Abu Rayhan al-Biruni (w. 1048) adalah seorang ilmuwan jenius Muslim masa keemasan Islam. Seyyed Hossein Nasr (1968) menyatakan bahwa tidak ada seorang pun dalam Islam yang menggabungkan kualitas seorang saintis besar dengan cendekiawan yang cermat, penyusun, dan sejarawan setingkat dengan al-Biruni. Karya-karya ilmiah al-Biruni tidak kurang dari dua ratus macam meliputi fisika, matematika, astronomi, mineralogi, farmasi, kedokteran, biologi, geologi, geografi.
Kitab fi Taḫqiq ma li’l-Hind
Namun karyanya yang akan dijelaskan dalam artikel ini adalah sebuah karya monumental mendeskripsikan keluasan pandangan, sikap kosmopolitan dan kemampuan apropriasi (peniruan-pengembangan) yang luar biasa. Buku itu adalah Kitab fi Taḫqiq ma li’l-Hind (1030 M) yang berarti kitab penyelidikan tentang India yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Buku itu mengkaji tentang peradaban India dalam berbagai sisi termasuk tentang keagamaan dan perpolitikan India era klasik.
Dalam edisi Inggris, karya Al-Biruni ini diterjemahkan oleh Dr. Edward C. Sachau (w. 1930), seorang profesor bahasa pada Royal University of Berlin, dengan judul Al-Beruni’s India. Sachau mengatakan, bahwa dalam 800 tahun terakhir dia belum menemukan buku yang sebanding dengan karya Al-Biruni ini; yang menjelaskan hampir seluruh aspek kehidupan India dengan pemahaman yang luar biasa. Pujian tersebut dilontarkan olehnya karena telah membaca dan menelaah karya tersebut dengan seksama sehingga memberikan kesimpulan tersebut.
Beberapa penulis India sendiri seperti Vinod Kumar, Namit Arora atau Ayaz Amir menjuluki Al-Biruni sebagai Bapak Penulisan sejarah India (the father of Indian historical writing) dengan alasan sumbangan ilmiah yang diberikan Al-Biruni kepada India sangat signifikan. Pernyataan-pernyataan ini semua melukiskan tingginya kualitas ilmiah karya ini, yang bisa dikatakan ‘sempurna‘, mengenai peradaban India sehingga karya ini belum tergantikan setelah hampir selama 10 abad (Heriyanto, 2018, p. 166).
***
Al-Biruni menunjukkan dalam karyanya di atas berupa kejernihan, objektivitas, kedalaman, dan keluasan pengetahuannya sehingga bisa mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena sosial budaya dan pemikiran yang notabene asing baginya. Pada pengantar buku itu, dia mengakui, dia menulis buku ini dimaksudkan untuk memberikan fakta-fakta esensial bagi kaum Muslim dalam berkorespondensi dengan umat Hindu dan berdiskusi dengan mereka tentang agama, ilmu pengetahuan, dan sastra. Al-Biruni membaca teks-teks agama dan astronomi India yang utama.
Al-Biruni membaca buku-buku Bhagavad Gita, Upanishad, Patanjali, Puranas, empat kitab Veda, teks ilmiah (oleh Nagarjuna, Aryabhata), dan cerita-cerita yang terkait dengan mitologi India. Al-Biruni menguraikan dan menggarisbawahi bagian-bagian tertentu dari buku-buku tersebut. Al-Biruni juga membandingkan pemikiran India dengan pemikiran Yunani seperti Socrates, Pythagoras, Plato, Aristoteles, Proclus, Galen, Apollo dan lain-lain, dan kadang-kadang dengan ajaran Sufi.
Al-Biruni juga membandingkan pemikiran India dengan tradisi Islam, Kristen, Zoroaster, Mani, dan Yahudi. Sejumlah topik-topik seperti Tuhan sebagai Sebab Pertama, entitas intelligibles dan sensibles, substansi jiwa, dan eskatologi dikuasainya dengan memaparkan masing-masing pemikiran tokoh-tokoh, kemudian dia mencoba menganalisis dan membuat semacam studi komparasi terhadap beberapa karya dari berbagai lintas agama dan kebudayaan.
Budaya Ilmiah Apropriasi dalam Diri Al-Biruni
Pemikiran dan kisah Al-Biruni yang diangkat sekilas di atas menggambarkan kecerdasan apropriasinya (peniruan-pengembangan) yang tinggi dan bernas (dasar). Penguasaan Al-Biruni terhadap ilmu-ilmu dari berbagai tradisi peradaban seperti Yunani, Kristen, Yahudi, Zoroaster, dan India – di samping Islam sebagai rumah peradabannya- dan sekaligus memetakan masing-masing tradisi dengan membandingkan mereka satu sama lain menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi untuk tidak larut dalam ilmu yang dipelajari dan diketahui.
Pada diri Al-Biruni, terkumpul dua karakter ilmiah yang menjadi basis terbentuknya budaya ilmiah apropriasi. Kedua karakter itu adalah bersikap otentik (terbuka, apa adanya, jujur) dan kritis. Sikap otentik adalah sebuah bentuk keberanian mengada, mengekspresikan yang asli. Sikap otentik ini dalam kategori Paul Ricoeur adalah terbuka kepada pegelaran teks. Sedangkan sikap kritisme dalam hermeneutika Ricoeur adalah distansiasi. Sikap kritis ini mendorong seseorang untuk mampu mengambil jarak dari diri sendiri dan orang lain serta memungkinkan terjadinya apropriasi (Heriyanto, 2018, pp. 166-167).
Dengan demikian, sikap budaya ilmiah apropriasi dalam diri Al-Biruni merupakan salah satu bukti kehebatan ilmuwan muslim pada saat itu yang hingga pada saat ini masih bisa dirasakan manfaatnya terhadap ilmu pengetahuan kontemporer. Kecerdasan apropriasi dimiliki oleh Al-Biruni menjadi bagian penting dalam dinamika progresifitas ilmu pengetahuan. Dampak positif bisa terjadi dengan pengembangan metode ilmu pengetahuan atas dasar ilmiah berupa korespondensial komparasi antar variable-variabel dalam kajian ilmu tertentu.
Lebih daripada itu, urgensi budaya ilmiah apropriasi dilakukan oleh Al-Biruni merupakan rangkaian awal untuk menjadikan ilmu pengetahuan sebagai basis kemajuan intelektual dengan melibatkan berbagai kajian bidang keilmuan sehingga akan mendapatkan hasil kreasi baru dalam ilmu pengetahuan tersebut. Tentunya, kontekstualitas dalam artikel ini adalah terkait dengan eksistensi metode apropriasi terhadap progresifitas ilmu pengetahuan pada masa kini dan masa depan.
Editor: Ahmad