Tafsir

Allah Mewajibkan Shiyam di Bulan Ramadhan, Bukan Shaum. Apa Bedanya?

3 Mins read

Dalam Al-Quran, puasa diungkapkan melalui dua lafaz, yaitu shaum (صوم) dan terkadang memakai kata shiyam (صيام) , keduanya sama-sama berarti puasa. Lalu apa bedanya?

Konteks Shaum dalam Al-Qur’an

Kata “Shaum” yang ditulis menggunakan tiga huruf ini, disebutkan satu kali di dalam Al-Qur’an, yakni di Surat Maryam ayat 26: “fa kuli wa syrabi wa qarri ‘aina, fa imma tarayinna min al-basyari ahadan fa quuli inni nadzartu li al-rahmani shauma, fa lan ukallima al-yauma insiyya”.

Dalam ayat tersebut, para mufassir mengartikan shaum dengan al-shamt yang bermakna diam; tidak berkata dan menahan diri dari berkata. Hal tersebut dipertegas dengan kalimat setelahnya, “fa lan ukallima al-yauma insiyya,” (Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun hari ini.)

Dalam kamus Lisan al-‘Arab karya Ibnu al-Mandzur, shaum artinya tark al-tha’am wa al-syarrab wa al-nikah wa al-kalam” (tak makan, minum, berhubungan intim, dan berkata-kata). Shaum dikatakan lebih umum, yaitu menahan diri dari segala perbuatan atau perkataan, baik karena berpuasa (sebagaimana dalam konteks fikih) atau tidak.

Tidak hanya dalam hal-hal yang membatalkan puasa secara fikih saja, namun juga menahan dari berbagai perbuatan dan ucapan lainnya yang tidak ada kaitannya dengan syariat puasa, sekalipun itu tidak termasuk ibadah.

Hal ini telah dijelaskan dalam arti shaum pada surat Marya ayat 26, “Makan dan minumlah serta bersenang-senanglah. Jika engkau melihat seseorang (mengingkari keadaanmu yang melahirkan anak tanpa ayah) maka (berilah isyarat) bahwa engkau sedang melaksanakan shaum (sehingga) tidak akan berbicara kepada siapa pun hari ini.”

***

Tentu kata shaum pada ayat ini bukan berarti tidak makan dan minum karena awal ayatnya memerintahkan beliau makan dan minum. Kata shaum di sini berarti menahan diri tidak berbicara karena ketiadaan manfaat pembicaraan ketika itu.

Baca Juga  Yang Luput dari Pembahasan Kisah Ashabul Kahfi

Oleh karena itu, puasa dengan konteks shaum ini, hendaknya dilaksanakan sepanjang tahun, bahkan sepanjang masa hidup sejak bangun tidur sampai tidur. Rasulullah Saw berpesan: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah dia berucap yang baik atau diam saja.”

Menjaga lidah dari ucapan buruk adalah sebuah keharusan. Lebih-lebih di bulan Ramadhan ini. Karena itu, Rasul berpesan: “Kalau salah seorang di antara kamu berpuasa lalu ada yang memakinya, maka hendaklah dia berucap: Ya Allah, aku berpuasa.”

Maksudnya, hendaklah dia menanamkan dalam benaknya bahwa shaum melarangnya untuk mengucapkan sesuatu yang buruk.

Quraish Shihab menekankan, jangan berkata bahwa yang terlarang itu hanya ucapan buruk yang tidak benar. Tidak! Ucapan buruk apa pun, harus dihindari. Tentu saja, lebih-lebih yang tidak benar (fitnah).

Konteks Shiyam dalam Al-Qur’an

Lafaz shiyam yang memakai empat huruf ini, disebutkan dalam Al-Qur‘an sebanyak sembilan kali yang terdapat di dalam tujuh ayat, yaitu di surah Al-Baqarah ayat 183, 187, dan 196, surah Al-Nisa ayat 92, surah Al-Maidah 89 dan 95, dan surah Al-Mujadalah ayat 4.

Seluruh kata Shiyam dalam ketujuh ayat tersebut bermakna puasa lebih spesifik secara fikih. Yaitu imsak ‘an al-‘akl wa al-syurb wa al-jima’ min thulu’ al-fajr ila ghurub al-syams ma’a al-niyyah. 

Tak makan, tak minum, dan tak berhubungan intim sejak fajar terbit hingga matahari terbenam. Konteks ini lebih menekankan kepada puasa makan dan minum yang dilaksanakan pada waktu tertentu dan masa tertentu, yakni hanya sebulan di siang hari.

Dari sini kita tahu berpuasa tak hanya secara fikih, tak hanya menahan diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa secara fikih, tapi juga berpuasa dari segala hal dan sifat buruk. Menahan diri dari makan, minum, dan seks hanyalah bagian kecil dari shaum yang kita niatkan dalam setiap berpuasa. 

Baca Juga  Sejarah Singkat Puasa Ramadhan dalam Islam

Dari sini kita juga tahu hikmah lain: kenapa yang diwajibkan oleh Allah adalah shiyam, bukan shaum (ya ayyuhalladzina amanu kutiba ‘alaikum al-shiyam), yaitu karena shaum lebih berat daripada shiyam.

Jika shiyam diwajibkan hanya pada siang hari Ramadan, shaum diwajibkan pada setiap saat di sepanjang hayat. 

Shiyam lebih bersifat khusus dalam aspek ruh maknanya. Hal ini perlu ditekankan karena perbedaan makna tetap saja ada dalam sinonim sekalipun, tetapi bukan pada redaksi pemaknaannya, tetapi pada aspek puasa yang syari’dengan segala aturannya sehingga digunakan Allah Swt. dalam Al-Baqarah ayat 183 dan 187.

Antara Shaum dan Shiyam, Mana yang Lebih Utama di Sisi Allah?

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Allah berfirman puasa (shaum) itu untukKu, dan Aku sendiri yang akan membalasnya”

dalam hadis qudsi di atas, shaum lah yang disebut-sebut akan diberi pahala langsung oleh-Nya.

“Shiyam merupakan bagian dari arti “shaum”. Sementara, “shaum” tidak pasti berarti shiyam.

Menahan diri dari angkara murka, menahan diri dari mengungkapkan rasa cinta, menahan diri dari mencaci sesama. semua itu disebut shaum dan tidak bisa disebut shiyam.

Barangkali dari sini kita tahu hikmah kenapa dalam niat puasa yang digunakan adalah diksi “shaum”, bukan “shiyam”: Nawaitu shauma ghadin ‘an adai fardhi syahri ramadhani hadzihis sanati lillahi ta’ala. Begitu pula dalam hadis qudsi Allah Swt. Berfirman as-shaumu li wa ana ajzi bihi (as-shaum hanya untukku dan Aku yang akan membalasnya)

 Wallahua’lambisshowwab.

Editor: Yahya FR

Tsaqifa Aulya Afifah
4 posts

About author
Mahasiswa
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds