Al-Qur’an adalah kitab bagi umat Islam yang sarat nilai-nilai sastra. Empat belas abad silam, dunia kepenyairan atau kesastraan begitu diagungkan di jazirah Arab. Sastra menjadi tolok ukur untuk segala hal. Mendapat kehormatan, kekayaan, dan menempatkan posisinya di atas apapun. Demikian halnya Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan menjadi daya magis dalam mengalahkan ribuan penyair hebat zaman itu.
Bahasa keindahan dalam Al-Qur’an tentu tidak bisa dipahami dengan mudah oleh orang awam. Kemudian bermunculan terjemahan, tafsir, hingga takwil untuk memudahkan pemahaman dari kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan kumpulan artikel atau cerpen. Al-Qur’an adalah maha karya agung yang mempunyai ribuan teka-teki yang bisa mengilhami siapapun yang ingin mempelajari.
Gaya sastra Al-Qur’an dapat dilihat dari tempo, diksi, dan rima di dalamnya. Kemudian makna tersurat dan tersirat menggunakan analogi dan majas yang begitu indah. Demikian yang menjadikan Al-Qur’an menjadi salah satu kitab yang cenderung mudah untuk dihafalkan. Faktanya, banyak anak usia dini yang sudah menjadi hafiz (penghafal Al-Qur’an).
Sayangnya, banyak orang yang mempelajari Al-Qur’an tapi kurang begitu bisa mengamalkannya. Banyak ustaz, kiai, gus, habaib yang malah kontradiktif dengan perkataan dan perilaku suci yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Integritas sebagai ulama yang akhirnya mempengaruhi ratusan hingga ribuan jamaah untuk berkata dan berperilaku serupa. Bukan lagi agama yang mencitrakan kasih sayang, berubah menjadi agama yang mencitrakan kebencian dan sikap anarkisme.
Al-Qur’an dan Kasih Sayang
الرَّحْمَنُ (١) عَلَّمَ الْقُرْآنَ (٢)
1. (Allah) yang Maha Pengasih,
2. Yang telah mengajarkan Al-Qur’an
Dalam surat Ar Rahman dijelaskan bahwa Al-Qur’an diajarkan oleh Allah Swt, dengan sifat pengasih. Dari 99 asmaul husna yang sering dihafalkan santri pondok pesantren, Allah memilih sifat Ar Rahman sebagai kunci/ landasan utama dalam mengajarkan Al-Qur’an yang melingkupi semua aspek kehidupan. Biasanya Ar Rahman disandingkan dengan Ar Rahim. Rahman adalah bentuk keluasan kasih sayang Allah kepada semua makhluk di muka bumi, sedangkan Rahim adalah bentuk kasih sayang yang diberikan kepada orang-orang yang beriman.
Rasulullah SAW bersabda, “Ciptaan Allah yang pertama adalah akal. Kemudian, Allah memerintah kepada akal, ‘Menghadaplah!’, akal itu pun menghadap. Kemudian Allah memerintahkan, ‘Renungkanlah!’, maka akal itu pun merenung”. Lalu Allah berfirman, “Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku tak pernah menciptakan makhluk yang lebih mulia bagi-Ku daripada engkau. Lantaran engkau, Aku merampas. Lantaran engkau, Aku memberi. Lantaran engkau, Aku mengganjar. Dan lantaran engkau, Aku menyiksa.”
Manusia diberikan akal untuk berpikir tentang mukjizat dari Al-Qur’an. Dari 30 Juz, 114 Surat, dan 6236 ayat (berdasarkan rawi Hamzah bin Hubaib bin Ziyat dari Ibnu Abu Laila dari Abu Abdirrahman bin Habib as-Sulami), Al-Qur’an menjelaskan tentang akidah, sejarah, keadaan masa depan, dan hikmah-hikmah. Belajar Al-Qur’an harus bisa memahami konteks dan substansi dari ayat-ayat yang telah tersusun. Maka dari itu, banyak yang menyarankan untuk berguru (sanad) ketika mempelajari Al-Qur’an.
Lebih dari 90% kandungan Al-Qur’an berbicara mengenai masalah akhlak, yang artinya dalam mempelajari dan mengajarkannya lebih mengedepankan adab daripada ilmu. Hal itu pula yang sedikit menjabarkan bahwa Allah lebih memilih sifat Ar Rahman daripada Al ‘Alim (berilmu). Rasulullah bersabda, “Orang yang mengasihi akan dikashi oleh Yang Maha Pengasih. Sayangilah mereka yang ada di bumi, maka engkau akan disayangi mereka yang di langit.” (HR. Thabrani)
Masalah Dakwah Kekinian
Problemaitka zaman sekarang, orang kecanduan belajar agama tapi tidak menyandarkan pada sanad dan nasab yang jelas. Tekun belajar agama melalui media sosial, kemudian menjadi pengajar (pendakwah) juga dari media sosial. Banyak sekali ditemukan akun-akun medsos yang mengklaim diri menjadi ustaz atau ulama tanpa disertai pengetahuan atau wawasan agama yang mumpuni.
Kekacauan seputar agama diperuncing dengan sikap antusiasme jamaah ketika narasi kebencian terhadap sosok atau kelompok disambut sorak sorai dan apresiasi tinggi. Apalagi ketika politik sudah menjadi warna baru dalam sisipan dakwah. Agama seolah hanya kendaraan mendapatkan popularitas dan kekuasaan.
Ketika ada tokoh alim (pandai) berdakwah begitu menghipnotis jamaah. Kemudian menjadi idola atau pujaan jutaan orang. Ketika goyah menanggung beban popularitas, tokoh tersebut tergelincir pada sikap politis yang akhirnya menyuarakan celotehan kebencian dan sumpah serapah.
Sikap radikalisme dalam berdakwah patut untuk direnungkan kembali. Benarkah agama mengajarkan kebencian dan peperangan? Benarkah agama menghalalkan metode dakwah mengolok-olok sesama? Kemudian dipelajari kembali sejarah dan kisah nabi sebagai pedoman dasar dalam beragama. Sebelum berilmu dengan mengenyam pendidikan di berbagai perguruan tinggi internasional, lebih baik menata kembali akhlak yang penuh kasih sayang kepada sesama.
Jika ilmu dilandaskan pada kebencian, maka aktualisasi dari beragama adalah prasangka untuk saling menyalahkan dan mengalahkan satu sama lain. Sedangkan puncak dari beragama sendiri adalah bagaimana manusia bisa bermanfaat kepada sesama dan alam semesta. Mengajarkan kebencian dan permusuhan hanya akan membelenggu pendakwah itu sendiri dari sikap masyhur nabi dan para alim ulama.
Editor: Dhima Wahyu Sejati