Inspiring

Abu Yusuf: Peran Pajak Saat Pandemi COVID-19

4 Mins read

Dalam menjalankan pemerintahan yang baik, berbagai kebijakan ekonomi digunakan pemerintah untuk mengelola perekonomian, terutama selama pandemi COVID-19.

Indonesia merupakan salah satu negara yang terinfeksi COVID-19. Sejak 5 Juli 2020, telah tercatat sebanyak 63.749 kasus positif. Di antaranya ada 29.105 yang dinyatakan sembuh dan 3.171 orang meninggal (dikutip dari: www.kemkes.go.id).

Kondisi Perekonomian Indonesia saat pandemi COVID-19, menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, telah memperkirakan perekonomian Indonesia akan mengalami kontraksi hingga 3,8% pada kuartal II.

Pada kuartal I, ekonomi hanya mampu tumbuh 2,97%. Pertumbuhan ekonomi minus diperkirakan berlanjut hingga kuartal III, di angka 1,6%. Pertumbuhan ekonomi diprediksi mulai positif lagi pada kuartal IV di angka 3,4%.

Secara keseluruhan, Sri Mulyani memperkirakan ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh di kisaran -0,4% hingga 1%. Pada tahun 2019, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh 5,02%. Sementara, Bappenas memperkirakan pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh -0,4% hingga 2,3%.

Sebelum pandemi COVID-19, perkiraan pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 5,3%. Semua lini penyokong pertumbuhan ekonomi diperkirakan mengalami kontraksi, kecuali konsumsi pemerintah.

Peran pajak sangat berpengaruh untuk membantu mengatasi pandemi COVID-19, khususnya dalam segmen pendanaan. Juga dibutuhkan peran serta kebijakan-kebijakan pemerintah untuk menangani dan menanggulangi kemerosotan perekonomian Indonesia tersebut. Salah satu caranya adalah dengan pendistribusian pajak yang merupakan pendapatan negara terbesar di Indonesia.

Konsep Pajak Menurut Abu Yusuf

Abu Yusuf telah membahas tentang kemampuan dan kemudahan para pembayar pajak dalam pemungutan pajak. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang harus dikelola dengan baik. Dengan pengelolaan pajak yang baik, ia akan memberikan hasil yang maksimal untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

Pelaksanaan pajak telah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW dan penerapannya masih terus berlanjut. Pada masa Abbasiyah, hadir seorang ulama bernama Abu Yusuf yang diminta untuk menulis sebuah buku komprehensif, yang dapat digunakan untuk permasalahan perpajakan. Buku tersebut berjudul al-Kharaj.

Abu Yusuf sendiri telah mengemukakan prinsip perpajakan dengan sangat jelas, yang kemudian dikenal sebagai canons of taxation oleh para ekonom. Kesanggupan membayar, kelonggaran waktu bagi pembayar pajak, dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekannya.

Baca Juga  Onti dan Sumpah Dokter Milenial

Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad Al-Anshari Al-Jalbi Al-Kufi Al-Baghdadi atau yang lebih dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di Kuffah pada tahun 113 H. Abu Yusuf terkenal sebagai ahli tata kelola keuangan negara.

Setidaknya ada dua hal yang menjadi kontribusi besar Abu Yusuf dalam perkembangan ilmu ekonomi, yakni pemikirannya tentang konsep keuangan publik (perpajakan) dan mekanisme pasar (hukum supply dan demand).

Prinsip Dasar Pemikiran

Yang menjadi prinsip dasar pemikiran Abu Yusuf tentang ekonomi adalah bahwa semua kekayaan yang dikumpulkan dan dikelola oleh khalifah adalah amanah dari Allah yang akan dimintai pertanggung jawaban. Semua kebijakan negara harus mengedepankan aspek kepentingan rakyat seluas-luasnya.

Menurut Abu Yusuf, perlu adanya pemberlakuan pajak pada suatu negara dengan alasan pengembangan infrastruktur sosial ekonomi, mewujudkan keadilan dan efisiensi, banyaknya daerah yang perlu dikembangkan khususnya untuk ekonomi pada sektor pertanian, dan investasi negara untuk keberlangsungan negara dan jaminan sosial.

Dalam konsep perpajakan, Abu Yusuf lebih mengunggulkan sistem pajak proporsional (muqasamah) dibandingkan sistem pajak tetap (misahah).

Misahah adalah metode penghitungan kharaj yang didasarkan pada pengukuran tanah tanpa mempertimbangkan unsur kesuburan tanah, irigasi dan jenis tanaman. Sedangkan, metode muqasamah adalah tingkat pajak yang didasarkan pada ratio tertentu dari total produksi yang dihasilkan.

Abu Yusuf menilai sistem pajak proporsional (muqasamah) lebih adil dan tidak memberatkan bagi para petani. Sedangkan, sistem pajak tetap (misahah) tidak memiliki ketentuan apakah harus ditarik dalam jumlah uang atau barang. Konsekuensinya, ketika terjadi fluktuasi harga bahan makanan. Antara perbendaharaan negara dengan para petani akan saling memberikan pengaruh negatif.

Abu Yusuf juga menjelaskan mengenai restrukturisasi mekanisme pemungutan pajak dengan menerapkan kebijakan dengan sistem muqasamah. Pungutan pajak bisa bertambah dan berkurang, tergantung pada produktivitas pengelolaan lahan/tanah dan status pajak yang diubah dari sistem dzimmah (pajak perlindungan) kepada sistem musyarakah (kerja sama rakyat dengan pemerintah) dalam sektor pertanian.

Baca Juga  Ibnu Miskawaih: Penggunaan E-Money di Masa New Normal

Kontribusi Pemikiran Abu Yusuf Mengenai Pajak dalam Pandemi COVID-19

Berdasarkan pemikiran Abu Yusuf, pemerintah Indonesia tentunya perlu menerapkan pola kebijakan yang relevan dengan kehidupan di zaman ini, agar kesejahteraan perekonomian umat dapat tercapai. Apalagi saat ini, dunia khususnya Indonesia, sedang mengalami pandemi COVID-19.

Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama pemimpin negara, yakni Presiden, yang harus mewujudkan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Pemungutan pajak di Indonesia menggunakan prinsip self assesment, yaitu suatu prinsip dengan memberi wewenang, kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Abu Yusuf, pajak yang menggunakan sistem muqasamah, yakni sistem pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional.

Berkaitan dengan perbendaharaan negara, di dalam kitab al Kharaj karya Abu Yusuf, terdapat pembahasan ekonomi publik. Dalam hal ini, negara memiliki peranan penting dalam penyediaan fasilitas publik yang dibutuhkan rakyat saat pandemi COVID-19 ini.

Relevansi pemikiran Abu Yusuf tersebut dengan keadaan sekarang adalah pembangunan rumah sakit atau tempat karantina untuk menampung pasien yang sudah positif terinfeksi COVID-19, Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan Orang Dalam Pemantauan (ODP).

Hal itu sudah sesuai dengan konsep ekonomi Islam, di mana negara harus menyediakan berbagai fasilitas yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat umum saat pandemi COVID-19.

Meskipun penurunan omset Wajib Pajak dipastikan akan terjadi akibat adanya wabah virus ini, tetapi hal positifnya adalah peluncuran aturan pemberian insentif kepada Wajib Pajak.

Rendahnya penerimaan pajak akibat dampak dari COVID-19 adalah konsekuensi yang harus diterima pemerintah. Namun, bukan berarti hal buruk tersebut juga diperburuk dengan tindakan menunda kewajiban perpajakan yang memiliki peran penting.

Baca Juga  Apakah Prinsip Ekonomi Syariah Mampu Menjawab Resesi Ekonomi Saat Ini?

Peran Penting Wajib Pajak

Peran Wajib Pajak dengan tidak menunda kewajiban perpajakan secara tidak langsung sudah membantu negara dalam berjuang memfasilitasi para tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam menyembuhkan dan menghentikan laju wabah ini. Setidaknya, inilah cara Wajib Pajak dalam upaya mendukung pemberantasan pandemi COVID-19

Pendapatan negara tidak hanya berasal dari pajak, tetapi juga berasal dari ‘usyr (Bea Cukai), zakat, infaq, dan shadaqah.

Pendapatan negara tersebut tidak hanya digunakan untuk memenuhi fasilitas kesehatan dan membantu masyarakat yang terkena dampak pandemi COVID-19 saja, tetapi juga dialokasikan untuk gaji pegawai, karena pemerintah harus bertanggung jawab dan memberikan gaji yang layak bagi pegawai yang telah bekerja untuk pelayanan publik, khususnya dalam membantu menanggulangi virus corona ini yang diambil dari pajak.

Gaji yang layak tersebut diberikan kepada garda terdepan dalam menanggulangi COVID-19, yakni para dokter, perawat, dan juga tenaga medis. Tenaga medis merupakan orang yang paling rawan terpapar virus ini. Karena merekalah yang lebih awal melakukan penanganan setelah adanya kasus.

Tanggung jawab dan tugas mulia seorang dokter serta para medis untuk menolong pasien adalah hal yang harus diutamakan, apapun risikonya. Mereka bekerja, dengan kemungkinan risiko besar tertular virus yang dibawa oleh pasien.

Di samping itu, Tugas utama pemimpin negara adalah mewujudkan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Saat pandemi COVID-19, rakyat membutuhkan sekali bantuan dari pemerintah untuk kelangsungan hidup mereka, seperti fasilitas kesehatan untuk menunjang orang-orang yang positif maupun yang terdampak COVID-19 dan bantuan kebutuhan pokok, karena sebagian masyarakat harus bekerja dari rumah bahkan kehilangan pekerjaannya.

Oleh sebab itu, peran pemerintah serta kebijakan-kebijakan yang diambilnya untuk menanggulangi COVID-19 ini sangat dibutuhkan, terutama pengadaan bantuan kepada masyarakat yang berasal dari pajak.

Editor: Lely N

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surabaya
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *