Perspektif

Aksi 212: Dari Anti Penista Agama Menuju Anti Pendusta Agama

3 Mins read
Oleh: Muhammad Muflih*

-212- Sejak tiga tahun lalu ketika awal kemunculannya, kita sudah mafhum bahwa gerakan aksi massa 212 dipicu oleh potongan video Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta) yang dianggap menistakan agama Islam. Kalimat yang meluncur dari mulut Ahok yang di kemudian hari dipersoalkan ummat adalah “jangan mau dibohongi pakai al-Maidah”.

Setelah kejadian itu, berjilid aksi masa digelar. Mulai dari 14 Oktober 2016, kemudian 4 November 2016 (Aksi 411), dan yang terakhir serta paling fenomenal: Aksi Bela Islam 2 Desember 2016 (Aksi 212). Ada semacam hal yang memantik ummat harus bersatu. Yang biasanya berbeda secara fikih ibadah atau hal lainnya, tidak lagi berbenturan. Semua punya satu tujuan: memenjerakan penista agama.

Saban tahun, Reuni 212 digelar. Massa rutin berdatangan, walau selalu ada penurunan. Tapi kuantitas berkurang bukan karena ghirah menurun, melainkan kebetulan tahun ini 2 Desember jatuh pada hari senin, hari di mana banyak orang bekerja.

Tudingan dan cibiran datang dari berbagai penjuru. Mulai dari tuduhan aksi yang ditunggangi, pendemo bayaran, sampai pada ungkapan sinis “bagai buih di lautan”, meski banyak tapi tak punya kekuatan.

Yang menarik, Gerakan 212 tidak berhenti di aksi massa. Setelah itu bermunculan usaha dengan jenama 212, yang paling kita bisa ingat tentu saja 212 Mart. Niat suci untuk membangun ekonomi ummat mesti didukung, supaya tidak kepayahan melawan pemain lawas macam Indomaret atau Alfamart.

Pengaruh Habib Rizieq Shihab

Jika menyoal Aksi Massa 212, siapa tokoh yang pertama kali muncul di pikiran anda? Jika saya yang ditanya, maka jawabannya Habib Rizieq Shihab (HRS). FPI binaan HRS lah yang memulai aksi berjilid-jilid itu. Kemudian tiap tahun menjelang reuni, isu kepulangan HRS selalu menjadi perbincangan.

Baca Juga  Teliti Menilai Informasi di Dunia Digital

Pidato HRS selalu diharapkan di setiap momen Reuni 212. Walau raga tak bisa datang, namun nasehatnya tetap dinanti peserta reuni. Yang agak mengganjal dari pidatonya tahun ini adalah menganjurkan hukuman mati bagi penista agama. Bagi saya, ini cukup menyeramkan. Apalagi yang dituduh menista kali ini salah satunya seorang kiai dari NU. Kita tidak ingin benturan antar ormas Islam terjadi.

Belajar dari Kiai Dahlan, Kiai Anti Pendusta Agama

Di kalangan aktivis Muhammadiyah, kisah tentang bagaimana Kiai Dahlan mengajarkan surat al-Ma’un berulang-ulang tentu sudah sangat masyhur. Muridnya sudah hafal surat itu, namun sang kiai tidak puas. Kiai Dahlan tidak ingin muridnya hanya sekadar menghafal, tapi juga mengamalkan. Sebelumnya, mari simak terjemahan surat al-Ma’un berikut ini:

  1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
  2. Maka itulah orang yang menghardik anak yatim,
  3. dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.
  4. Maka celakalah orang yang shalat,
  5. (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya,
  6. yang berbuat ria,
  7. dan enggan (memberikan) bantuan.

Kiai Dahlan ingin murid-muridnya mempraktikkan setiap ayat dalam surat al-Ma’un. Maka murid-muridnya berkeliling kampung Kauman, mengumpulkan anak yatim juga miskin untuk dimandikan, diberikan pakaian yang layak, dan diberi pengajaran (pendidikan). Ini merupakan tafsir Gerakan al-Ma’un 1.0 kreasi Kiai Dahlan.

Tafsir Gerakan al-Ma’un terus berkembang pesat. Muhammadiyah saat ini punya ribuan sekolah, panti asuhan, rumah sakit, lembaga penanggulangan bencana, lembaga zakat, dan lain-lain, yang merupakan kelanjutan dari semangat al-Ma’un warisan Kiai Dahlan.

Gerakan Massa 212 Perlu Mengadopsi Gerakan al-Ma’un a la Muhammadiyah

Kiai Dahlan adalah salah satu mujaddid abad 20. Tentu kita tidak bisa, atau setidaknya belum bisa membandingkan HRS dengan Kiai Dahlan. Tapi, HRS bisa belajar pada Kiai Dahlan. Daripada menyerukan untuk menghilangkan nyawa orang lain, lebih baik HRS mencoba gerakan baru: Gerakan Massa Anti Pendusta Agama.

Baca Juga  Menyatukan Umat Islam dari Masjid Gedhe Hingga Masjid Syuhada

Din Syamsuddin, dalam Pengajian Tarjih PP Muhammadiyah di Masjid Kraton Jogjakarta beberapa waktu lalu, menyampaikan bahwa kita bukan hanya harus waspada pada penista agama. Ummat Islam juga wajib waspada terhadap pendusta agama. Tafsir pak Din soal pendusta agama, tentu saja merujuk pada pemahaman Muhammadiyah. Pendusta agama adalah orang Islam yang tidak peduli pada anak yatim, tidak menyantuni fakir miskin, dan tidak ingin membantu sesama yang sedang kesulitan.

Kembali pada Gerakan 212. Orang berdebat soal banyaknya massa yang hadir. Ada klaim 7 juta orang, 3 juta orang, bahkan ada yang bilang hanya ratusan ribu. Mari kita asumsikan simpatisan gerakan 212, baik yang hadir atau sekadar mendukung dari jauh, berjumlah 1 juta orang.

Dengan jumlah massa sebanyak itu, kita bisa melakukan aksi crowdfunding atau patungan masal. Sebagai contoh, cukup menyumbang 50.000 rupiah per kepala, maka kita akan dapatkan hasil 50 milyar dalam sekali aksi 212! Lebih luar biasa jika iuran itu dirutinkan setiap bulan, maka dalam setahun ummat punya uang 600 milyar!

Bayangkan, dana sebanyak itu bisa kita gunakan untuk merawat dan mendidik ratusan anak yatim terlantar. Juga membangun pesantren ahli al-Qur’an, misalnya. Kita perlu banyak membangun sumber daya manusia, yang pastinya melalui jalur pendidikan.

Kalau ini berjalan, Gerakan 212 akan punya legacy. Banyaknya simpatisan aksi ini tidak akan lagi dicap sebagai “buih di lautan”, karena telah mendatangkan kemaslahatan bagi ummat. Tertarik untuk membangun SDM yang unggul dan islami? Sampaikan pesan saya ini untuk HRS. Salam.

*Redaktur TanyaJawabAgama.com

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds