Amien Rais— Di depan sorot kamera, disiarkan langsung oleh televisi nasional, diliput oleh banyak media luar negeri, sekira pukul 09.00 WIB, di Istana Negara, mengenakan setelan pakaian hitam-hitam, seorang laki-laki tua yang hampir lebih dari 32 tahun berkuasa, membacakan surat pengunduran dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia. Dialah Soeharto.
“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998”.
Peristiwa itu jadi babak baru dalam perjalanan kebangsaan kita. Banyak hal yang sekarang bisa kita nikmati, di antaranya kebebasan berpendapat, kontrol negara tak lagi seekstrim dulu, kita mengalami keterbukaan yang luar biasa dan mulai merasakan euforia demokratisasi di hampir semua segmen kehidupan.
Hal-hal tersebut, dulu adalah sesuatu yang langka. Bahkan mahal sebab tebusannya ialah penjara bahkan berujung nyawa.
Tapi apapun dampak positif yang kita rasakan saat ini, itu semua tak lain adalah kepingan kepingan puzzle hingga kemudian membentuk satu kata yang utuh yaitu reformasi. Ya, babak baru itu bernama reformasi.
Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata reformasi? Rezim yang subversif, pergerakan, perubahan, aktivisme sosial, demonstrasi besar-besaran, mahasiswa, aktivis yang hilang, penjarahan, kerusuhan, rakyat bergerak, atau semua kalimat yang bisa menggambarkan heroisme sekaligus kesedihan di masa itu.
Bangsa ini memilih kata reformasi setelah sekian lama hidup dalam bayang-bayang senjata dan kesejahteraan yang semu. 21 Mei 1998 adalah simbol berakhirnya Orde Baru (Orba), 22 tahun sudah reformasi bergulir, dan sekarang hingga hari-hari mendatang ” kita” sebagai bangsa dan “kita” sebagai entitas pribadi tetap akan berupaya untuk terus menerus menerobos kemelut.
Amien Rais Bapak Reformasi
Berkenaan dengan hal-hal yang di atas, pertanyaan awal yang perlu kita ajukan, siapakah salah satu tokoh atau profil orang yang menyumbang kepingan sejarah bernama reformasi itu?
Ada banyak nama, mereka berperan dalam takaran dan caranya masing-masing. Tetapi, tanpa mengurangi sedikit pun rasa hormat kepada tokoh lain, saya memilih pria yang hanya terpaut satu tahun umurnya dengan Indonesia, kelahiran Surakarta 26 April 1944 yang lalu, bergelar lengkap Prof. Dr. Muhammad Amien Rais, MA.
Amien Rais dan reformasi adalah dua hal yang tak terpisahkan. Keduanya membentuk sebuah lintasan waktu yang kemudian dalam pengertian lebih umum kita sebut sebagai sejarah.
Sejarah milik mereka yang berjuang, dan Amien Rais berada di barisan itu. Membaca Amien Rais adalah membaca lembar demi lembar sejarah, dalam konteks tulisan ini. Sejauh manakah keterlibatannya dalam reformasi?
Mengkirtik Soeharto dengan sangat keras adalah pembicaraan yang tabu sekaligus berbahaya, membayangkan Soeharto akan mundur secepat tahun 1998 pada mulanya adalah imanajinasi yang mustahil. Tapi toh, Tuhan berkehendak lain dan Amien Rais berhasil, ia tanpa rasa takut menyuarakan kegelisahan rakyat di masa itu.
Amien Rais adalah pakar politik. Ia pengamat yang jeli, pisau analisisnya tajam dan kejeliannya itu terbukti ketika jauh-jauh hari sebelum ada yang berani menyatakan “perang” kepada bobroknya rezim Soeharto, seorang Amien Rais tampil secara terbuka menyerukan kepada publik bahwa era kepemimpinan Soeharto sudah usang.
Adagium Italia mengingatkkan kita, “ Jika akal sehat tertidur, maka monsterlah yang akan menguasai malam”. Dalam arti kata lain, bila sebuah kekuasaan sudah berlangsung lama dan perubahan tak kunjung terjadi, maka pastilah ada sesuatu yang keliru, dan sikap kritisisme diperlukan untuk mongoreksi itu. Kritis adalah alat dasar untuk mengusir “monster” agar malam terang dalam sinar rembulan bukan semata gelap ketakutan”.
***
Amien Rais punya dua perangkat itu; keberanian dan kritisisme. Jarang sekali ketika itu ada tokoh yang berani memberikan kritik dan koreksi atas jalan pincang pemerintahan Soeharto, nepotisme, dan korupsi yang terang-terangan dipraktikkan. Karena itu, Amien Rais secara konsisten menyampaikan pikiran-pikirannya di berbabagai forum. Misalnya saja tercermin dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya tahun 1993, Amien mendesak suksesi kepemimpinan nasional atau dengan kata lain pergantian presiden. Tanpa suksesi, mana mungkin ada reformasi.
Selang beberapa tahun kemudian, pada tahun 1995 Amien Rais terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dikutip dari buku 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan (2010). Tiga tahun setelah Muktamar Muhammadiyah di Aceh, Amien tampil sebagai bagian dari gerakan reformasi yang menggulingkan Soeharto dari kursi kepresidenan pada 1998.
Secara ringkas, ide atau genealogi reformasi salah satunya berasal dari pikiran Amien Rais. Tidak berlebihan, jika banyak pihak menyebut Amien Rais sebagai bapak reformasi. Dan kita mengamini itu.
Jelang Reformasi dan Kebijaksanaan Amien Rais
Jelang Soeharto lengser, dalam rentang waktu 1997-1998, kota-kota besar di Indonesia terutama Jakarta, dalam keadaan genting. Di banyak titik, kerusuhan dan penjarahan terjadi. Krisis moneter menambah panas suasana, desakan untuk “memukul “ mundur Soeharto semakin bergejolak.
19 Mei 1998, sejumlah tokoh seperti Nurcholis Majid, Cak Nun, Abdul Malik Fajar, Ali Yafie, dan lainnya, menemui Soeharto di Istina Negara untuk menjelaskan kondisi Indonesia yang semakin carut marut, dan meminta Soeharto dengan hormat untuk segera mengundurkan diri.
Dimana posisi Amien Rais? Amien tidak ikut serta ke istana. Selain karena Soeharto tidak begitu suka dengan Amien yang doyan mengkritiknya, Cak Nun dengan nada bercanda menjawab pertanyaan sejenis, “Pak Harto kan singa, Pak Amien juga begitu. Kalo mereka ketemu “
Amien Rais sadar apabila dia ikut menghadap Soeharto, maka gesekan akan semakin runcing. Di tengah situasi demikian, Amien punya cara tersendiri. Akhirnya waktu itu, Muhammadiyah sebagai simbol moral diwakili oleh Abdul Malik Fajar.
20 Maret 1998, Amien berniat untuk mengadakan demonstrasi damai, syukuran akbar dalam rangka Hari Kebangkitan Nasional di lapangan Monas, ribuan masa pendukung Amien Rais diperkirakan akan hadir, mendengar dan meyaksikan langsung tokoh yang mereka idolakan itu.
Tetapi Amien Rais memutuskan untuk membatalkan acara tersebut, setelah sebelumnya Ia mendapat kabar acara itu bakal diteror dan berpotensi ricuh.
Dini harinya setelah diverifikasi langsung, Monas waktu itu diblokade dan dijaga ketat oleh banyak aparat bersenjata. Ketika mereka ditanya Amien, untuk apa semua itu, tentara-tentara itu menjawab, “ Kami menunggu perintah”.
Atas pertimbangan yang matang, Amien Rais pun memutuskan untuk menggelar konferensi pers dan mengumumkan bahwa acara 20 Mei 1998, batal digelar. Dan akan dialiahkan ke Gedung DPR/MPR.
Setelah berminggu-minggu melakukan demonstrasi di jalanan, yang bermuara pada tragedi Trisakti, akhirnya ribuan mahasiswa berkumpul dan menguasai Gedung senayan MPR/DPR. Mereka tak mau pulang sebelum Soeharto bersikap kooperatif, salah satu agenda utama dari reformasi adalah tidak membiarkan Soeharto untuk berkuasa lagi.
***
Mahasiswa memutuskan tetap bertahan, tanda-tanda Soeharto jatuh semakin terang ketika Amien Rais menyampaikan orasinya di tengah aksi massa, “…Perjuangan mahasiswa-mahasiswi Indonesia, sudah mulai menampakkan hasilnya.”
Dalam kesempatan yang lain, ketika diwawancarai oleh media luar negeri soal kemungkinan jatuhnya Soeharto, Amien berujar, “Saya mendapat informasi yang otentik bahwa kemungkinan besar besok sebelum malam, Pak Harto akan mundur. Dan dia akan memberikan pidato pengunduran diri esok pagi.”
Dan kita sama-sama tau, jalan cerita berikutnya. Pagi hari pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto membacakan pidato pengunduran diri sebagai Presiden.
Sepak terjang Amien dalam perpolitakan tak perlu diragukan lagi, ketika banyak pihak termasuk Habibie mendorongnya untuk menjadi pengganti Soeharto, Amien bergeming, sebab itu menyalahi konstitusi. Waktu itu, Habibie sebagai wakil presiden lah yang berhak sementara waktu menjadi presiden. Amien Rais dengan sikap ksatria, gagah mengatakan;
“Jika saya ditawari jabatan, pasti akan saya tolak. Tidak etis bagi pemimpin oposisi mengambil tawaran jabatan dari rezim yang dilawan.”
Agaknya, oposisi memang jalan sejati Amien Rais. Tak mengherankan jika kemudian berada di manapun posisi Amien Rais, berada dalam struktur pemerintah atau sebaliknya, ia tetap pada garis jalan oposisi itu.
Jika politik seumpama jalan pedang, maka seorang Amien Rais adalah pendekar pilih tanding. Tapi beliau adalah “samurai” yang bijaksana.