Hari Ahad, 22 September kemarin, saya kembali mendapat Kehormatan menjadi pembicara di acara Konvensi Tahunan NABIC (North American-Bangladeshi Islamic Community) di New York.Acara ini mengambil tempat di St. John University, salah satu universitas Katolik yang terletak tidak jauh dari Masjid kami, Jamaica Muslim Center. Hadir sebagai pembicara utama (Keynote) adalah Sr. Dalia Mugahed, Direktur Istitute for Social Policy and Understanding. Juga Prof. Mohamed Ataul Karim, Vice President Universitas Massachusetts.
NABIC adalah salah satu organisasi besar komunitas immigran asal Bangladesh dengan tujuan utama membantu membangun negara asal. Organisasi ini sekarang telah membangun beberapa rumah sakit dan klinik gratis, mengembangkan universitas, menciptakan lapangan kerja khusus bagi kaum perempuan, dan banyak lagi.
NABIC juga sangat efektif dalam membantu warga Bangladesh di saat terjadi bencana alam seperti banjir besar baru-baru ini. Yang paling Istimewa dari NABIC adalah bahwa organisasi kemanusiaan ini diinisiasi oleh mayoritasnya para profesional, khususnya guru-guru besar keturunan Bangladesh di Amerika.
Prof. Mohammad Ataul Karim sendiri sebelum terpilih jadi Wakil Presiden Universitas adalah dekan Fakultas Teknik di NY University. Beliau adalah teman almarhum Prof. Habibie sejak dahulu. Pertemanan dengan pak Habibie ini yang menjadikan beliau merasa dekat dengan saya sebagai warga Indonesia. Bahkan dalam beberapa kesempatan memberikan saya gelar “an honorary Bangladeshi”.
Walaupun NABIC bukan organisasi politik dan berusaha untuk tidak mengaitkan diri dengan politik, konvensi tahunan mereka kali ini sarat dengan nuansa politik. Maklum baru saja terjadi revolusi di negara asal mereka yang berhasil menumbangkan rezim diktator Perdana Menteri Hasinah. Mayoritas warga Bangladesh di Amerika menentang pemerintahan Hasinah lalu.
Mungkin ini pula yang mendasari sehingga tema Konvensi NABIC kali ini adalah “Activism and Community Empowerment”. Dan saya sendiri diminta secara khusus membahas pandangan Islam tentang Aktivisme dan Penguatan Komunitas. Sebuah tema yang memang selalu menjadi obyek pembahasan saya dalam beberapa waktu terakhir.
Activism and Community Empowerment
Aktivisme dan Penguatan Komunitas sesungguhnya menjadi tema yang sangat mendasar dalam ajaran Islam kita. Hal itu akan sangat terlihat dengan tujuan dasar agama Islam, khususnya dalam kehidupan publik. Bahwa Islam hadir untuk mewujudkan masyarakat terbaik (khaer ummah) dan masyarakat pertengahan (ummatan wasatha). Wasatiyah salah satunya bermaka kokok, kuat, dan maju (empowered).
Dan untuk tercapainya tujuan itu, Islam memberikan tuntunan yang jelas dan tegas: Aktivisme. Maka aktivisme adalah jalan yang ditentukan oleh Allah untuk terwujudnya cita-cita publik Islam untuk membentuk “khaer ummah” dan “ummah wasatha” tadi.
Di dalam Al-Qur’an, aktivisme diekspresikan dengan ragam ekspresi. Minimal ada lima terminologi yang dipakai Al-Qur’an dalam mengekspresikan urgensi aktivisme itu.
Pertama, Al-Qur’an memakai kata “amal”.
Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah memerintahkan umat ini untuk “berbuat” (to act). Ayat-ayat seperti “aamanu wa ‘amiluu” menjadi salah satu ekspresi yang sering terulang ketika Allah menggambarkan keimanan itu. Sehingga dengan sendirinya dipahami konsep keimanan dalam Islam itu menjadi sangat identik dengan menyatunya suasana hati (iman) dan aksi (amal).
Allah berfirman: “dan katakan: berbuatkah! Maka sungguh Allah akan melihat amalmu, rasul–Nya, dan orang-orang yang beriman”.
Kedua, Al-Qur’an juga memakai kata “قم” atau bangkitlah.
Mugkin dengan kata ini kita diingatkan peristiwa di saat Rasulullah menerima wahyu pertama IQRA’. Beliau setelah itu mengalami rasa takut dan khawatir. Tentu ini adalah bagian dari aspek kemanusiaan beliau.
Tapi tak berselang lama setelah itu, Allah justru menurunkan perintah-Nya; “Qum” (Wahai Muhammad, bangkit!”. Rasulullah SAW diperintah bangun atau bangkit untuk “fa anzdir” (mengingatkan manusia).
Ekspresi ini dalam bahasa Inggrisnya lebih populer dengan “wake up guys”.
Ketiga, Al-Qur’an mengekspresikan dengan perintah dakwah amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Kewajiban ini merupakan bentuk aktivisme yang paling mendasar. Dakwah amar ma’ruf dan nahi mungkar basisnya adalah pergerakan (aktivisme). Oleh karenanya, kata dakwah dalam Al-Qur’an pada umumnya memakai kata kerja “ud’uu ilaa sabiili Rabbik”, “wa man ahsanu mimman da’aa ilallah”, dan seterusnya.
Keempat, Al-Qur’an mengekspresikan aktivisme dengan kata “pergi” atau “berangkat”.
Ketika Allah memerintahkan Musa dan adiknya Harun untuk mendakwahkan akidah Tauhid kepada Fir’aun, Allah memakai kata “idzhabaa” (berangkatlah kalian berdua).
Tentu konotasi terutama dari kata “dzahaba” atau pergi adalah bergerak (to move). Dan aktivisme itu memang esensinya adalah “movement” atau pergerakan.
Kelima, Al-Qur’an mengekspresikan aktivisme dengan perintah berjuang (jihad). Ini yang paling populer.
Aktivisme adalah usaha yang terstruktur (organized) dan sungguh-sungguh dalam upaya mencapai hasil yang baik dan maksimal. Dan sejatinya itulah pula makna jihad (perjuangan).
Jihad bukan sekedar berjuang. Tapi berjuang dengan “itqan” atau penuh kesungguhan serta dengan profesionalisme yang tinggi untuk mencapai tujuan baik secara maksimal.
Allah berfiman: “Wahai orang-orang yang beriman, hendakkah saya tunjukkan padamu sesuatu (dengannya) kamu diselamatkan dari siksaan yang pedih? Berimanlah kepada Allah dan rasulNya dan berjihadlah di jalan Allah dengan harga dan diri kalian. Yang demikian itu lebih baik jika kalian mengetahui” (As-Soff:10).
Inilah lima bentuk ekspresi aktivisme yang terpakai dalam Al-Quran. Saya yakin masih ada beberapa bentuk ekspresi Al-Qur’an dan juga hadits-hadits Rasulullah lainnya dalam hal aktivisme ini.
Yang pasti semua ini menunjukkan bahwa aktivisme itu adalah pilar tercapainya cita-cita Islam dalam mewujudkan masyarakat Islam yang terbaik (khaer ummah) dan solid (wasatha).
Tentu dalam menjalankan aktivisme, Islam pastinya memberikan tuntunannya. Apa saja tuntutan Islam itu? Tunggu pada catatan selanjutnya!