Perspektif

Alasan Para Ulama Memilih Jomblo Tidak Menikah

2 Mins read

Ada ulama berkata: ‘Ilmu mati di antara paha para wanita‘.

Sebut saja Imam ibnu Jarir ath-Thabari, Imam an-Nawawi, Imam al Ghazali, Abu Yazid Al Bustami begitu juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu al Jauzi muridnya—mereka memilih jomblo tidak menikah.

Pengakuan Fathimah binti Abdul Malik saat Umar ibn Abdul Aziz sudah wafat bisa menjadi pelajaran buat kita semua. “Umar ibn Abdul Aziz tidak pernah mandi besar baik karena janabah atau mimpi basah sejak dia diangkat menjadi khalifah sampai dia meninggal”. Pertanyaan yang sama: ‘berapa kali antum mandi jinabah dalam sepekan?

Kehati-hatian Membahas Syariat

Tidak seperti antum—para ulama salaf dan penganjur salaf yang terdahulu sangat hati-hati membahas setiap hukum syariat, termasuk saat membahas tentang poligami. Para ulama itu berkhidmad, cermat dan teliti, setelah ditemukan hukum tetapnya kemudian mereka memilih menjaga hati, berisikap zuhud dan wara’ bukan seperti antum, mengerti sedikit tentang poligami lantas berlomba memajang deret istri seperti buaya di musim kawin.

Sebagian memang suka pada yang paradoks dan pilih-pilih, termasuk memilih ajaran agama mana yang disukai berdasar selera. Poligami salah satunya meski tak semua bersetuju, tapi sebagian besar suka dengan tema ini lantas seakan mengambil maksimal seperti ‘quota paketan’. Ambil 2, 3 dan 4 seperti royok-an.

Setiap ilmu ada adab yang mendahului. Ambil adabnya dulu baru ilmunya. Begitu para ulama salaf berpesan. Itu yang membedakan apakah antum seorang ulama atau seorang yang hanya mengerti sedikit tentang hukum sesuatu. Para ulama mengedepankan sikap zuhud dan wara terhadap hak. Bukan melawan sunah, tapi memillih meninggalkan kesenangan duniawi.

Alasan Para Ulama Tidak Menikah

Imam al-Khathib al-Baghdadi menjelaskan dalam kitab al-Jami’ Lii Akhlaqi ar-Rawi Wa Aadabi as-Sami’: “Dianjurkan agar penuntut ilmu membujang sampai batas yang memungkinkan baginya, karena kesibukannya dalam menunaikan hak-hak suami istri dan mencari penghidupan akan menghalanginya untuk menuntut ilmu”.

Baca Juga  Kapolri Terpilih Non Islam, Apa Salahnya?

Imam Sufyan at-Tsauri mengatakan: ”Siapa yang telah menikah berarti dia telah mengarungi samudra, jika telah lahir seorang anak maka dengan itu perahunya hancur”. Maksudnya seorang yang telah menikah dan juga telah dikaruniai anak maka otomatis waktunya untuk mencari ilmu akan berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.

Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Shaid al-Khathir berkata: “Saya memilih bagi penuntut ilmu yang masih pemula agar menghindari untuk menikah sesuai kemampuannya, bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal tidak menikah sehingga umur beliau mencapai empat puluh tahun”.

Sebuah hal yang mencengangkan datang dari sebuah ungkapan salah seorang ulama:

‎ذُبِحَ العلمُ بين أفخاذِ النساءِ

“Ilmu itu telah disembelih di antara paha para wanita”.

Artinya kenikmatan menikahi seorang wanita terkadang dapat menjadikan seseorang berhenti untuk menuntut ilmu. Ungkapan yang lain menyebutkan: “Ilmu itu telah hilang dalam paha para wanita”.

Perlu kita ingat bahwa para ulama pada masa itu harus melakukan perjalanan melintasi kota atau bahkan melintasi negara untuk menuntut ilmu. Maka jelas berkeluarga pada saat itu dapat menghambat dan menghalangi mereka untuk menuntut ilmu. Hal tersebut mungkin agak berbeda dengan zaman kita sekarang.

Ironi Saat Ini

Ironisnya, sekarang malah berbalik, poligami dipersepsi sebagai anjuran, atau pilihan karena situasi tertentu. Bahkan ada yang memandang semacam hak yang harus diambil maksimal, tapi kewajiban ditunaikan minimal, dengan beraninya mengabaikan perasaan, hati dan tak hirau pada akhlaqul karimah.

Poligami kerap tampil sebagai ilustrasi ‘kerakusan’ laki-laki yang tak bisa dibendung atas perempuan. Maka wajar perempuan darimanapun berasal melakukan perlindungan. Bukan melawan ayat ayat dalam kitab, tapi memilih melindungi diri dari ‘kerakusan’ laki -laki atas nama sunah.

Baca Juga  Terorisme: Dampak Memahami Agama Secara Dangkal

Apa karena ‘hak’ lantas bersorak girang mengabaikan hati dan perasaan? apa ini yang diajarkan Nabi kalian? Mestinya antum belajar adab, akhlaq dan etika, baru belajar ilmu. Nabi menganjurkan berhenti makan sebelum kenyang, tapi kalian sudah terbiasa tak bisa berhenti makan sebelum ke-kenyang-an.

@nurbaniyusuf
Ketua MUI Kota Batu
Penggiat Komunitas Padhang Makhsyar

Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds