Tafsir

Pemikiran Politik dalam Perspektif Al-Qur’an

4 Mins read

Sulit mengatakan bahwa demokrasi Barat yang selama beberapa puluh tahun berusaha ditiru dan dipraktikkan oleh negara-negara di luar Barat, termasuk dunia Islam, masih bisa diharapkan manfaatnya. Terlalu banyak fakta yang menguatkan gejala betapa mudhorot-nya penerapan demokrasi Barat bagi negara-negara non-Barat dan khususnya dunia Islam.

Tragedi kemanusiaan paska invasi Barat ke Afghanistan, Irak, dan Suria, hanya menghasilkan tragedi terbununya hampir 2 juta manusia plus lebih dari 6 juta pengungsi yang keluar dari negerinya sendiri. Sebagai akibat dari perang yang sengaja dikobarkan Barat. Padahal, tak ada satupun dari ketiga negara tersebut yang terbukti menyerang Barat.

Hal ini dikarenakan politik dalam keyakinan Barat, merupakan struggle for power (perebutan kekuasaan) yang dijalankan dengan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Dengan kata lain, demokrasi Barat, khususnya demokrasi Amerika, jelas memiliki kelemahan fundamental yang sangat beresiko jika diterapkan di dunia Islam. Lalu apakah ada alternatif lain yang bisa dijadikan pegangan dalam membangun politik dan peradaban?

Gejala Politik dalam Al-Qur’an

Islam sesungguhnya telah memberikan cukup banyak petunjuk tentang kehidupan politik manusia. Karena Al-Qur’an memang diturunkan sebagai rahmatan lil alamin. Sebelum kita membahas bagaimana Al-Qur’an membicarakan politik, terlebih dahulu kita akan membicarakan bagaimana Al-Qur’an mengajak manusia untuk memahami gejala politik.

Pertama, manusia cenderung bermusuhan satu sama lain. Sebagaimana firman Allah setelah Nabi Adam melakukan kesalahan di surga (karena bujukan Iblis) dan diminta turun ke bumi: “(Allah) berfirman: Turunlah kamu! Kamu akan saling bermusuhan satu sama lain. Bumi adalah tempat kediaman dan kesenanganmu sampai waktu yang telah ditentukan” (QS 7 Al A’raf: 24).

Di samping itu, ada faktor eksternal yang juga mengkondisikan terciptanya permusuhan sesama manusia. Yaitu sumpah Iblis setelah diusir dari surga karena tidak bersedia bersujud kepada Nabi Adam: “(Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus” (QS 7 Al A’raf: 16).

Baca Juga  Kiai Pesantren Mengajarkan Santri Politik yang Bermartabat

Kedua, manusia cenderung menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan utama hidupnya sebagaimana firman Allah berikut: “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS 3 Ali Imran: 14).

Perebutan nikmat dunia sebagaimana di atas merupakan sumber lain yang juga menciptakan permusuhan antar manusia. Kecenderungan bermusuhan satu sama lain dibuktikan ketika Qabil, yang tidak menerima calon istrinya yang tak secantik calon istri Habil, memutuskan untuk untuk membunuh Habil saudara kandungnya sendiri.

Tragedi pembunuhan manusia pertama di dunia ini merupakan tradisi menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginan atau tujuannya. Dan kelak akan ditiru oleh manusia lain yang ingin menguasai nikmat dunia. Karena setiap manusia memiliki dorongan untuk berbuat buruk (faalhamaha fujuroha) atau baik (wataqwaha) sehingga setiap manusia berpeluang menggunakan nafsu serakah atau nafsu membunuh kecuali mereka yang membersihkanya (qodaflaha mandzakaha).

Prinsip-prinsip Dasar dalam Berpolitik Menurut Al-Qur’an

Mengingat beberapa watak dasar manusia di atas, ada beberapa prinsip dasar yang menjadi landasan manusia dalam berpolitik.

Penegakan Keadilan dan Menghindari Hawa Nafsu

Prinsip pertama, dalam mengelola kehidupan politik, diperlukan kemampuan dan kesediaan untuk menegakkan keadilan dan menjauhi hawa nafsu (QS 38 Shad: 26). Prinsip penegakan keadilan ini sangat fundamental maknanya. Karena keserakahan dan kebencian manusia terhadap manusia lain, antara lain, bersumber dari ketidaksediaan untuk menjadikan penegakkan keadilan sebagai pondasi dasar politik manusia.

Itulah sebabnya ketika Allah menjadikan Nabi Daud sebagai khalifah di bumi, pesan pertama dan utama adalah perintah kepada Daud untuk menjadikan keadilan sebagai prinsip dasar politik. Dan perlu digarisbawahi di sini bahwa “adil itu lebih dekat kepada takwa.”

Baca Juga  MY Esti Wijayati, Legislator Perempuan di Balik Perjuangan Panjang UU TPKS

Sementara itu, larangan mengikuti hawa nafsu memperkuat prinsip penegakan keadilan karena jika elit politik hanya mengejar hawa nafsu, maka ujung-ujungnya adalah penyalahgunaan kekuasaan. Yang jika tak terkontrol, akan menjadikanya sebagai penguasa yang zalim sebagaimana dicontohkan, antara lain, oleh Firaun.

Penciptaan Perdamaian

Prinsip kedua, penciptaan perdamaian antar manusia sebagaimana disebutkan dalam (QS 49 Al Hujurat: 10 dan QS 4 An Nisa: 114). Prinsip penegakkan perdamaian ini sangat vital fungsinya untuk mengerem kecenderungan bermusuhan manusia satu sama lain.

Tanpa adanya prinsip perdamaian, manusia akan terjerumus dalam prinsip struggle for power terus menerus yang diyakini para pemikir dan pelaku politik Barat selama ratusan tahun. Kecenderungan Barat untuk selalu mengobarkan peperangan dikarenakan karena ketiadaan keyakinan terhadap perdamaian yang bagi mereka berpotensi menghalangi nafsu berperang sebagai sarana mendominasi dunia.

Karena bagi para pemuja perang, peperangan selain untuk membuktikan kemampuan mendominasi dunia, sekaligus merupakan ladang keuntungan material bagi para elit politik dan ekonomi (kontraktor senjata) Barat. Islam, dengan demikian, menekankan pentingnya membangun perdamaian dalam kehidupan manusia.

Keunggulan Manusia (Bangsa) dalam Hubungan Internasional

Prinsip ketiga dalam Islam adalah keunggulan manusia dan, dalam skala lebih luas, masyarakat atau bangsa diukur berdasarkan derajat ketakwaannya (QS 49 Al Hujurat:13). Bukan berdasarkan kekuatan militer, ekonomi, dan teknologinya semata.

Ayat ini menyatakan bahwa hubungan internasional merupakan proses saling mengenal satu sama lain (li taarafu). Berlawanan dengan prinsip Barat yang mengeksploitasi hubungan internasional untuk mendominasi dan menguasai sumber-sumber alam negara lain. Karena bagi Barat, semakin kaya dan kuat sebuah negara, semakin tinggi statusnya di dunia. Sehingga,  negara-negara berlomba-lomba menjadi negara paling kuat secara ekonomi, politik, teknologi,  dan budaya.

Prinsip ini bertentangan dengan prinsip Islam yang mengukur kemuliaan manusia dari derajat takwanya. Sehingga pola hubungan internasional Barat yang cenderung eksploitatif dan dominatif, dapat dikendalikan sedemikian rupa untuk dikembalikan pada fungsi utama sebagai proses saling mengenal satu sama lain atau membangun kerjasama atau tolong-menolong dalam kebaikan antar bangsa.

Baca Juga  Hubungan Fujur dan Taqwa dengan Kepercayaan Kita

Melarang Korupsi

Prinsip keempat, Al-Qur’an juga mengingatkan kepada manusia untuk menghindari kecenderungan perilaku koruptif (QS 2 Al Baqarah: 88). Prinsip ini jelas merupakan peringatan pentingnya manusia menjauhi perbuatan korupsi yang dalam ayat tersebut disebutkan sebagai memakan harta dengan cara yang batil bahkan menyuap hakim untuk menguasai harta orang lain.

Penegakkan Hukum Tanpa Pandang Bulu 

Prinsip kelima, penegakkan hukum (keadilan) dilakukan tanpa pandang bulu (QS 4 An Nisa: 135). Prinsip ini menghindarkan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang masih kuat di Indonesia. Terbukti dalam hal penegakan undang-undang anti-korupsi Indonesia masih berada pada ranking 85 ditingkat dunia.

Membangun Masyarakat Beriman dan Bertakwa

Prinsip keenam ini mengajarkan manusia agar dibangun masyarakat beriman dan bertakwa untuk menjamin melimpahnya berkah dari langit dan bumi (QS 7 Al A’raf: 96).

Kesejahteran Bagi Yang Lemah  

Prinsip ketujuh, bahwa politik dalam Islam berorientasi pada peningkatan dan penjaminan terpenuhinya kesejahteraan warga yang kekurangan sebagai bagian dari proses menuju derajat takwa (QS 2 Al Baqarah: 177).

Secara fundamental, sesungguhnya proses politik dalam Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan manusia atau masyarakat beriman dan bertakwa. Penegakan keadilan, perdamaian antar bangsa dan kelompok, penegakkan hukum tanpa pandang bulu, penjaminan kesejahteraan bagi masyarakat yang kekurangan, adalah rangkaian amal saleh yang menyertai orang-orang beriman dalam perjalanannya menuju derajat takwa.

Politik dalam Islam, dengan demikian, merupakan proses besar menuju terbentuknya manusia-manusia bertakwa yang senantiasa beramal saleh. Karena tanpa adanya amal saleh, derajat takwa tak akan pernah tercapai.

Dengan demikian, politik dalam Islam bukan sekedar merebut dan membagi-bagi kekuasaan dan nikmat dunia dengan menghalkan segala cara. Namun berorientasi pada pencapaian kehidupan akhirat melalui serangkaian amal saleh.

Editor: Yahya FR
Avatar
6 posts

About author
Guru Besar Program Doktor Politik Islam-Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta I Anggota Majelis Tabligh PWM DIY
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *