Jelang Muktamar ke-47 di Makasar 2015 yang lalu, Prof. Dr. M. Amien Rais, menulis artikel bersambung berjudul “Masa Depan Muhammadiyah” yang dimuat di harian Republika tiga hari berturut-turut.
Sesudah menyampaikan 10 realitas yang menyebabkan Muhammadiyah kelihatan lesu darah, muadzin Muhammadiyah ini mengusulkan perubahan jargon dakwah Muhammadiyah dari “amar ma’ruf nahi munkar“ dengan jargon baru dakwah “al amru bi al adli wa an nahyu ‘an al dzulmi” yakni berjuang menegakkan keadilan dan menumpas kedzaliman.
Menurut Amien Rais, jargon lama lebih terasa sebagai gerakan moral atau akhlak, maka jargon kedua lebih menyangkut persoalan sosial ekonomi, politik dan hukum, sehingga dakwah Muhammadiyah akan lebih relevan dan menggigit.
Dalam kacamata Kuntowijoyo, amar ma’ruf diartikan sebagai humanisasi dalam bidang budaya, mobilitas dalam kehidupan sosial, pembangunan dalam ekonomi dan pembudayaan dalam politik. Pendekatan kultural dan evolusioner termasuk ke dalam terminologi amar ma’ruf.
Sedangkan nahi munkar diartikan sebagai liberasi atau pembebasan masyarakat dari kemunkaran dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Jika amar ma’ruf sebagai pendekatan kultural, maka nahi munkar merupakan pendekatan yang revolusioner.
Dalam konteks Indonesia, pendekatan revolusioner ini dikatakannya sebagai terlalu mahal harga sosialnya, sehingga Kuntowijoyo menganjurkan pengambilan intinya saja, yaitu sebagai usaha yang sungguh-sungguh.
Perubahan masyarakat adalah keniscayaan dalam panggung sejarah. Dalam perubahan itu kita mengenal konsep transformasi, yakni upaya merealisasikan impian untuk mengubah karakter masyarakat lama menuju masyarakat baru.
Sejarah Indonesia telah mencatat peristiwa G30 S/PKI 1965 sebagai titik balik rekayasa sosial transformasi masa depan Indonesia dengan paradigma Marxisme yang historis-hirarkis-dialektis.
Pada tahapan berikutnya, Orde Baru secara bertahap merekayasa perubahan dengan perspektif Rostow yakniStage of Economic Growth, yang membayangkan pada dekade 1990-an sebagai kondisi take off, namun akhirnya berantakan karena gerakan reformasi.
Sebagai salah satu kekuatan sejarah di Indonesia, Muhammadiyah sejak awal berdirinya mengidamkan sebuah transformasi Masyarakat Islam Yang Sebenar-benarnya (MIYS) dengan semboyan ar ruju’ ila al Qur’an wa al sunnah.
Dalam upaya itu KH. Ahmad Dahlan mengajarkan teologi Al-Ma’un yang menjunjung tinggi amal sejajar dengan iman dan ilmu, sehingga Islam hadir dan membumi dalam kehidupan.
Dari teologi Al Ma’un itu lahirlah transformasi Islam untuk yang bercorak membebaskan, memberdayakan, memajukan, dan responsif terhadap realitas secara cerdas dan mencerahkan.
Sebenarnya, ketika kita sedang berbincang tentang strategi dakwah tahap hulu yang memerlukan elaborasi lebih lanjut. Bukan hanya menyangkut tentang kapan dakwah ini dilancarkan, tetapi juga menyangkut tentang siapa dan apa yang dihadapi serta metode apa yang dipilih.
Dengan demikian pilihan jargon amar ma’ruf nahi munkar atau al amru bi al adli wa an nahyu ‘an al dzulmi perlu ditafsirkan dengan saksama. Operasionalisasi dari konsep tersebut perlu dipertajam dengan teori yang dekat dengan praktik yaitu kategorisasi dan tahapan dakwah.
Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan strategi dakwah sebagai manajemen umum suatu aksi, apakah memakai dakwah kultural, struktural atau mobilitas sosial.
Selama ini Muhammadiyah tidak melakukan strategi struktural yang sangat riskan dan tidak sesuai dengan kepribadian Muhammadiyah. Tahap berikutnya menyangkut pilihan metode dakwah sebagai cara mencapai tujuan, apakah secara gradual atau konsensus.
Setiap pilihan akan menentukan relevansi dan greget dakwah Muhammadiyah ke depan, yang menurut Buya Syafi’i Ma’arif posisinya sebagai “pembantu” negara, belum beranjak sebagai “penentu” di tengah pergumulan sejarah Indonesia.
Masa depan generasi Z Muhammadiyah ada ditangan IPM n IMM saat ini