Tarikh

Ambudi Agama, Cikal Bakal Muhammadiyah Pekajangan

3 Mins read

Ambudi Agama | Perang Jawa yang menyebabkan ribuan tentara Belanda meninggal serta mengakibatkan kerugian mencapai 20 juta gulden menjadi tamparan keras sekaligus trauma mendalam bagi pihak kolonial Belanda (Dewi, 2020). Pasca perang Jawa selesai, perlawanan terhadap pihak Belanda masih terus berlangsung di beberapa daerah, seperti di Banten terjadi Pemberontakan Petani Banten pada tahun 1888.

Pihak Belanda memandang bahwa berbagai pemberontakan tersebut didasari atas motif agama. Pesantren dan komunitas pengajian dianggap sebagai lembaga yang memupuk dan menyuburkan sikap sentimen antipati terhadap Belanda (Setiawan, 2014). Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda berinisiatif memproduksi berbagai regulasi untuk memangkas berbagai gerakan perlawanan, salah satunya adalah lahirnya undang-undang Ordonansi Guru pada tahun 1905.

Ordonansi Guru pada hakikatnya merupakan siasat licik Belanda untuk membatasi ruang gerak pesantren dan komunitas pengajian dengan cara halus. Karena regulasi tersebut berisi instruksi bagi para guru agama untuk mengisi serangkaian data administratif dalam tulisan Latin sebagai bentuk persyaratan penyelenggaraan kegiatan pengajaran agama. Sedangkan pada masa itu para Kiai dan guru agama lebih menguasai tulisan Arab dibanding dengan tulisan Latin (Mubin, 2020).

Secara otomatis mereka akan kesulitan memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan kegiatan pengajaran agama dan dengan sendirinya secara sah boleh untuk dihentikan kegiatannya oleh pihak berwenag.

Pengajian Ambudi Agama

Pada tahun 1922 di daerah Pekajangan, Kabupaten Pekalongan tengah berjalan sebuah pengajian yang bernama Ambudi Agama. Pengajian ini dipimpin oleh seorang Kiai yang bernama KH. Abdurrahman. Suatu ketika pengajian tersebut dihentikan oleh polisi. Di dalam buku biografi KH. Abdurrahman disebutkan bahwa penutupan aktivitas pengajian Ambudi Agama diduga akibat dari imbas kebijakan Ordonansi Guru (Soediardjo et al., 1968).

Baca Juga  Yang Mendirikan Muhammadiyah Adalah Kaum Muda

Pasca pemberhentian pengajian Ambudi Agama, KH. Abdurrahman tidak tinggal diam. Beliau mendengar kabar bahwa di Yogyakarta telah muncul sebuah perkumpulan bernama Muhammadiyah. Perkumpulan tersebut telah mendapat besluit (surat keputusan) Nomor 36 tanggal 2 September 1921 yang diberi izin oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk membuka cabang di seluruh wilayah Hindia Belanda (Salam, 1963).

Ketika Kiai Abdurrahman berinisiatif hendak pergi ke Yogyakarta untuk bertemu dengan para pimpinan Muhammadiyah beliau dicegah oleh kawannya yang bernama Chumasi Harjosubroto. Chumasi dan kawan-kawannya menyangka bahwa Muhammadiyah adalah perkumpulan Kristen. Anggapan tersebut tampaknya berdasar pada sikap dan gaya orang-orang Muhammadiyah saat itu yang senang mengenakan jas dan berbicara menggunakan Bahasa Belanda (Darban, 2000).

Pada awal abad ke-20, tradisi mengenakan jas dan berbicara menggunakan bahasa Belanda masih dianggap sebagai perilaku kafir. Sebab identitas tersebut melekat pada orang-orang Belanda yang  umumnya beragama Kristen (Mu’arif, 2012). Untuk itulah Muhammadiyah dianggap sebagai perkumpulan Kristen.

Berangkat Menuju Hoofdbestuur

Anggapan bahwa Muhammadiyah sebagai perkumpulan Kristen tidak menyurutkan langkah kaki KH. Abdurrahman untuk tetap datang ke Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah di Yogyakarta. Beliau berangkat menghadap para pimpinan Muhammadiyah ditemani sahabatnya, Kiai Asmu’i, mantan Lurah Pondok Jamsaren.

Selang beberapa waktu dari kunjungan KH. Abdurrahman ke Hoofdbestuur Muhammadiyah datanglah beberapa utusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah ke Pekajangan seperti H. Muchtar, H. Abdulrahman Machdum, H. Wasool Dja’far dan beberapa utusan lainnya. Mereka ditugaskan untuk membantu proses pendirian Muhammadiyah Cabang Pekajangan.

Pada tanggal 15 November 1922 secara resmi telah berdiri salah satu cabang Muhammadiyah yaitu Muhammadiyah Cabang Pekajangan. Muhammadiyah Cabang Pekajangan merupakan Cabang ke-13 dari seluruh Cabang Muhammadiyah di wilayah Hindia Belanda. Pada saat itu Muhammadiyah Cabang Pekajangan merupakan satu-satunya cabang di daerah Karesidenan Pekalongan yang memiliki sejumlah ranting di seluruh Kabupaten Pekalongan sampai ke daerah Kabupaten Tegal, Brebes, Pemalang, Batang dan Kodya Pekalongan (Nashir, 2000).

Baca Juga  Semangat Al-Maun Era Society 5.0

Muhammadiyah Mengubah Wajah Pekajangan

Dahulu sebelum lahirnya persyarikatan Muhammadiyah, Pekajangan merupakan daerah yang tidak diperhitungkan di wilayah Pekalongan. Banyak anggota masyarakat yang hidup dalam kondisi kemiskinan, tertinggal dan jauh dari nilai-nilai agama (Soediardjo et al., 1968). Bahkan ada yang mengatakan bahwa Pekajangan dulunya adalah  lembah hitam tempat berlangsungnya banyak kegiatan maksiat seperti berjudi, zina, merampok dan tempat berkumpulnya para bromocorah sekaligus sebagai tempat menyembunyikan gundik-gundik mereka (Adi, 2009). Namun, keadaan tersebut lambat laun berubah setelah masuknya organisasi Muhammadiyah dan semakin menggeliatnya usaha batik di daerah ini.

Muhammadiyah mampu memberi warna baru bagi masyarakat Pekajangan. Bahkan menurut Haedar Nashir, Muhammadiyah telah menjadi shibghah bagi masyarakat Pekajangan. Dakwah Muhammadiyah berkembang dengan sangat pesat sejak Muhammadiyah berdiri di sana. Beragam amal usaha Muhammadiyah tumbuh subur dari waktu ke waktu. Mulai dari sekolah, rumah sakit, pabrik, koperasi, lembaga keuangan, pondok pesantren, panti asuhan hingga sekarang di usianya yang ke-100 tahun telah berdiri megah kampus Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan (UMPP). Hal ini menjadi bukti nyata bahwa paham Islam Berkemajuan yang diusung oleh Muhammadiyah mampu membawa nilai-nilai Islam untuk merespon berbagai realitas sosial dan membangun peradaban umat.

Referensi

Adi, Y. M. (2009). Pekajangan Dalam Pergumulan Tokoh2 Desa. Retrieved from http://muh2009.blogspot.com/2009/02/pekajangan-dalam-pergumulan-tokoh2-desa.html

Darban, A. A. (2000). Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang.

Dewi, V. M. (2020). Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa 1825-1830. SINDANG: Jurnal Pendidikan Sejarah Dan Kajian Sejarah, 2(2), 147–158. https://doi.org/10.31540/sindang.v2i2.254

Mu’arif. (2012). Sejarah dan Perkembangan Muhammadiyah Pekajangan 1922-2012. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Mubin, F. (2020). Politik Pendidikan Islam Indonesia : Perlawanan Pesantren Terhadap Hegemoni Pendidikan Barat Era Kolonialisme Belanda. Jurnal Kajian Ilmu Dan Budaya Islam, 3(1), 123–135.

Baca Juga  Makna Interior Poligami Nabi Muhammad SAW

Nashir, H. (2000). Perilaku Politik Elit Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang.

Salam, S. (1963). KH. Ahmad Dahlan: Reformer Islam Indonesia. Jakarta: Penerbit Djajamurni.

Setiawan, F. (2014). Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah Terhadap Ordonansi Guru. Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 47. https://doi.org/10.14421/jpi.2014.31.47-70

Soediardjo et al. (1968). Riwajat Hidup KH. Abdurrahman: Bapa Masjarakat Pekadjangan dan Pendiri Muhammadijah disana. Pekadjangan: Pimpinan Tjabang Muhammadijah Pekadjangan.

Editor: Yahya

Muhammad Fikri Hidayattullah
7 posts

About author
Dosen Artificial Intelligence Politeknik Harapan Bersama dan Koordinator Madrasah Fiqih Sumber Ilmu
Articles
Related posts
Tarikh

Hijrah Nabi dan Piagam Madinah

3 Mins read
Hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perkembangan Islam, yang…
Tarikh

Potret Persaudaraan Muhajirin, Anshar, dan Ahlus Shuffah

4 Mins read
Dalam sebuah hadits yang diterima oleh Abu Hurairah dan terdapat dalam Shahih al-Bukhari nomor 1906, dijelaskan terkait keberadaan Abu Hurairah yang sering…
Tarikh

Gagal Menebang Pohon Beringin

5 Mins read
Pohon beringin adalah penggambaran dari pohon yang kuat akarnya, menjulang batang, dahan dan rantingnya sehingga memberi kesejukan pada siapa pun yang berteduh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds