Setiap Muslim pasti mendambakan amal saleh yang diterima. Karena hanya amal saleh-lah yang kelak bisa menemani dan menyelamatkan kita di negeri akhirat. Kita harus mengetahui tanda-tanda suatu amal diterima, agar kita bisa lebih berhati-hati dalam beramal sehingga amal kita tidak tertolak.
Ada tanda-tanda suatu amal diterima yang telah dirumuskan oleh para ulama dengan bersumber pada Al-Qur’an dan hadis. Namun dari beberapa tanda yang telah dirumuskan oleh para ulama tersebut, dapat diringkas setidaknya menjadi 5 tanda utama.
Amal Saleh yang Diterima dan Tandanya
Perasaan khawatir atau takut jika amal tidak diterima adalah tanda pertama amal saleh yang diterima Allah swt. Jika sampai hari ini kita tidak memiliki rasa takut amal kita tidak diterima, maka kita harus hati-hati. Jangan-jangan amal kita tidak diterima.
Betapa banyak orang yang merasa bahwa amalnya seolah-olah sudah pasti diterima Allah swt. Banyak orang yang tidak memiliki rasa takut jika amalnya tidak di terima. Baik sangka memang perlu, tapi merasa amal sudah diterima adalah suatu tanda amal tersebut tidak diterima.
Diceritakan bahwa ulama-ulama terdahulu begitu semangat untuk menyempurnakan amalan mereka, kemudian mereka berharap-harap agar amalan tersebut diterima oleh Allah dan mereka selalu khawatir jika amalnya tertolak. Mereka inilah yang disebutkan dalam firman Allah:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al Mu’minun: 60)
Menanggapi ayat tersebut, dalam suatu hadis diceritakan bahwa istri Rasulullah saw., Aisyah ra. bertanya kepada Rasulullah:
يَا رَسُولَ اللَّهِ (وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ) أَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِى يَزْنِى وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ « لاَ يَا بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ – أَوْ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ – وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ وَيُصَلِّى وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُتَقَبَّلَ مِنْهُ ».
“Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khomr?” (Kok sampai mereka takut amalnya tidak diterima, Pen.) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Tidak, wahai putri Ash Shidiq (maksudnya Abu Bakr Ash Shidiq, Pen.)! Justru mereka adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah dan yang shalat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Rasa takut dan khawatir amal tidak diterima ini sangat penting dimiliki seorang Muslim. Karena sikap tersebut akan mendorong kepada sikap hati-hati. Sehingga setiap amal shalih yang dikerjakan selalu diiringi dengan doa agar amal tersebut diterima. Inilah yang dicontohkan oleh Nabiyulah Ibrahim as. dalam doanya yang diabadikan di dalam Surat Al-Baqarah ayat 127:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Ya Tuhan kami, terimalah amal dari kami. Sungguh Engkaulah yang Mahamendengar Mahamengetahui.”
Dalam hadis yang sangat populer, juga disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. setiap habis salat subuh selalu berdoa:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْماً نَافِعاً، وَرِزْقاً طَيِّباً، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amal yang diterima”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu as-Sunni)
Jika Nabi Ibrahim as. dan Nabi Muhammad saw. saja masih berdoa kerena khawatir amal salehnya takut tidak diterima Allah swt., maka terlalu sombong jika kita tidak mau berdoa. Para Nabiyullah yang telah dijamin masuk surga saja masih berdoa, masa kita yang belum tentu masuk surga tidak mau berdoa agar amal kita diterima?
Merasa Amal Ibadah yang Dikerjakan Masih Sedikit
Merasa amal ibadah masih sedikit adalah tanda kedua amal saleh yang diterima. Merasa amal masih sedikit ini penting dimiliki seorang Muslim. Mengapa demikian?
Karena dengan kita merasa amalnya masih sedikit, hal tersebut akan mendorong kita untuk lebih giat lagi untuk menambah dan menyempurkan dengan amal-amal yang lainnya. Seperti amal-amal sunnah: shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah dan lain-lainnya.
Merasa amal masih sedikit ini akan mendorong kepada sikap tidak hanya puas hanya dengan menjalankan ibadah-ibadah yang wajib saja. Karena dengan sikap merasa puas atau merasa sudah cukup dengan menjalankan ibadah wajib, maka ibadah yang sunnah terancam akan ditinggalkan.
Menyikapi hal ini, Imam Ibnul Qoyyim pernah berkata:
“Tanda diterimanya amal shalih yaitu saat hati merasa bahwa amal shalih masih hina dan kecil. Sampai orang-orang yang benar-benar mengenal Allah, selalu beristighfar setiap usai melakukan ibadah. Adalah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bila selesai salam dari shalat, beliau beristighfar sebanyak tiga kali. Allah juga telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk beristighfar setelah selesai melakukan ibadah haji. Allah juga memuji mereka yang beristighfar setelah melakukan shalat malam. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan taubat dan istighfar usai berwudhu.”
Dengan merasa bahwa amal saleh kita masih sedikit, maka kita tidak akan mudah untuk menyepelekan amal-amal sunnah, sekecil apapun itu. Karena sebagaimana ayat yang telah disebutkan di muka tadi, “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya” (Q.S. Al-Zalzalah: 7)
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa menjelang subuh di Madinah, Istri Rasulullah saw., Aisyah ra. melihat kaki suaminya, Nabi Muhammad saw., sudah bengkak-bengkak. Beberapa Riwayat menjelaskan bahwa manusia maksum tersebut baru saja menyelesaikan shalat malam (tahajjud/qiyamullail) sebelas rakaat sampai kakinya bengkak-bengkak.
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Abdillah Huzaifah Ibnu Yaman, Rasulullah dalam shalatnya tersebut membaca surah Al-Baqarah, Ali Imran, dan An-Nisa. Baginda Nabi membaca surat-surat tersebut dengan tartil (perlahan). Sehingga shalat Nabi panjang dan lama.
Melihat hal tersebut, Sayyidah Aisyah ra. bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perbuat (shalat sampai kakinya bengkak. Pen.), sedangkan dosamu yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni.” Lalu beliau menjawab, “Wahai Aisyah, tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”. (HR. Muslim).
Hadis dari Sayyidah Aisyah ra. di atas menggambarkan betapa gigihnya Nabi saw. dalam beribadah. Padahal Nabi sudah pasti dijamin masuk surga. Hadis ini seolah-olah menampar kita yang belum tentu dijamin masuk surga, namun masih saja bermalas-malasan dalam beribadah.
Jika Nabi saja masih gigih dalam beribadah, maka seharusnya kita sebagai manusia yang berlumur dosa, jauh lebih lebih gigih lagi dalam beribadah. Mari, kita lawan sifat malas beribadah. Jadikan Ramdahan sebagai momentum terbaik kita untuk hijrah menjadi hamba yang lebih gigih lagi dalam beribadah.
Tidak Membanggakan Amal yang Dikerjakan
Dikisahkan di dalam kitab Mukasyafatul Qulub karya Imam Ghazali, dahulu ada seorang yang taat beribadah bernama Abu bin Hasyim. Hasyim dikenal sebagai seseorang yang tidak pernah meninggalkan shalat tahajud (qiyamullail) selama puluhan tahun.
Sebagian sumber ada yang mengatakan bahwa Hasyim tidak pernah sekalipun meninggalkan shalat tahajud (qiyamullail) selama dua puluh tahun berturut-turut. Terbayang, betapa salehnya orang ini.
Suatu ketika, pada saat Hasyim akan mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat tahajud, tiba-tiba Hasyim dikagetkan dengan keberadaan sesosok makhluk yang berdiri di dekat tepat wudhu. Hasyim pun bertanya kepadanya:
“Wahai hamba Allah, siapakah engkau?”. Sambil tersenyum, sosok itu menjawab: “Aku adalah Malaikat utusan Allah SWT.” Hasyim terkejut, sekaligus bangga karena dikunjungi tamu yang tidak biasa, yaitu Malaikat mulia. Kemudian Hasyim bertanya kepada Malaikat tersebut: “Apa yang sedang kamu lakukan disini?”. Malaikat tersebut menjawab: “Aku disuruh untuk mencari hamba pecinta Allah SWT.”
Melihat malaikat tersebut membawa sebuah buku tebal membuat Hasyim penasaran hingga ia bertanya lagi: “Wahai malaikat, buku apakah yang engkau bawa?”. Sang Malaikat menjawab: “Ini adalah buku yang berisi kumpulan nama-nama para hamba pecinta Allah SWT”.
Mendengar jawaban tersebut, Hasyim berharap dalam hatinya bahwa namanya terdapat dalam buku catatan amal saleh yang diterima tersebut. Lalu bertanyalah Hasyim kepada sang Malaikat: “Wahai Malaikat, adakah namaku tercantum di situ?
Hasyim yang dikenal ahli ibadah, merasa bahwa namanya pantas tercantum di dalam buku tersebut. Karena Hasyim merupakan sosok yang selalu menunaikan shalat tahajud setiap malam selama bertahun-tahun tanpa putus. Disaat orang-orang tertidur lelap, Hasyim selalu bangun disepertiga malam untuk berdo’a dan bermunajat kepada Allah SWT.
***
Kemudian sang Malaikat memeriksa nama Abu bin Hasyim di dalam buku tersebut. Namun sang Malaikat tidak menemukan namanya. Kemudian Hasyim meyakinkan kembali agar sang Malaikat memeriksa sekali lagi, barangkali namanya terlewatkan. Namun sang Malaikat tetap tidak menemukan namanya. Sang Malaikat kemudian berkata kepada Abu bin Hasyim: “Betul, namamu tidak ada di dalam buku ini”.
Mendegar hal tersebut, Hasyim tubuhnya gemetar dan jatuh tersungkur di depan sang Malaikat. Dia menangis sesenggukkan sambil berkata: “Betapa ruginya diriku yang selalu tegak berdiri di setiap malam dalam tahajud dan bermunajat, tetapi namaku ternyata tidak masuk dalam golongan para hamba pecinta Allah SWT.”
Mendengar hal itu, sang Malaikat kemudian berkata kepada Hasyim: “Wahai Abu bin Hasyim, bukan aku tidak tahu engkau bangun setiap malam (selama bertahun-tahun) untuk mengambil air wudhu dalam kedinginan pada saat orang lain terlelap dalam buaian malam. Namun, tanganku dilarang Allah SWT untuk menuliskan namamu dalam buku ini.”
Mendengar Malaikat berkata tersebut, sambil berlinang air mata Hasyim bertanya kepada Malaikat: “Apa gerangan yang menjadi penyebabnya, hingga Allah SWT melarang untuk menuliskan namaku di dalamnya?”
Sang Malaikat menjawab: “Engkau memang ahli beribadah kepada Allah SWT, namun sayangnya engkau pamerkan kemana-mana ibadahmu dengan penuh rasa bangga dan engkau juga asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Padahal di kanan-kirimu ada orang sakit dan lapar, tidak engkau jenguk dan tidak engkau beri makan. Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pecinta Allah SWT dan dicintai oleh-Nya, kalau engkau sendiri tidak pernah mencintai hamba-hamba yang diciptakan Allah SWT? (Bersambung)
Editor: Nabhan