IBTimes.ID – Alissa Wahid, founder Gusdurian menyebut tantangan dan peluang gerakan ulama perempuan semakin kompleks di era digital.
Menurutnya, persoalan yang akan dihadapi saat ini adalah semakin berkembangnya eksklusivisme beragama dan ekstrimisme beragama. Segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan tidak lepas dari ultra konservatisme yang semakin kuat.
Hal ini ia sampaikan dalam Halaqah Umum “Gerakan Ulama Perempuan Indonesia: Paradigma, Tantangan dan Peluang Gerakan” di Jepara, Jumat (25/11/22).
“Gelombang ultra konservatisme semakin kuat karena ditopang oleh relasi kuasa. Jika sudah terjadi yang demikian, maka perempuan dan anak akan menjadi korban yang utama. Ketika konservatisme meningkat, maka kemaslahatan keluarga kita akan terganggu dan berantakan,” ujarnya.
Alissa Wahid menyebutkan, dulu nilai konservatisme begitu kecil tapi sekarang telah berhasil melakukan transformasi nilai-nilai di kalangan masyarakat awam.
“Namun siapa kemudian yang bisa menerka dan menolak bahwa narasi-narasi keadilan hakiki yang kita yakini dan kita bawa itu narasi yang baik ternyata kalah tarung di media sosial,” imbuhnya.
Bagi Alissa, hal tersebut terjadi karena cara kita membangun narasi seringkali lepas dari upaya yang sistematis bagaimana manusia mengelola informasi. Makanya, gerakan itu tidak hanya urusan muatan tapi juga bagaimana mengelola gerakan.
Dalam mendorong sebuah perubahan, setidaknya ada empat level penting untuk dipelajari dan pahami. Di antarnya:
Pertama, reaction. Ketika ada kasus kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan kasus-kasus perempuan yang lainnya, kita ikut memberikan reaksi hingga kasusnya selesai. Secara kasus mungkin selesai, namun sistem yang terus melestarikan itu juga selesai. Belum tentu. Jadi, di level ini kita hanya memberikan reaksi.
Kedua, redesigning. Di bagian ini kita akan membicarakan tentang kebijakan yang berubah. Hal ini sudah dilakukan oleh KUPI melalui fatwa-fatwanya sebagai upaya dalam mendorong perubahan kebijakan.
Namun itu tidak cukup, selain perubahan kebijakan juga perlu ada perubahan paradigma, perubahan paradigma, dan perubahan mental model yang ditawarkan oleh sebuah gerakan.
Ketiga, rethinking. Pada bagian ini, KUPI sudah sangat bagus dan kuat. Berhasil menawarkan konsep, paradigma dan mental model yang baru lewat fatwa-fatwanya.
Keempat, regenerating. Membaca kembali sumber utama, ditelusuri kemudian menghasilkan yang baru dari sumber yang sama. Jika ini terus dilakukan, KUPI bisa melakukan perubahan yang substansial.
Alissa menyampaikan, ada empat elemen dalam mendorong perubahan yang harus kita kelola. 1). Urgensi ataupun dorongan dalam melakukan perubahan. 2). Visi yang jelas dan dikomunikasikan kemudiuan disepakati oleh actor-aktor penting. 3). Besarnya kapasitas perubahan. 4). Strategi dalam melakukan perubahan.
“Soal tantangan, peluang dan strategi gerakan KUPI kedepannya yang lebih substansial, di Kongres KUPI yang ke-2 inilah kita akan menemukan jawabannya,” tutur Alissa Wahid.
(Yusuf)