Sebelum kita mengetahui sosok Al-Baqillani lebih dalam, lebih baik kita mengetahui nama aslinya dulu, yaitu Al-Qadi Abu Bakar Muhammad bin Al-Tayyib bin Muhammad bin Ja’far bin Al-Qasim Abu Bakar Al-Baqillani. Tempat kelahirannya adalah di Basrah. Namun, tidak ada keterangan mengenai tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya.
Sepenggal Kisah Hidupnya
Al-Baqillani tumbuh kembang di daerah yang masyarakatnya sudah banyak memeluk Islam. Ia besar di tengah-tengah suku Dailam, satu suku yang bermukim di kawasan Barat Daya perairan Kaspia. Al-Baqillani hidup di era pemerintahan Dinasti Buwaihi, yaitu pada tahun 372 Hijriah. Tidak ada keterangan pasti waktu kelahirannya. Meskipun ia besar di masyarakat pedalaman di gurun, namun ia adalah sosok cendekia yang menguasai banyak disiplin ilmu. Ia adalah salah satu pewaris dari teologi Asy’ariyah yang bermazhab Maliki. Beberapa murid yang pernah belajar kepadanya seperti Abu Imran al-Fasi, Ali ibn Muhammad al-Harbi, dan al-Wahhab ibn Nasr al-Maliki.
Karir intelektual Al-Baqillani berlangsung ketika Mu’tazilah menjadi ideologi resmi pemerintahan Dinasti Buwaih. Mu’tazilah dapat menyampaikan doktrinnya secara terbuka di hadapan musuh-musuhnya. Bisa dikatakan pada saat itu relasi antara Syi’ah dengan Mu’tazilah terlihat sangat baik. Maka dari itu Mu’tazilah sejalan dengan paham Syi’ah.
Kepribadian Al-Baqillani
Al-Baqillani merupakan seorang yang bijaksana dan gemar menulis. Ia bahkan mampu menghasilkan tiga puluh lima lembar tulisan di setiap malam. Ia mengirim tulisan-tulisannya itu kepada teman-teman dekatnya. Salah satu karyanya yang masih bisa kita temukan saat ini, yaitu Al-Tahmid.
Karyanya ini masih tersimpan di Museum Paris dan Museum Ayashofia di Istambul. Karyanya yang lain yaitu, I’jaz Al-Qur’an. Kitab ini diterbitkan di Berlin pada bulan Oktober tahun 1436 selain itu juga dicetak oleh penerbit Dar al-Kutub al-Misriyyat Mesir (Ilhamuddin, 1997).
Al Baqillani merupakan sosok teolog yang banya meninggalkan warisan-warisan pemikiran, di antaranya legasi tentang perbedaan antara yang baru (muhdats) dengan yang dahulu (qadim). Menurutnya, hanya Allah yang dahulu dan azali, wujud-Nya tidak akan pernah berakhir, tidak mempunyai permulaan, dan tidak ada apapun yang menyamai diri-Nya.
Allah tidak membutuhkan pencipta yang lain karena hanya terdapat satu pencipta, Allah. Oleh sebab itu nyata bahwasanya Allah itu Maha Dahulu, Pencipta alam semesta beserta isinya.
Perbedaan Pendapat antara Al-Baqillani dengan Abu Hasan Al-Asy’ari
Meskipun menjadi pengikut Asy’ariyah, terdapat perbedaan pemikiran antara Al-Baqillani dengan Abu Hasan Al-Asy’ari, yaitu mengenai sifat yang dimiliki Allah. Pada bagian ini, ia lebih dekat dengan paham Mu’tazilah, bahwa sifat yang dimiliki Allah merupakan zat-Nya. Menurutnya, tidak ada sesuatu yang dapat berjalan sendiri di luar kemampuan zat-Nya.
Dalam pandangan Al-Baqillani, Allah memberikan keadilan kepada semua hambanya, berupa kemaslahatan, kemudaratan, kemiskinan, kekayaan, kerugian, keuntungan, dan nikmat sehat. Semua itu bukti keadilan-Nya. Allah melindungi hamba yang mematuhi-Nya dan mensejahterakan hamba yang disayangi-Nya. Allah tidak akan memberikan pertolongan kepada hambanya yang melanggar-Nya (Nicholson, 2003).
Al-Baqillani menambahkan, bahwa semua peristiwa yang terjadi di alam semesta ini atas kekuasaan dan kehendak Allah. Di sisi ini Al-Baqillani condong pada pandangan bahwa kehendak dan kekuasaan Allah itu mutlak, demikian juga mengenai siksa dan pahala.
Pada bagian tentang kemungkinan manusia melihat Allah di akhirat kelak. Al-Baqillani sependapat dengan Al-Asy’ari dan berbeda pandangan dengan paham Mu’tazilah. Jika Mu’tazilah berpendapat bahwa kelak Allah hanya bisa diketahui melalui hati, tidak bisa terlihat dengan indera. Maka menurut Al-Baqillani Allah akan bisa terlihat dengan indera di akhirat kelak.
Pemikiran kalam Al-Baqillani yang sependapat dengan Al-Asy’ariah adalah tentang makna iman. Menurut keduanya, iman itu meyakini dan memantapkan wujud Allah di dalam hati. Adapun perbuatan (‘amal) hamba tidak termasuk dalam kategori iman.
Al-Baqillani berpendapat bahwa syafa’at itu dibutuhkan oleh seorang mukmin yang berbuat dosa, baik kecil maupun besar kemudian ia bertaubat dengan sungguh-sungguh, sedangkan mukmin yang tidak berdosa tidak membutuhkan syafa’at atau pertolongan (Nasution, 1986).
***
Dalam pandangan Al-Baqillani setiap individu bebas melakukan apapun yang inginkan dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, ia menempatkan akal sebagai sesuatu yang sangat penting bagi manusia. Sementara, pada persoalan ini Al-Asy’ari justru berpandangan bahwa keagungan dan kekuasaan Allah mutlak, sehingga peran akal menjadi kecil. Akal ditempatkan di belakang wahyu baik itu tertulis maupun tidak, oleh sebab itu akal tidak boleh berdiri sendiri (Asy’ari, 2000).
Al-Baqillani memang pengikut paham Asy’ariyyah, namun pada beberapa bagian berbeda pandangan dengan pendapat-pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari seperti yang diurakan di atas. Inilah warisan berharga bagi umat muslim di zaman ini bagaimana melihat perbedaan pendapat. Perbedaan itu sesuatu yang telah diwariskan ulama-ulama kita terdahulu.
Tepat pada hari Sabtu, tanggal 06 Juni 1913 Masehi, bertepatan dengan tanggal 21 Dzulqa’idah tahun 403 Hijriah, Sosok Al-Baqillani menghembuskan nafas terakhir. Jenazahnya dikuburkan di daerah Majusi. Konon, Al-Baqillani wafat sebagai korban perang yang terjadi pada saat itu.
Wa Allah A’lam
Editor: RF Wuland