Ahmad syafii Maarif atau yang biasa dipanggil Buya Syafii Maarif merupakan si bungsu dari empat bersaudara. Beliau lahir di ranah Lansek Manih (Sijunjung) lewat rahim seorang Ibu yang bernama Fathiyah dari suku Chaniago. Buya yang saat ini sudah menginjak usia maghrib, masih saja rajin dan aktif menulis di berbagai media. Selain itu, diusia senjanya, agenda utama Buya ialah “turut berbuat sesuatu betapapun kecilnya agar Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara tetap utuh”.
Di samping memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi, Ahmad Syafii Maarif juga dikenal sebagai sosok yang sederhana. Bahkan, kesederhanaannya terlalu ekstrim. Proses pembentukan kepribadian dan karakter Buya tersebut, barang tentu tak lepas dari lingkungan dan peranan rantau yang telah ditempuh dan dilaluinya sekaligus telah menempanya.
Ada dua tipologi budaya Minangkabau, meminjam istilah Mrazek yang dikutip oleh M. Nursam, yakni “dinamisme” dan “anti-parokialisme”. Buya Syafii memilih untuk “mendinamisasikan” dirinya dengan pergi merantau berkat peran M. Sanusi Latief, tokoh intelektual dan guru besar pertama yang berasal dari Sumpur Kudus. Menurut filososfi adat, pergi ke rantau/merantau ialah sebuah jalan untuk memenuhi hukum dasar yang menuntut agar individu menundukkan diri terhadap kebesaran dunia (Abdullah, 2018).
Rantau Lokal: Madrasah Muallimin Lintau
Berdasarkan makna awalnya, rantau ialah suatu perkampungan baru yang berada di luar nagari sendiri. Jadi, merantau berarti pergi meninggalkan nagari asal dan mengeksplorasi nagari lain, baik itu untuk menimba ilmu maupun untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Dikarenakan jumlah penduduk yang semakin bertambah, maka radius rantaupun juga semakin meluas. Sehingga dikenal beberapa istilah tentang rantau, yaitu rantau lokal hingga rantau asing.
Jauh sebelum merantau. semenjak usia belia, Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii sudah bergumul dengan kultur lingkungan Muhammadiyah di kampungnya. Beliau pernah belajar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus dan di madrasah itulah paham Muhammadiyah mulai dipompakan kedalam dirinya. Ketika tamat dari sekolah rakyat (SR) tahun 1947, beliau sempat menganggur selama tiga tahun. Kemudian beliau melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau Buo yang sekaligus menjadi rantau pertamanya.
Dari Yogyakarta hingga Lombok
Tatkala Buya Syafii hampir merampungkan belajarnya di Muallimin Lintau, terbesit pikiran untuk berdagang kecil-kecilan. Namun, retak tangan berkata lain. Pertemuan Buya dengan pelopor gerakan pencerahan intelektual Sumpur Kudus, Sanusi Latief, telah mengurungkan niatannya untuk berdagang. Sehingga, Buya memberanikan diri untuk mengadu nasib di rantau yang lebih luas nan jauh dari kampung halamannya, dengan perbekalan yang jauh dari kata cukup.
Rantau yang dimaksud, tempat pelabuhan Buya berikutnya adalah Yogyakarta. Konon, disebut juga sebagai kota pendidikan. Disamping itu, Yogyakarta juga bisa dikatakan sebagai Ibukota Muhammadiyah. Hal demikian dikarenakan, gerakan Islam reformis tersebut lahir di Kauman pada 1912 dan berada dalam lingkungan kekeratonan Ngayogyakarta.
Barang tentu, agenda utama Buya pergi merantau ke tanah Jawa tersebut adalah untuk menimba ilmu atau dalam ungkapan Minang disebut dengan urang siak (pelajar di sekolah agama). Setelah melalui beberapa proses yang cukup lama, akhirnya beliau bisa menginjakkan kaki di lantai Madrasah Muallimin Yogyakarta selama kurang lebih tiga tahun dan tamat pada 1956.
Tak lama setelah beliau tamat dari Muallimin, datang seorang utusan Muhammadiyah dari Lombok untuk mencari seoroang guru yang hendak diboyong ke sana. Uniknya disini ialah, syaratnya harus orang yang berasal dari Sumatera Barat. Karena saat itu terdapat dua orang santri Muallimin yang berasal dari Sumbar, dan satunya sudah ditugaskan ke daerah lain, maka yang tersisa tinggal Buya seorang. Dengan demikian, berangkatlah Buya Syafii ke Lombok sebagai anak panah Muhammadiyah yang mengabdi selama kurang lebih satu tahun.
Rantau Asing: “Nyantri” ke Barat
Salah satu alasan kenapa Buya tidak melanjutkan pengabdiannya di Lombok, yaitu karena keinginannya yang kuat untuk terus melanjutkan pendidikan. Setelah pamit sebagai anak panah Muhammdiyah di Lombok, Buya melanjutkan studinya di Universitas Cokroaminoto (1957-1964) dan meraih gelar sarjana muda.
Kemudian, beliau melanjutkan pendidikannya di IKIP Yogyakarta (UNY) dengan mengambil prodi sejarah. Beliau meraih gelar S-1 dari IKIP pada tahun 1968 dengan judul skripsi “Gerakan Komunis di Vietnam (1930-1954).”
Setelah meraih gelar sarjana, jiwa perantaupun semakin meronta-ronta. Kali ini Buya merantau ke Barat atau yang disebut dengan rantau asing itu. Ditambah lagi dengan kegemaran Buya untuk menambah ilmu yang semakin digalakkannya. Hal tersebut terbukti tatkala Buya terpilih sebagai mahasiswa di NIU (Northern Illionis University), DeKalb, Amerika pada 1972 dalam bidang sejarah melalui beasiswa Fullbright. Namun, gelar M.A. gagal diraihnya dari universitas tersebut demi urusan keluarga.
Kendati demikian, tujuh tahun kemudian Buya berhasil mengantongi gelar M.A. dari Ohio University, Athens, Amerika. Masih di negara yang sama, gelar Ph.D. juga diraih Buya di negeri Paman Sam itu, namun di kampus yang berbeda, yakni Universitas Chicago.
Di kampus inilah Buya tertular suatu virus. Dengan Alat Pelindung Diri (APD) yang ala kadarnya, akhirnya Buya terpapar oleh “virus” pencerahan utamanya dari Fazlur Rahman selama “nyantri” di Chicago. Virus tersebut ditularkan Rahman melalui berbagai aktivitas yang dilakukan secara luring (luar jaringan) dan tanpa menerapkan social/physical distancing.
Hal terbalik justru terjadi saat ini khususnya, di tanah air. Kendati sudah menerapkan social/physical distancing serta berbagai aktivitas banyak dilakukan secara daring, namun virus corona (SARS-CoV-2) masih saja tetap menular dan telah menumbangkan banyak jiwa. Hal ini tentunya menjadi renungan kita bersama.
Editor: Nirwan