Setiap guru, dosen, ustaz, atau pendidik biasanya memiliki satu dua anak didik yang selalu ia banggakan. Anak didik itu dibanggakan oleh pendidiknya karena beberapa faktor, seperti pintar, rajin, dan taat kepada pendidiknya.
Anak didik ini yang biasanya diharapkan untuk meneruskan perjuangan gurunya. Nabi Muhammad menyiapkan Abu Bakar, Umar, Ali, dan beberapa sahabat inti untuk meneruskan perjuangannya. Pun dengan Imam Syafii, ia menyiapkan al-Buwaithi untuk meneruskan perjuangannya dalam bidang keilmuan.
Al-Buwaithi di Mata Imam Syafii
Nama lengkapnya adalah Yusuf bin Yahya. Sebagai murid terbaik Syafii, sudah barang tentu ia bermazhab Syafii tulen. Nama panggilannya adalah al-Buwaithi, ada juga yang memanggil Abu Ya’qub. Ia meninggal pada tahun 846 M di Baghdad. Meninggal dalam kondisi di penjara oleh Khalifah al-Watsiq yang berpaham Mu’tazilah.
Nasibnya mirip dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka berdua disiksa oleh khalifah karena sama-sama menolak mengatakan bahwa Alquran adalah makhluk. Kekhilafahan Abbasiyah saat itu menjadikan paham Mu’tazilah sebagai paham resmi negara. Sehingga, ulama yang tidak mau mengikuti paham Mu’tazilah, wa bil khusus tentang kemakhlukan Alquran, akan dipersekusi.
Al-Buwaithi adalah murid terbaik Imam Syafii. Ia dikenal sebagai orang yang sangat saleh dalam konteks peribadatan kepada Allah (hablun minallah). Hari-harinya dimanfaatkan untuk berzikir kepada Allah. Ia sering menggantikan Imam Syafii memberikan fatwa.
Penerus Imam Syafii
Ketika Imam Syafii sakit-sakitan, para muridnya berdebat tentang siapa yang akan menggantikan kedudukannya sebagai mujtahid dan guru jika ia meninggal dunia. Ketika hal itu ditanyakan kepada Imam Syafii, ia dengan tegas menunjuk al-Buwaithi. “tidak ada seorang pun yang lebih ahli daripada al-Buwaithi.”
Lebih dari itu, Imam Syafii secara tidak langsung juga mengangkat Al-Buwaithi sebagai juru bicaranya. Jika ada utusan pemerintah yang datang kepada Imam Syafii, ia meminta Al-Buwaithi untuk mewakilinya. “ia adalah juru bicaraku.” Kata Imam Syafii.
Tetangga, Abu al-Walid bin Abi Jarud, bercerita bahwa setiap ia terjaga di malam hari, ia selalu mendengar al-Buwaithi salat dan membaca Al-Qur’an. Zuhud, wara’, dan takwanya seperti duplikasi dari Imam Syafii.
Tidak sedikit ulama yang belajar kepada al-Buwaithi. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Ismail at-Tirmidzi, Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, al-Qasim bin al-Mughirah al-Jauhari, dan Ahmad bin al-Mansur ar-Ramadi. Pendapat-pendapatnya dalam ushul fiqh dapat ditelurusi melalui kitab-kitabnya, antara lain: Al-Mukhtashar al-Kabir, Al-Mukhtashar as-Shagir, dan Kitab al-Faraidh.
Persekusi Khalifah
Al-Buwaithi adalah ulama sunni yang berhadapan dengan kekhalifahan Mu’tazilah. Salah satu doktrin penting Mu’tazilah adalah Al-Qur’an sebagai makhluk. Sedangkan al-Buwaithi, beserta ulama sunni yang lain seperti Imam Hanbali dan Imam Syafii, meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk Allah.
Al-Buwaithi mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia dengan kata “kun!” (jadilah!). Sehingga “kun” adalah kalam Allah, bukan makhluk Allah. Jika kun adalah makhluk Allah, berarti Allah menciptakan makhluk dengan makhluk lain. Hal ini tidak dapat diterima oleh al-Buwaithi. Akibat dari perbuatannya itu, ia harus dipenjara oleh al-Watsiq.
Sebelum dipenjara, gubernur Mesir datang kepadanya sambil meminta al-Buwaithi untuk mengakui kemakhlukan Al-Qur’an. Sang gubernur juga merasa takut akan keselamatan al-Buwaithi. Ia berkata: “katakan antara aku dan engkau saja. Perlihatkan di hadapanku sesuatu yang mengesankan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Allah. Adapun di depan orang lain engkau bebas mengatakan apa saja semaumu.”
Memegang Teguh Keyakinan
Dasar al-Buwaithi, ia memilih memegang teguh keyakinannya. Ia berkata:
“di belakangku ada ratusan ribu orang yang tidak mengerti arti dari semua ini. Aku tidak mau mereka tersesat karena aku. Tidak demi Allah. Adzab dunia jauh lebih ringan daripada adzab akhirat. Dan ridha Allah merupakan sesuatu yang harus dicari. Tidak demi Allah. Aku tidak ingin menjadi sumber fitnah bagi orang awam. Alquran adalah kalam Allah.”
Ia dipenjara karena keyakinannya tersebut. Di penjara itu, apabila ia mendengar azan salat Jum’at, ia segera mandi dan menggunakan pakaian terbaik yang ia miliki. Ketika ia keluar dari sel untuk menuju salat Jum’at, sipir penjara bertanya kemana ia hendak pergi.
Al-Buwaithi menjawab bahwa ia ingin menunaikan salat Jum’at, namun sipir penjara tersebut melarangnya. Ia pun berdoa: “Ya Allah, aku ingin memenuhi panggilan-Mu, namun mereka melarangku.”
Suatu ketika, al-Buwaithi mengirimkan surat kepada temannya, Rabi’. Isi suratnya adalah al-Buwaithi bercerita bahwa ia tidak merasakan besi yang melilit tubuhnya, yang seharusnya seberat 40 Kg. Ia juga berpesan kepada Rabi’ agar berbuat baik kepada orang yang ada di majelis pengajiannya, terutama yang datang dari jauh. Di dalam surat itu, ia mengutip syair gurunya, Imam Syafii:
“Aku hinakan jiwaku sendiri
Agar mereka menghargai jiwa
Jiwa tiada akan pernah terhormat
Bila tidak merendahkan diri”.
Suatu pesan yang sangat penting untuk kita renungkan dewasa ini.