiga Faktor Islam Bisa Masuk ke Mentawai

Saya yang masih SD suka sekali melihat mahasiswa-mahasiswa itu diskusi di warung kecil kami. Ayah berlanggangan majalah Tempo dan beberapa koran. Ini, menurut saya, menjadi daya tarik juga buat mahassiwa-mahasiwa kala itu. Sambil makan, mereka bisa baca Tempo atau koran. Saya ingat setiap hari pertama majalah Tempo keluar, mahasiswa akan tanya ke ayah, “Tempo-nya mana Jo?” (Jo, adalah panggilan ke ayah saya, “Ajo”). Dan, mereka akan habis tuntas baca, yang datang belakangan harus sabar menunggu giliran membaca. 

Dari dosen-dosen yang ikut pembibitan dosen pada periode itu saya juga banyak kenal. Setelah akhirnya juga menjadi dosen di UIN, setiap kali ada kesempatan pergi ke kampus-kampus IAIN atau UIN dan bertemu dengan dosen-dosen senior—biasanya saya juga memperkenalkan diri sebagai anak BUNDO, dan itu selalu mujarab karena mereka pasti langsung ingat, “oh, anak Ajo dan Uni!” Hehe… Dan, mereka pun langsung bernostalgia dan akan sangat baik pada saya.

Sejak 2006, RM BUNDO dikelola oleh saudara-saudara kami. Tahun itu saya harus berangkat ke Melbourne untuk memulai Ph.D. Ayah ibu merasa tugasnya sudah tuntas, dan sudah lelah juga mengelola RM BUNDO.

Sekarang, setelah lebih 15 tahun, semua akhirnya juga menua—tidak ada lagi saudara yang mau melanjutkan. Sulit mencari orang-orang yang mau bekerja di Rumah Makan dari Jawa atau dari Padang sendiri. Persaingan usaha juga semakin bikin susah RM Padang. Saudara-saudara yang muda pun tidak lagi tertarik usaha nasi Padang karena lebih memilih bekerja di kantor menjadi PNS.

Akhirnya, setelah ayah ibu bertanya kepada saya apa yang harus dilakukan dengan BUNDO, saya tidak bisa bilang apa-apa kecuali, kalau memang sudah tidak ada lagi yang bersedia melanjutkan BUNDO, ya kita harus ikhlas. Karena ibu sebenarnya masih kuat ingin mempertahankan BUNDO.

Baca Juga  Ramadan di Amerika pada Masa Pandemi

Belakangan, saya sering ikuti Tamara Blezinski yang punya warung nasi di Bali. Lihat warungnya yang kecil, mengingatkan saya pada BUNDO. Kenapa saya tidak tertarik melanjutkan usaha kuliner? Selain Tamara, artis-artis juga banyak bikin usaha makanan. Kok saya tidak mau ya? Saya padahal bisa kelola BUNDO dengan gaya lebih modern, atau bisa juga coba model bisnis seperti artis-artis itu. Ah, sayang… The brand BUNDO is already a big name!

Di akhir bulan Desember, ibu mengirim pesan, “Dina, alhamdulillah sudah ada yang akan mengontrak, tapi mereka akan buka usaha Ayam Geprek, ga apa-apa Dina?” Saya tidak bisa bilang apa-apa. Sedih sekali sebenarnya.

Akhirnya, mulai Januari 2020—dengan sedih dan terpaksa—RM BUNDO akan jadi gerai makan modern—Ayam Geprek dan lain-lain. Warung itu kami kontrakkan. Bahwa, tidak ada orang Padang yang tertarik mengontrak untuk buka warung nasi Padang, tells you something.

Berkurangnya jumlah orang yang setia makan nasi Padang dan pindah ke makanan modern di kalangan banyak kerabat kami yang juga mengelola RM Padang adalah pukulan berat. Ayah saya sering bilang, berkurangnya minat orang makan nasi padang juga akibat nasi padang selalu dituduh sebagai penyebab stroke dan penyakit lainnya. Padahal, orang kampung di Padang yang selalu makan nasi padang banyak yang umurnya panjang, karena orang di kampung rajin pergi ke sawah. Kata ayah, yang penting itu, makan nasi padang harus dibarengi dengan olah raga. Ayah bilang, “alhamdulilah, ayah ini sudah lebih 75 tahun dan dari kecil sampai sekarang selalu makan nasi padang, tapi dokter selalu bilang, bapak sehat banget yaa … ” (this part makes me smiles, rindu ayah).

Baca Juga  Sawah Untoh dan Jelen Luhuih (1): Cerita Ekonomi Pertanian Kerinci Hilir

Nanti saya akan tonton film baru tentang pengusaha Rumah Makan Padang ini. Dari thriller-nya, saya terharu lihat anak-anak dari yang punya RM ini berebut untuk menjadi penerus usaha orang tua mereka. 

Selamat jalan BUNDO… I am so sorry and deeply regret I cannot continue our family tradition. Dari sering bantu ayah di warung sepulang sekolah, mulai bungkus nasi, ngitung makan orang, membersihkan meja setelah pelanggang pergi, mencuri dengar mahasiswa dan dosen berdiskusi, menunggu giliran baca majalah Tempo atau koran, dan mendengar mahasiswa-mahasiswa pergi ke luar negeri dengan beasiswa… Semua itu telah membuat saya menjadi saya seperti sekarang.

Berkahmu, Rumah Makan BUNDO 1979 – 2020.

* Dina Afrianty is a researcher in the field of women’s rights and disability rights in Muslim societies. Dina completed her PhD at Melbourne Law School, the University of Melbourne, in 2011. She then resumed her role as a senior lecturer at the Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta.

Editor: Yahya FR

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds